Masih ada 2.004 RS yang belum divalidasi datanya untuk siap dalam mengimplementasikan KRIS. Validasi dilakukan untuk memastikan RS tersebut betul-betul sudah memenuhi 12 kriteria untuk mengimplementasikan KRIS.
Di balik segala persiapan untuk mengimplementasikan KRIS, sejumlah pertanyaan masih muncul dalam rencana pelaksanaannya. Bahkan masih ada perbedaan tentang bentuk penerapan KRIS di antara pemerintah sendiri.
Sebagai contoh, menteri kesehatan dan Dewan Jaminan Sosial Nasional berpandangan dengan penerapan KRIS, berarti hanya ada satu tarif iuran peserta BPJS sebagai implikasi hanya ada satu jenis kelas perawatan pasien.
Namun, menurut pihak BPJS Kesehatan, jika diberlakukan satu tarif, maka tidak sesuai dengan filosofi asuransi sosial dengan prinsip gotong royong, karena baik yang sangat mampu maupun kurang mampu akan membayar dengan besaran iuran yang sama. Selain itu, akan berdampak pada beban pembiayaan yang semakin besar.
Sebagai contoh, jika digunakan tarif tunggal dalam penerapan KRIS dengan besar iuran antara iuran kelas II dan III, maka meskipun pada tahun 2022 surplus yang dialami neraca DJSN mencapai sebesar Rp 56,5 triliun, hasil simulasi penerapan tarif tunggal dengan skema tersebut akan membuat defisit pada tahun 2025 sebesar Rp 12,3 triliun.
Jika tarif tunggal menggunakan tarif kelas II, maka defisitnya pada 2024 akan mencapai Rp 23,27 triliun.
Sehingga manajemen BPJS Kesehatan cenderung menolak bahwa penerapan KRIS adalah satu jenis kamar perawatan (standar) sekaligus juga satu tarif iuran kepesertaan (jika yang digunakan adalah tarif kelas II atau antara kelas II dan III).
Masih adanya perbedaan pandangan tentang bentuk penerapan KRIS di antara institusi pemerintah menimbulkan pertanyaan besar, bagaimana KRIS ini akan diimplementasikan?
Sementara pemerintah punya target waktu untuk penerapan KRIS. Masih diperlukan perhitungan yang matang untuk penerapan KRIS ini.
Catatan berikutnya, seharusnya pemerintah tidak hanya fokus pada standarisasi pelayanan perawatan inap saja, namun juga pada standarisasi pelayanan rawat jalan dan pemberian rujukan.
Apalagi lebih banyak pasien peserta BPJS yang melakukan visit untuk konsultasi dan rawat jalan dibanding rawat inap.
Sementara Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) yang menjadi pintu pertama pelayanan peserta BPJS Kesehatan masih berbeda-beda standar pelayanannya antardaerah, bahkan dalam satu daerah, tergantung pada fasilitas yang dimilikinya.
FKTP di pedesaan atau daerah kabupaten, misalnya, masih cukup tertinggal dibanding FKTP di perkotaan.
Puskesmas di kabupaten dekat Jakarta masih kalah dalam memberikan pelayanan dibanding Puskesmas atau RSUD Tipe D di Jakarta.
Akibatnya peserta BPJS Kesehatan kelas I sekalipun, ketika FKTP-nya berada di Puskesmas di kabupaten, akan mendapatkan pelayanan yang kurang dibanding peserta BPJS kelas III yang FKTP-nya adalah Puskesmas atau RSUD tipe C atau D di perkotaan.