Seperti halnya dengan Tallulah, setelah mengetahui diagnosisnya dia mengaku banyak perubahan dalam hidupnya. “Sebenarnya ini pertama kalinya saya membagikan diagnosis saya secara terbuka. Saya mengetahuinya musim panas ini dan itu mengubah hidup saya," jawabnya.
Selama ini Tallulah memang terbuka tentang masalah kesehatan mental dan fisiknya di media sosial. Ia mengungkap berjuang melawan gangguan makan, ADHD, dan depresi.
Baca juga: Bukan Sekadar Sedih, Begini Ciri-ciri Orang yang Sedang Depresi
Michelle mengatakan, dulu para ahli berasumsi bahwa seseorang perlu menunjukkan perilaku yang signifikan secara klinis pada usia dini untuk mendapatkan diagnosis formal.
Namun, meskipun gejala-gejalanya sudah terlihat sejak masa kecil, kesulitan-kesulitan tersebut mungkin tidak akan terlihat sepenuhnya hingga tahap perkembangan selanjutnya ketika lingkungan sosial menjadi lebih kompleks.
"Dalam membuat diagnosis autisme, kami melihat kombinasi dari gejala dan perilaku. Punya satu gejala bukan berarti seseorang autisme," katanya.
Menurut Michelle, evaluasi dilakukan melalui serangkaian wawancara dan juga asesmen formal untuk autisme, ditambah dengan pengukuran pribadi.
Wawancara klinis juga dilakukan dengan orang lain yang mengetahui riwayat individu tersebut, misalnya orangtua, saudara, teman masa kecil, atau pasangan.
“Untuk membuat diagnosis yang akurat, mendengarkan dari orang yang mengerti riwayat sangat penting karena kita perlu memahami riwayat perkembangan seseorang,” katanya.
Baca juga: Sia Mengaku Alami Gangguan Spektrum Autisme
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.