Belum lagi standarisasi dalam memberikan rujukan untuk pemeriksaan lebih lanjut (ke spesialis, misalnya). Sudah menjadi rahasia umum kalau Puskesmas cenderung sulit/pelit memberi rujukan bagi pasien yang sebetulnya membutuhkan rujukan untuk pemeriksaan lanjutan.
Seharusnya pemerintah dan pihak BPJS memberikan perhatian besar terhadap standarisasi pelayanan untuk pelayanan rawat jalan.
Catatan lain adalah kesiapan rumah sakit khususnya RS Tipe C dalam menerapkan KRIS dengan ketersediaan kamar parawatan yang saat ini dimilikinya.
Ketika standarisasi yang digunakan adalah ruang perawatan kelas II saja, banyak RS tipe C yang kesulitan menyediakannya.
Sebagian RS tipe C untuk kelas III, misalnya, masih terdiri dari 4-6 tempat tidur, bahkan ada yang 8 tempat tidur.
Fakta ini juga terkonfirmasi dari proses validasi yang dilakukan, di mana masih minim realisasi pencapaian 12 kritera yang diperlukan untuk penerapan KRIS. Padahal semula pemerintah menyatakan sebagian besar RS sudah memenuhi 12 kriteria tersebut.
Bagi RS Tipe C, dengan standar ini, berarti akan ada pengurangan tempat tidur untuk memenuhi standar tersebut.
Implikasinya ada dua, yaitu pasien akan dioper dari satu RS ke RS lain karena ketidaktersediaan tempat tidur atau rujukan untuk dirawat akan semakin sulit karena keterbatasan tempat tidur di RS.
Padahal KRIS seharusnya berimplikasi pada peningkatan layanan, bukan justru menurunkan kualitas pelayanan bagi pasien BPJS.
Belum lagi isu perbedaan pelayanan antara pasien BPJS dengan pasien bayar pribadi atau asuransi umum di mana pasien BPJS sering merasa dianaktirikan.
Melalui penerapan KRIS bagi peserta BPJS, pemerintah memiliki niatan baik, yaitu untuk meningkatkan standar layanan medis di seluruh rumah sakit dengan menghapus semua kelas perawatan dan menyeragamkannya. Sehingga pelayanan peserta BPJS Kesehatan bisa lebih adil.
Namun penerapan KRIS tetap memerlukan persiapan yang sangat matang dan tidak terburu-buru. Penerapan tergesa-gesa tanpa memperbaiki sistem yang ada akan menyebabkan penerapan KRIS berpotensi menimbulkan masalah.
Tanpa perencanan dan perhitungan matang, KRIS juga berpotensi menghambat akses peserta kepada ruang perawatan.
Penerapan KRIS yang merujuk pada Peraturan Pemerintah Nomor 47 Tahun 2021 menetapkan bahwa rumah sakit swasta dapat mengalokasikan ruang perawatan KRIS minimal 40 persen total ruangan yang ada, sedangkan rumah sakit pemerintah minimal mengalokasikan 60 persen.
Ini berimplikasi akan terjadinya pembatasan akses bagi peserta BPJS Kesehatan ke ruang perawatan di RS karena tidak bisa seluruh ruang perawatan digunakan.