KOMPAS.com - Nama Katalin Karikó menjadi perbincangan ketika ia bersama kolaboratornya Dr. Drew Weissman dari University of Pennsylvania dianugerahi Nobel 2023 di bidang Fisiologi atau Kedokteran, Senin (2/10/2023).
Berikut kisah inspiratif sosok berumur 68 tahun ini dalam menekuni teknologi mRNA (messenger ribo-nukleat acid) yang digunakan untuk pengembangan vaksin Covid-19 dan pengobatan.
Baca juga: Profil Katalin Kariko, Penerima Nobel 2023 di Bidang Kedokteran
Dering telepon dari Stockholm, Swedia, membangunkan Katalin Kariko yang tengah lelap tertidur di kediamannya di pinggiran kota Philadelphia, AS. Panggilan di malam hari itu datang untuk mengabarkan penganugerahan Nobel bagi dia dan rekannya.
"Bercanda," komentar singkat sosok yang akrab disapa Kati ini, tatkala mendengar suara di ujung telepon.
Tanggapan itu bukan bernada sinis. Kariko hanya tak menyangka, konsistensinya selama dua dekade akhirnya diapresiasi penghargaan paling bergengsi di dunia.
Ingatan Kati lantas kembali ke bulan Oktober 2013, 10 tahun lalu. Kala itu, sosok yang lahir pada 17 Januari 1955 silam di Hongaria ini diberhentikan dari kampus tempatnya mengabdi di University of Pennsylvania AS.
"Sekitar 10 tahun lalu, saya di sini (tinggal di pinggiran Philadelphia) karena saya diusir dari Penn (University of Pennsylvania), dan dipaksa pensiun." ucap Kariko.
Namun, ilmuwan ini pantang menyerah. Sang suami Bela Francia mendorongnya untuk mencari tempat lain untuk melanjutkan risetnya. Ketika berkunjung ke Jerman, Kati akhirnya berlabuh di perusahaan bioteknologi BioNTech.
Selain suami yang terus mendukungnya, sang ibunda juga percaya kegigihan dan kerja keras Kariko suatu saat berbuah Nobel.
"Ibu saya selalu mendengarkan pengumuman siapa yang mendapat Hadiah Nobel. Beliau bilang kepada saya, 'Oh minggu depan kamu yang akan mendapatkannya'," kata Kariko seraya tertawa.
Kariko tak pernah menganggap serius omongan ibunya. Pasalnya, ia sadar kalau dirinya bukan profesor dan ia tak punya tim riset. Namun, konsistensi perjuangannya berkata lain.
Baca juga: Mengenal Vaksin mRNA Covid-19 dan Cara Kerjanya
Katalin Kariko adalah anak seorang penjual daging yang tumbuh dan dibesarkan di kota kecil Kisujszallas di Hongaria.
Di kota itu, ia memperoleh gelar doktor biokimia dari University of Szeged. Ia sempat bekerja sebagai rekanan pasca-doktoral di Pusat Penelitian Biologi kampus setempat.
Benih ketertarikannya menggeluti mRNA muncul ketika ia bersama keluarganya pindah ke AS pada 1985. Ia hijrah ke negara Paman Sam lantaran program penelitiannya di Hongaria kehabisan dana.
Kariko memboyong suaminya yang merupakan seorang insinyur dan putrinya bernama Susan ke Philadelphia AS untuk bekerja sekaligus belajar di program pasca-doktoral di Temple University.
Namun, Kati melewati banyak lika-liku dalam perjalanan kariernya. Ia tak pernah mendapatkan pekerjaan tetap, posisinya hanya sebagai staf dan bukan pegawai tetap, terjebak di dunia akademis, dan tak mudah mendapatkan dana untuk risetnya.
Pada 1989, ia bekerja dengan Dr. Elliot Barnathan yang saat itu menjabat sebagai dokter spesialis jantung di University of Pennsylvania AS.
Saat bekerja dengan Dr. Barnathan, keduanya mencoba memasukkan mRNA ke dalam sel untuk membuat protein baru. Risetnya sangat rumit, sehingga banyak orang meremehkannya.
“Kebanyakan orang menertawakan kami.” kata Dr. Barnathan.
Suatu hari, Kariko dan Barnathan melacak molekul radioaktif dan menemukan protein baru yang diproduksi oleh sel yang tidak seharusnya memproduksinya.
Temuan ini menunjukkan mRNA juga potensial digunakan untuk mengarahkan sel mana pun untuk membuat protein apa pun. Kariko pun sangat puas dan senang dengan hasilnya.
Sayangnya, Barnathan kala itu harus meninggalkan risetnya dengan Kariko karena ia menerima pekerjaan di sebuah perusahaan bioteknologi. Lagi-lagi Kariko hidup tanpa laboratorium dan dukungan keuangan.
Melihat situasi itu, Dr. Langer yang mengenal Kariko sejak ia masih menjadi residen di laboratorium pun mendesak Ketua Departemen Bedah Saraf di University of Pennsylvania untuk tetap memberikan kesempatan penelitian kepada Kariko.
Dr. Langer menganggap Kariko jenius dan pantang menyerah. Singkat cerita, studi pun berlanjut. Dr.Langer dan Kariko mencoba meneliti mRNA pada pembuluh darah terisolasi yang digunakan untuk mempelajari stroke.
Namun, riset awal itu dianggap gagal. Keduanya tak mandek dan meneliti kembali di laboratorium dengan objek studi kelinci yang rentan stroke. Tapi, lagi-lagi mereka gagal.
Kegagalan itu membuat Dr. Langer meninggalkan kampus, sedangkan ketua departemen saat itu juga memutuskan keluar dari University of Pennsylvania.
Baca juga: Masa Depan Teknologi mRNA untuk Atasi Penyakit Menular
Tahun 1995 adalah masa kelam Katalin Kariko. Ilmuwan ini kembali tak memiliki laboratorium, tidak punya ongkos penelitian, dan ia baru saja mengidap penyakit kanker.
Selang tiga tahun, ia bertemu dengan Dr. Drew Weissman di mesin fotokopi kampusnya. Weissman yang kebetulan melintas, mendengar jika Kariko ilmuwan RNA dan tengah mengembangkan mRNA.
Weissman lantas memberitahu Kariko bahwa ia ingin membuat vaksin HIV dengan teknologi mRNA. Kariko pun manggut-manggut.
“Saya berkata, ya, ya, saya bisa melakukannya." kata Kariko.
Perjumpaan keduanya menjadi angin segar riset mRNA Kariko. Mereka berdua mulai menebar proposal pendanaan untuk menyokong penelitian. Tapi, ikhtiar tersebut tak mudah.
“Kami tidak berhasil menghimpun dana. Orang-orang tidak tertarik dengan mRNA. Mereka yang melihat proposal tersebut bilang bahwa mRNA tidak akan menjadi terapi yang berhasil, jadi jangan repot-repot," kata Weissman.
Jurnal ilmiah terkemuka juga menolak karya mereka. Ketika riset keduanya dipublikasikan di Immunity, studi mRNA milik Kariko dan Weissman hanya mendapat sedikit perhatian.
Tapi, keduanya pantang mundur. Weissman dan Kariko kemudian menunjukkan bahwa mereka berhasil menginduksi monyet untuk membuat protein yang dapat dipilih.
Dalam penelitian itu, mereka menyuntik monyet dengan mRNA untuk eritropoietin (protein yang merangsang tubuh untuk membuat sel darah merah), dan hasilnya jumlah sel darah merah hewan tersebut melonjak.
Para ilmuwan lantas berpikir, metode tersebut bisa digunakan untuk mendorong tubuh membuat obat berbasis protein apa pun, seperti insulin atau atau beberapa obat diabetes baru.
Yang paling penting, mRNA juga dapat digunakan untuk membuat vaksin yang belum pernah ada sebelumnya. Dengan cara ini, keduanya memecahkan masalah utama yang terkait dengan RNA.
Baca juga: Bagaimana Virus Bisa Menyebar dan Menularkan Penyakit?
Pada tahun 2005, Kariko dan Weissman segera mematenkan sistem untuk memproduksi RNA yang dimodifikasi, dan keduanya mendirikan perusahaan bernama RNARx setahun kemudian.
Tetapi, University of Pennsylvania malah men-sublisensikan karya mereka ke CellScript dengan harga 300.000 dollar AS.
Hingga akhirnya, dua perusahaan bioteknologi Moderna di AS dan BioNTech di Jerman membeli hak paten Kariko dan Weissman.
Setelah lepas dari University of Pennsylvania pada 2013, Katalin Kariko pindah ke BioNTech untuk mengembangkan obat berbasis RNA. Pada 2020, mereka menjalin kemitraan dengan perusahaan farmasi Pfizer.
Uji klinis terhadap vaksin flu mRNA tengah dilakukan. Selain itu, teknologi tersebut juga digunakan untuk membuat vaksin baru untuk melawan sitomegalovirus, virus Zika, dan virus corona SARS-CoV-2 yang kala itu sedang mewabah.
BioNTech berhasil merancang vaksin mRNA untuk Covid-19 dalam hitungan jam, dan Moderna merancangnya dalam waktu dua hari.
Ide pembuatan kedua vaksin tersebut adalah untuk memasukkan mRNA ke dalam tubuh, lalu dalam waktu singkat menginstruksikan sel manusia untuk memproduksi protein, dan menyerang virus corona dalam tubuh.
Vaksin tersebut kemudian dikemas menjadi nano-partikel lipid (LNP) untuk memungkinkan mRNA menarget bagian tubuh tepat, dan memicu respons imun untuk melawan penyakit.
Hasil uji keberhasilan vaksin mRNA tersebut membuat Kariko tidak ragu dan sangat yakin jika dirinya berhasil.
Pada 8 November 2020, hasil uji klinis Pfizer-BioNTech keluar dan menunjukkan bahwa vaksin mRNA terbukti efektif memberikan kekebalan terhadap Covid-19.
Kala itu, Kariko seketika menoleh ke suaminya dengan perasaan lega dan bahagia karena teknologinya berhasil menjadi solusi krisis kesehatan dunia.
Untuk merayakan pencapaiannya, Kati pun memakan sekotak kacang Goobers berlapis coklat sendirian.
Baca juga: 10 Virus Paling Mematikan di Dunia Sepanjang Sejarah Peradaban Manusia
Sepanjang kariernya, Kariko fokus pada mRNA. Teknologi ini merupakan skrip genetik yang membawa instruksi DNA ke mesin pembuat protein setiap sel.
Pakar penyakit menular terkemuka dari National Institutes of Allergy and infectious Diseases National Institute of Health AS Anthony Fauci sudah lama mengamati minat Kariko pada mRNA yang begitu tinggi.
“Kariko, dalam arti positif, terobsesi dengan konsep mRNA,” kata Fauci.
Menurut Fauci, Kariko meyakini mRNA dapat digunakan untuk memerintahkan sel dalam tubuh untuk membuat obat sendiri, termasuk vaksin.
Para ilmuwan termasuk Fauci yakin betul, ke depan teknologi yang dikembangkan Kariko dan rekannya bisa menjadi kunci memutus mata rantai penularan penyakit lain.
“Teknologi ini akan bertransformasi. Vaksin mRNA sudah mengalami transformasi untuk Covid-19, dan bisa juga untuk vaksin lainnya seperti HIV, Influenza, malaria.” kata Fauci.
Bagi banyak ilmuwan, riset dan penemuan lazim diikuti dengan perencanaan untuk menghasilkan uang, membentuk perusahaan, atau mendapatkan paten. Tapi, tidak bagi Kariko.
“Itu adalah hal terjauh dari pikiran Kati.” kata Dr. Langer, ahli bedah saraf yang pernah bekerja dengan Kariko.
Suaminya berkata jika Kariko bolak-balik ke kantor setiap malam, termasuk di akhir pekan, untuk lembur di laboratorium. Hari kerja yang tiada habisnya itu kalau dihitung-hitung hanya menghasilkan sekitar satu dollar AS per jam.
Demi risetnya, Kariko selalu berpindah-pindah dari satu laboratorium ke laboratorium lain dengan mengandalkan jaringan dari ilmuwan senior satu demi satu untuk menerimanya. Sayangnya, penghasilan yang ia terima kurang dari 60.000 dollar AS setahun.
Namun, konsistensi, ketekunan, dan semangat dalam meneliti mRNA berbuah manis. Tak cuma pengakuan, Majelis Nobel dari Universitas Kedokteran Karolinska Institutet Swedia turut memberikan apresiasi sekitar 1 juta dollar AS untuk Katalin Kariko dan rekannya.
Baca juga: 5 Manfaat Virus Bagi Manusia, Tak Selalu Jadi Biang Penyakit
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.