Sayangnya, Barnathan kala itu harus meninggalkan risetnya dengan Kariko karena ia menerima pekerjaan di sebuah perusahaan bioteknologi. Lagi-lagi Kariko hidup tanpa laboratorium dan dukungan keuangan.
Melihat situasi itu, Dr. Langer yang mengenal Kariko sejak ia masih menjadi residen di laboratorium pun mendesak Ketua Departemen Bedah Saraf di University of Pennsylvania untuk tetap memberikan kesempatan penelitian kepada Kariko.
Dr. Langer menganggap Kariko jenius dan pantang menyerah. Singkat cerita, studi pun berlanjut. Dr.Langer dan Kariko mencoba meneliti mRNA pada pembuluh darah terisolasi yang digunakan untuk mempelajari stroke.
Namun, riset awal itu dianggap gagal. Keduanya tak mandek dan meneliti kembali di laboratorium dengan objek studi kelinci yang rentan stroke. Tapi, lagi-lagi mereka gagal.
Kegagalan itu membuat Dr. Langer meninggalkan kampus, sedangkan ketua departemen saat itu juga memutuskan keluar dari University of Pennsylvania.
Baca juga: Masa Depan Teknologi mRNA untuk Atasi Penyakit Menular
Tahun 1995 adalah masa kelam Katalin Kariko. Ilmuwan ini kembali tak memiliki laboratorium, tidak punya ongkos penelitian, dan ia baru saja mengidap penyakit kanker.
Selang tiga tahun, ia bertemu dengan Dr. Drew Weissman di mesin fotokopi kampusnya. Weissman yang kebetulan melintas, mendengar jika Kariko ilmuwan RNA dan tengah mengembangkan mRNA.
Weissman lantas memberitahu Kariko bahwa ia ingin membuat vaksin HIV dengan teknologi mRNA. Kariko pun manggut-manggut.
“Saya berkata, ya, ya, saya bisa melakukannya." kata Kariko.
Perjumpaan keduanya menjadi angin segar riset mRNA Kariko. Mereka berdua mulai menebar proposal pendanaan untuk menyokong penelitian. Tapi, ikhtiar tersebut tak mudah.
“Kami tidak berhasil menghimpun dana. Orang-orang tidak tertarik dengan mRNA. Mereka yang melihat proposal tersebut bilang bahwa mRNA tidak akan menjadi terapi yang berhasil, jadi jangan repot-repot," kata Weissman.
Jurnal ilmiah terkemuka juga menolak karya mereka. Ketika riset keduanya dipublikasikan di Immunity, studi mRNA milik Kariko dan Weissman hanya mendapat sedikit perhatian.
Tapi, keduanya pantang mundur. Weissman dan Kariko kemudian menunjukkan bahwa mereka berhasil menginduksi monyet untuk membuat protein yang dapat dipilih.
Dalam penelitian itu, mereka menyuntik monyet dengan mRNA untuk eritropoietin (protein yang merangsang tubuh untuk membuat sel darah merah), dan hasilnya jumlah sel darah merah hewan tersebut melonjak.
Para ilmuwan lantas berpikir, metode tersebut bisa digunakan untuk mendorong tubuh membuat obat berbasis protein apa pun, seperti insulin atau atau beberapa obat diabetes baru.
Yang paling penting, mRNA juga dapat digunakan untuk membuat vaksin yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan cara ini, keduanya memecahkan masalah utama yang terkait dengan RNA.
Baca juga: Bagaimana Virus Bisa Menyebar dan Menularkan Penyakit?
Pada tahun 2005, Kariko dan Weissman segera mematenkan sistem untuk memproduksi RNA yang dimodifikasi, dan keduanya mendirikan perusahaan bernama RNARx setahun kemudian.
Tetapi, University of Pennsylvania malah men-sublisensikan karya mereka ke CellScript dengan harga 300.000 dollar AS.
Hingga akhirnya, dua perusahaan bioteknologi Moderna di AS dan BioNTech di Jerman membeli hak paten Kariko dan Weissman.
Setelah lepas dari University of Pennsylvania pada 2013, Katalin Kariko pindah ke BioNTech untuk mengembangkan obat berbasis RNA. Pada 2020, mereka menjalin kemitraan dengan perusahaan farmasi Pfizer.
Uji klinis terhadap vaksin flu mRNA tengah dilakukan. Selain itu, teknologi tersebut juga digunakan untuk membuat vaksin baru untuk melawan sitomegalovirus, virus Zika, dan virus corona SARS-CoV-2 yang kala itu sedang mewabah.