Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Puspita Wijayanti
Dokter, Aktivis Sosial, Kritikus

Saya adalah seorang dokter dengan latar belakang pendidikan manajemen rumah sakit, serta pernah menjalani Program Pendidikan Dokter Spesialis (PPDS) sebelum memutuskan keluar karena menyaksikan langsung dinamika perundungan dan ketidakadilan. Sebagai aktivis sosial dan kritikus, saya berkomitmen untuk mendorong reformasi dalam pendidikan kedokteran dan sistem manajemen rumah sakit di Indonesia. Pengalaman saya dalam manajemen rumah sakit memberikan wawasan mendalam tentang pentingnya sistem yang berfungsi baik, bukan hanya dalam aspek klinis, tetapi juga dalam melindungi kesejahteraan tenaga kesehatan.

Mewujudkan Universal Health Coverage Berkelanjutan Tanpa Membebani Negara

Kompas.com - 28/09/2024, 08:30 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Kedua, penerapan skema Co-Payment. Pemerintah bisa mempertimbangkan skema co-payment, di mana pasien membayar sebagian kecil dari biaya perawatan yang tidak tercakup oleh BPJS, terutama untuk layanan lebih tinggi atau non-dasar.

Negara seperti Singapura telah menggunakan sistem ini dengan sukses melalui skema MediShield Life, di mana pemerintah menanggung sebagian besar biaya perawatan dasar, tetapi pasien membayar lebih jika memilih perawatan premium.

Skema ini tidak hanya mencegah overutilization dari layanan kesehatan yang mahal, tetapi juga memastikan bahwa pendanaan BPJS tidak kehabisan dana akibat plafon yang tidak mencukupi.

Namun ada catatan untuk pemerintah agar dapat memastikan bahwa skema co-payment tidak menghalangi akses ke layanan kesehatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.

Ketiga, diversifikasi sumber pendanaan melalui Sin Tax. Pengenaan sin tax pada produk-produk seperti rokok, minuman beralkohol, atau bahkan produk makanan cepat saji yang tidak sehat dapat meningkatkan pendapatan yang khusus dialokasikan untuk layanan kesehatan.

Thailand telah berhasil menggunakan pajak rokok untuk mendanai sistem Universal Health Coverage mereka, meningkatkan pendapatan sekaligus mengurangi konsumsi produk berbahaya.

Pendapatan tambahan dari pajak bisa diarahkan langsung untuk memperkuat plafon pembiayaan BPJS, khususnya untuk penyakit-penyakit kronis yang diakibatkan oleh gaya hidup tidak sehat.

Keempat, penerapan pajak minuman berpemanis. Salah satu pendekatan yang sangat relevan dalam konteks Indonesia adalah penerapan pajak minuman berpemanis.

Minuman berpemanis, seperti soda dan teh kemasan, menjadi penyebab utama penyakit metabolik, seperti diabetes dan obesitas, yang menyedot anggaran kesehatan negara.

Dengan mengurangi konsumsi minuman berpemanis melalui pajak ini, pemerintah dapat menekan angka penyakit metabolik dan mengurangi beban pada sistem BPJS.

Negara-negara seperti Meksiko dan Filipina telah memberlakukan pajak minuman berpemanis dengan hasil positif.

Di Meksiko, penerapan pajak ini berhasil menurunkan konsumsi hingga 7,6 persen pada tahun pertama, sementara Filipina juga melihat penurunan signifikan dalam konsumsi produk tidak sehat.

Pendapatan dari pajak minuman berpemanis juga dapat dialokasikan untuk meningkatkan plafon BPJS dan mendanai program kesehatan preventif.

Implementasi Universal Health Coverage (UHC)

Untuk mengukur kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan UHC secara penuh, kita bisa membandingkan dengan negara-negara di tingkat ekonomi yang sama, seperti Thailand dan Filipina.

Jumlah penduduk dan rasio dokter-pasien

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau