JAKARTA, KOMPAS.com – Demam berdarah dengue (DBD) kembali menunjukkan tajinya sejak awal 2024. Menurut laporan Kementerian Kesehatan per 26 Maret 2024, sebanyak 43.271 kasus DBD terjadi, dengan 434 kematian hingga Februari 2024.
Angka tersebut melonjak signifikan jika dibandingkan dengan periode sama pada 2023 yang berjumlah 6.938 kasus dengan 50 kematian.
Adapun kasus DBD paling banyak terjadi di Kota Bandung, Kota Kendari, Kabupaten Bandung Barat, Kota Bogor, dan Subang.
Di Indonesia, penyakit yang disebabkan gigitan nyamuk memang tidak hanya DBD, tapi juga chikungunya dan malaria. Namun, dilihat dari tingkat keparahannya, DBD lebih tinggi dari lainnya. Begitu pula dengan biaya pengobatannya, baik yang ditanggung secara mandiri maupun BPJS Kesehatan.
Baca juga: Dokter Jelaskan Tidak Ada Perbedaan Gejala DBD Dahulu dan Sekarang
Diberitakan Kompas.com, Rabu (17/1/2024), beban biaya BPJS Kesehatan untuk penyakit DBD terus meningkat.
Pada 2022, biaya untuk hospitalisasi dan pengobatannya mencapai Rp 1,2 triliun. Angka ini naik tajam dari Rp 600 miliar pada 2021. Sementara, pada 2023, BPJS Kesehatan mengeluarkan tambahan dana lebih dari Rp 40 triliun untuk biaya rumah sakit, termasuk untuk penyakit DBD.
Biaya tersebut pun mungkin masih rendah jika dibandingkan angka sebenarnya. Pasalnya, pemerintah daerah tempat kasus DBD banyak terjadi juga menghadapi pengeluaran tidak terduga untuk sumber daya manusia, peralatan, dan pasokan yang diperlukan untuk melakukan kontrol vektor dan surveilans.
Tidak hanya itu, potensi dampak jangka pendek dan panjang dari DBD dapat juga meluas ke ekonomi masyarakat.
Setiap individu ataupun keluarga bakal menghadapi pengeluaran tidak terduga akibat perawatan. Mereka juga harus meninggalkan pekerjaan dan sekolah lantaran mengurus anggota keluarga yang sakit akibat DBD sehingga kehilangan peluang-peluang. Contoh, potong gaji atau tertinggal pelajaran.
Baca juga: Kemenkes Jelaskan Penyebab Nyamuk Wolbachia Belum Efektif Tekan DBD di Bandung
Melihat besarnya beban penyakit yang disebabkan oleh DBD, peningkatan kewaspadaan terhadap gigitan nyamuk dan upaya pencegahan penyakit DBD sangatlah penting.
Guru Besar Bidang Farmakoepidemiologi Farmakovigilans dan Farmakoekonomi Universitas Gadjah Mada (UGM) Prof Jarir At Thobari menekankan bahwa DBD merupakan penyakit serius, terutama jika menjangkiti anak-anak. Penyakit ini dapat menyebabkan syok, pendarahan, bahkan kematian. Pengobatannya pun mahal karena membutuhkan perawatan intensif di rumah sakit.
Jarir juga menyoroti perbedaan gejala, tingkat keparahan yang dialami pasien DBD dengan chikungunya dan malaria.
Pada chikungunya, gejala yang dialami pasien, kata dia, umumnya lebih ringan, seperti flu dan nyeri sendi, tapi dapat bertahan lama. Biaya pengobatan penyakit ini pun cenderung lebih murah daripada DBD.
Di sisi lain, malaria memiliki tingkat keparahan yang berbeda-beda tergantung jenis parasit dan kondisi kesehatan, serta dapat berakibat fatal jika tidak diobati dengan cepat. Biaya pengobatannya mencakup obat, tes, dan perawatan medis.
“Secara keseluruhan, DBD memberikan beban penyakit yang lebih besar jika dibandingkan chikungunya dan malaria di Indonesia, terutama karena komplikasi serius yang dapat terjadi,” ucap Jarir saat dihubungi Kompas.com, Rabu (27/3/2024).
Baca juga: Kasus DBD di Kabupaten Malang Meningkat Capai 905 Orang, 10 di Antaranya Meninggal
Sejak lama, Indonesia telah berjibaku melawan DBD dengan berbagai upaya. Salah satu yang paling gencar digaungkan adalah gerakan 3M Plus, yaitu menguras, menutup dan mengubur tempat-tempat yang berpotensi menjadi sarang nyamuk. Utamanya, nyamuk Aedes aegypti yang menjadi pembawa virus dengue.
Adapun "Plus" dalam gerakan itu juga dibersamai dengan upaya pencegahan tambahan, seperti memelihara ikan pemakan jentik nyamuk, menggunakan obat antinyamuk, memasang kawat kasa pada jendela dan ventilasi, gotong royong membersihkan lingkungan, serta memeriksa tempat-tempat penampungan air.
Baca juga: Kenali Prinsip 3M Plus untuk Cegah Demam Berdarah Dengue
Selain itu, masyarakat juga diajak meletakkan pakaian bekas pakai dalam wadah tertutup, memberikan larvasida pada penampungan air yang susah dikuras, memperbaiki saluran dan talang air yang tidak lancar, serta menanam tanaman pengusir nyamuk.
Demi mengoptimalkan penanggulangan DBD, Indonesia meluncurkan dua terobosan baru, yaitu teknologi nyamuk wolbachia dan penggunaan vaksin DBD. Kedua strategi ini bahkan telah menjadi bagian dari strategi keenam Strategi Nasional Pengendalian Dengue 2021-2025, yaitu meningkatkan penilaian, penemuan, inovasi, dan penelitian sebagai dasar bagi kebijakan dan pengelolaan program berbasis bukti.
Teknologi nyamuk wolbachia merupakan metode pengendalian nyamuk Aedes aegypti. Teknologi ini bekerja dengan memanfaatkan bakteri alami wolbachia yang dimasukkan ke dalam nyamuk dan melumpuh virus dengue di dalamnya. Bakteri ini tidak berbahaya bagi manusia dan hewan.
Setelah itu, nyamuk wolbachia dikembangbiakkan di laboratorium dan kemudian dilepaskan ke lingkungan. Perlu diketahui, nyamuk jantan ber-wolbachia kawin dengan nyamuk betina liar, dan keturunannya (baik jantan maupun betina) akan membawa wolbachia.
Baca juga: Hoaks dan Fakta Seputar Nyamuk Wolbachia
Seiring waktu, populasi nyamuk wolbachia akan meningkat dan secara bertahap menggantikan populasi nyamuk liar.
Teknologi nyamuk wolbachia telah melewati tahap uji coba sebanyak dua kali di Kota Yogyakarta dan Kabupaten Bantul pada 2011 dan 2022 guna mengukuhkan efektivitasnya. Hasilnya, pada lokasi-lokasi yang menjadi tempat inokulasi nyamuk tersebut menunjukkan penurunan kasus DBD hingga 77 persen ketimbang daerah yang tidak mendapatkannya.
Adapun penerapan teknologi nyamuk wolbachia didasari Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1341 tentang Penyelenggaraan Pilot Project Implementasi Wolbachia sebagai Inovasi Penanggulangan Demam Berdarah.
Selain kedua daerah itu, teknologi tersebut kini tengah memasuki fase pelaksanaan di lima kota lain, yaitu Semarang, Jakarta Barat, Bandung, Kupang, dan Bontang.
Baca juga: Cara Kerja Nyamuk Wolbachia untuk Melawan Virus Dengue
Sementara itu, vaksinasi DBD pada dasarnya menjadi salah satu pilar penting dalam strategi global penanggulangan DBD. Di Indonesia, vaksin DBD sudah tersedia dan mendapat izin edar. Masyarakat bisa mengaksesnya secara mandiri di sejumlah rumah sakit.
Jarir kembali menjelaskan, vaksinasi DBD bertujuan untuk meningkatkan kemampuan tubuh dalam melawan virus dengue. Selain itu, vaksin juga dapat mengurangi tingkat keparahan saat terpapar virus.
Lebih lanjut, ia menerangkan bahwa vaksin DBD bekerja dengan menstimulasi respons imun tubuh untuk mengenali dan menetralisasi virus dengue. Ketika seseorang yang telah divaksinasi kemudian terkena virus dengue, sistem kekebalan tubuhnya lebih siap untuk melawan infeksi tersebut dan risiko perburukan dapat berkurang.
“Saat ini, vaksin dengue yang tersedia adalah vaksin tetravalen yang berarti melindungi terhadap empat serotipe virus dengue, yaitu DENV1, DENV2, DENV3, dan DENV4. Selain itu, vaksin juga bisa diberikan pada individu yang belum ataupun sudah terpapar DBD,” jelasnya.
Adapun menurut Perhimpunan Ahli Penyakit Dalam Indonesia (PAPDI), vaksin DBD yang saat ini tersedia di Indonesia bisa diberikan pada orang berusia 6-45 tahun, dengan jarak pemberian antara dosis pertama dan kedua adalah tiga bulan. Setelah itu, vaksin ulang tidak diperlukan dalam jangka waktu empat tahun karena antibodi dalam tubuh masih tinggi.
Penelitian selama 4,5 tahun yang melibatkan lebih dari 20.099 orang di delapan negara, termasuk Asia Tenggara dan Amerika Latin, menunjukkan hasil positif terkait vaksin dengue. Vaksin ini terbukti mampu mengurangi risiko infeksi DBD dan membantu mencegah perburukan penyakit yang memerlukan perawatan di rumah sakit.
Baca juga: Vaksin DBD Tersedia di Indonesia, Begini Syarat untuk Mendapatkannya
Dampak positif dari pemberian vaksin sendiri telah dibuktikan dengan fakta turunnya angka kasus kematian akibat DBD di Kota Balikpapan, Kalimantan Timur. Jika pada 2022 terdapat 7 kasus kematian dari total 1.897 kasus, pada 2023 menjadi 4 kasus kematian dari total 2.195 kasus.
Di Balikpapan, vaksinasi DBD adalah inovasi pencegahan yang diinisiasi Pemerintah Provinsi (Pemprov) Kaltim dengan mengambil anggaran pendapatan dan belanja daerah (APBD).
Adapun vaksin DBD di Balikpapan merupakan proyek percontohan atau pilot project dengan kelompok sasaran pelajar kelas 3-6 sekolah dasar (SD) atau anak usia sekitar 5-14 tahun yang dinilai sebagai kelompok tertinggi berisiko terkena DBD.
Sebelumnya, berdasarkan data Dinas Kesehatan Provinsi Kaltim per 26 Mei 2023, sebanyak 1.767 kasus DBD terjadi di Kaltim. Balikpapan menjadi daerah dengan kasus DBD tertinggi di sana, yakni 487 kasus.
Masih bersumber dari data yang sama, per 23 Maret 2024, kasus DBD di Kaltim mencapai 2.502 kasus.
Inisiatif Pemprov Kaltim tersebut diharapkan dapat membantu pengendalian DBD setempat menjadi lebih efektif. Inovasi ini pun diharapkan bisa menginspirasi bagi kota-kota lain di Tanah Air untuk mempertimbangkan vaksinasi sebagai salah satu upaya pencegahan DBD. Utamanya, di daerah-daerah yang telah mencatatkan peningkatan kasus signifikan di kuartal I 2024.
Bahkan, bila kembali melihat angka kasus DBD terbaru, memasukkan vaksin DBD sebagai program vaksinasi nasional dapat dilihat menjadi sebuah solusi yang inovatif.
Baca juga: Kasus DBD Melonjak, Dinkes DKI Gencarkan Kegiatan “Gerebek PSN” Seminggu Dua Kali
Pada 2023, vaksin dengue telah direkomendasikan penggunaannya oleh PAPDI dan Ikatan Dokter Anak Indonesia (IDAI), serta masuk ke dalam Rekomendasi Jadwal Vaksinasi anak dan dewasa.
Sementara, Kemenkes baru akan mengintroduksikan vaksin DBD ke dalam program nasional pada 2025, sebagaimana diberitakan Kompas.com, Kamis (18/1/2024).
Jarir menilai, meskipun vaksin DBD sudah tersedia, implementasinya masih akan menghadapi berbagai tantangan. Faktor utama adalah biaya, anggaran, dan restrukturisasi program kesehatan yang memengaruhi kemampuan pemerintah dalam melaksanakan program tersebut.
Selain itu, kurangnya pemahaman masyarakat tentang pentingnya vaksinasi, terutama untuk dewasa, turut menjadi tantangan tersendiri. Hal ini dapat menyebabkan rendahnya tingkat partisipasi dalam program imunisasi sehingga menghambat upaya mencapai kekebalan kelompok dan melindungi masyarakat dari DBD.
Baca juga: Kasus Kematian akibat DBD di Balikpapan Turun, Vaksinasi Tembus 60 Persen
Jarir menegaskan, memasukkan vaksinasi dengue ke dalam program nasional merupakan solusi efektif untuk meringankan beban penyakit dan dampak ekonominya dalam jangka panjang.
Faktanya, vaksin DBD terbukti efektif dalam mengurangi kasus DBD yang parah dan memerlukan perawatan intensif di rumah sakit. Hal ini akan meminimalkan biaya pengobatan dan perawatan yang ditanggung pemerintah dan individu dalam jangka panjang.
DBD juga sering menyebabkan absensi kerja dan penurunan produktivitas akibat sakitnya pekerja atau anggota keluarga. Vaksin dapat meminimalisasi kasus DBD sehingga potensi kehilangan produktivitas dan ekonomi juga dapat dikurangi.
Meskipun program vaksinasi dengue memiliki biaya langsung, seperti biaya vaksin, logistik, dan administrasi, hal ini harus dibandingkan dengan biaya yang jauh lebih besar untuk menangani kasus DBD yang tidak dicegah.
Di sisi lain, pengurangan beban penyakit DBD akan membawa dampak ekonomi positif dalam jangka panjang. Partisipasi angkatan kerja meningkat, produktivitas meningkat, dan pertumbuhan ekonomi pun akan semakin kuat.
Baca juga: Dokter Jelaskan Tidak Ada Perbedaan Gejala DBD Dahulu dan Sekarang
Akses terhadap vaksin DBD masih menjadi kendala bagi sebagian masyarakat, terutama yang kurang mampu secara finansial. Untuk mengatasi hal ini, beberapa solusi dapat dipertimbangkan.
Menurut Jarir, pemerintah dapat berperan penting dengan menyediakan subsidi atau bahkan vaksinasi gratis bagi kelompok masyarakat yang tidak mampu.
“Program subsidi akan membantu memastikan bahwa vaksin DBD tetap terjangkau bagi semua golongan masyarakat. Selain itu, memasukkan vaksinasi DBD ke dalam program imunisasi nasional dan menyediakannya secara gratis atau dengan biaya yang terjangkau dapat meningkatkan aksesibilitasnya,” terangnya.
Kemitraan dengan organisasi non-pemerintah (NGO) dan swasta juga dapat menjadi solusi. Kolaborasi ini memungkinkan penyelenggaraan program vaksinasi yang terjangkau atau bahkan gratis bagi masyarakat yang membutuhkan.
Edukasi masyarakat tentang manfaat vaksinasi juga tak kalah penting. Begitu juga dengan meningkatkan kesadaran dan mengurangi stigma terkait vaksinasi, dapat mendorong masyarakat untuk mencarinya.
Program vaksinasi di sekolah atau tempat kerja sebagai bagian dari upaya promosi kesehatan, kata Jarir, juga dapat membantu meningkatkan cakupan vaksinasi.
“Masyarakat yang lebih sadar akan manfaat vaksinasi (yang) mungkin lebih cenderung mencarinya meskipun dengan biaya yang sedikit lebih tinggi,” kata Jarir.
Artikel ini merupakan bagian dari Lestari KG Media, sebuah inisiatif untuk akselerasi Tujuan Pembangunan Berkelanjutan. Selengkapnya