SISTEM jaminan kesehatan nasional di Indonesia, BPJS Kesehatan, telah membawa manfaat besar bagi masyarakat luas dengan memberikan akses ke layanan kesehatan bagi jutaan orang.
Namun, di balik manfaat ini, ada tantangan yang terus berkembang, yaitu masalah plafon pembiayaan yang rendah atau sering disebut underpay. Tidak jarang, rumah sakit dikritik karena melakukan overclaim atau fraud.
Namun, apakah adil menyalahkan rumah sakit sepenuhnya jika plafon pembiayaan yang diberikan BPJS terlalu kecil? Bagaimana solusi untuk mengatasi masalah ini tanpa membebani negara?
Sistem BPJS Kesehatan menggunakan INA-CBGs (Indonesia Case Base Groups) untuk menetapkan plafon pembiayaan setiap perawatan medis.
Namun, data menunjukkan bahwa tarif yang diberikan seringkali jauh di bawah biaya aktual yang harus dikeluarkan oleh rumah sakit.
Misalnya, operasi jantung bypass yang memiliki plafon sekitar Rp 100 juta- Rp 150 juta di BPJS, sedangkan biaya sebenarnya bisa mencapai Rp 300 juta- Rp 400 juta.
Begitu juga dengan perawatan ICU, di mana plafon hanya sekitar Rp 2 juta per hari, padahal biaya yang sebenarnya bisa mencapai Rp 5 juta- Rp 10 juta.
Jika kita bandingkan dengan negara tetangga seperti Malaysia dan Brunei Darussalam, plafon pembiayaan yang mereka tetapkan jauh lebih tinggi dan realistis, memungkinkan rumah sakit memberikan layanan kesehatan optimal tanpa harus mengakali sistem klaim.
Salah satu penyebab utama dari rendahnya plafon BPJS adalah terbatasnya anggaran kesehatan di Indonesia. Berdasarkan data APBN 2023, pendapatan negara diproyeksikan sebesar Rp 2.463 triliun, sementara defisit anggaran ditargetkan sebesar 2,28 persen PDB.
Dengan rasio pajak (tax ratio) yang hanya sekitar 11-12 persen, pemerintah Indonesia memiliki ruang fiskal terbatas untuk meningkatkan anggaran kesehatan tanpa mengorbankan sektor lainnya yang juga penting.
Selain itu, tingkat pemahaman masyarakat tentang kesehatan masih rendah, terutama di daerah-daerah terpencil. Banyak masyarakat yang belum menyadari pentingnya pencegahan dan pengobatan dini, yang pada akhirnya meningkatkan beban layanan kesehatan.
Ada beberapa solusi yang dapat diterapkan untuk meningkatkan plafon BPJS tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan. Beberapa di antaranya adalah:
Pertama, Public-Private Partnership (PPP). Kolaborasi antara pemerintah dan sektor swasta melalui Public-Private Partnership (PPP) bisa menjadi solusi untuk meningkatkan pendanaan layanan kesehatan.
Pemerintah dapat melibatkan rumah sakit swasta dan penyedia layanan kesehatan dalam pembiayaan, sehingga tidak seluruh beban ditanggung oleh BPJS.
Ini sudah dilakukan di beberapa negara, termasuk Thailand, yang berhasil menciptakan Universal Health Coverage (UHC) yang kuat dengan melibatkan sektor swasta.
Kedua, penerapan skema Co-Payment. Pemerintah bisa mempertimbangkan skema co-payment, di mana pasien membayar sebagian kecil dari biaya perawatan yang tidak tercakup oleh BPJS, terutama untuk layanan lebih tinggi atau non-dasar.
Negara seperti Singapura telah menggunakan sistem ini dengan sukses melalui skema MediShield Life, di mana pemerintah menanggung sebagian besar biaya perawatan dasar, tetapi pasien membayar lebih jika memilih perawatan premium.
Skema ini tidak hanya mencegah overutilization dari layanan kesehatan yang mahal, tetapi juga memastikan bahwa pendanaan BPJS tidak kehabisan dana akibat plafon yang tidak mencukupi.
Namun ada catatan untuk pemerintah agar dapat memastikan bahwa skema co-payment tidak menghalangi akses ke layanan kesehatan bagi masyarakat berpenghasilan rendah.
Ketiga, diversifikasi sumber pendanaan melalui Sin Tax. Pengenaan sin tax pada produk-produk seperti rokok, minuman beralkohol, atau bahkan produk makanan cepat saji yang tidak sehat dapat meningkatkan pendapatan yang khusus dialokasikan untuk layanan kesehatan.
Thailand telah berhasil menggunakan pajak rokok untuk mendanai sistem Universal Health Coverage mereka, meningkatkan pendapatan sekaligus mengurangi konsumsi produk berbahaya.
Pendapatan tambahan dari pajak bisa diarahkan langsung untuk memperkuat plafon pembiayaan BPJS, khususnya untuk penyakit-penyakit kronis yang diakibatkan oleh gaya hidup tidak sehat.
Keempat, penerapan pajak minuman berpemanis. Salah satu pendekatan yang sangat relevan dalam konteks Indonesia adalah penerapan pajak minuman berpemanis.
Minuman berpemanis, seperti soda dan teh kemasan, menjadi penyebab utama penyakit metabolik, seperti diabetes dan obesitas, yang menyedot anggaran kesehatan negara.
Dengan mengurangi konsumsi minuman berpemanis melalui pajak ini, pemerintah dapat menekan angka penyakit metabolik dan mengurangi beban pada sistem BPJS.
Negara-negara seperti Meksiko dan Filipina telah memberlakukan pajak minuman berpemanis dengan hasil positif.
Di Meksiko, penerapan pajak ini berhasil menurunkan konsumsi hingga 7,6 persen pada tahun pertama, sementara Filipina juga melihat penurunan signifikan dalam konsumsi produk tidak sehat.
Pendapatan dari pajak minuman berpemanis juga dapat dialokasikan untuk meningkatkan plafon BPJS dan mendanai program kesehatan preventif.
Untuk mengukur kesiapan Indonesia dalam mengimplementasikan UHC secara penuh, kita bisa membandingkan dengan negara-negara di tingkat ekonomi yang sama, seperti Thailand dan Filipina.
Jumlah penduduk dan rasio dokter-pasien
Indonesia memiliki populasi yang besar, lebih dari 270 juta orang. Namun, rasio dokter terhadap pasien masih sangat rendah, yaitu sekitar 0,4 dokter per 1.000 penduduk.
Sebagai perbandingan, Thailand, dengan populasi sekitar 70 juta, memiliki rasio dokter sekitar 0,8 per 1.000 penduduk.
Rasio yang lebih tinggi di Thailand memungkinkan distribusi layanan kesehatan yang lebih baik di seluruh negeri, sementara Indonesia harus berjuang dengan kekurangan tenaga medis, terutama di daerah terpencil.
Pendapatan dan pajak
PDB per kapita Indonesia sekitar 4.300 dollar AS (2023), berada di kategori menengah-bawah, yang berarti ruang fiskal untuk mendanai UHC masih terbatas.
Sementara Thailand dengan PDB per kapita sekitar 7.000 dollar AS lebih mampu menyediakan layanan kesehatan gratis atau hampir gratis karena basis pajak lebih luas dan pendapatan nasional lebih tinggi.
Dari segi perpajakan, Indonesia memiliki tax ratio (rasio penerimaan pajak terhadap PDB) yang relatif rendah, yaitu sekitar 11-12 persen, jauh di bawah standar yang direkomendasikan oleh organisasi internasional, yaitu 15 persen atau lebih.
Pajak yang rendah ini membuat pemerintah kesulitan mengalokasikan anggaran yang cukup besar untuk kesehatan tanpa mengurangi sektor lain yang juga penting.
Pemahaman kesehatan masyarakat
Indonesia memiliki tantangan besar dalam hal literasi kesehatan. Sebagian besar masyarakat, terutama di daerah pedesaan, masih memiliki pemahaman rendah tentang pentingnya pencegahan penyakit dan perawatan kesehatan yang tepat.
Kampanye edukasi kesehatan perlu diperkuat, seperti yang telah dilakukan di Thailand melalui kampanye preventif kesehatan yang didukung oleh pemerintah dan sektor swasta.
Menghadapi masalah plafon BPJS yang rendah tidak bisa hanya menyalahkan rumah sakit yang dituduh overclaim atau fraud.
Kita harus melihat masalah ini secara lebih luas, dari sisi anggaran negara, sistem perpajakan, dan kemampuan masyarakat dalam memahami kesehatan.
Indonesia masih memiliki tantangan besar, tetapi dengan strategi yang tepat seperti Public-Private Partnership, co-payment, sin tax, dan pajak minuman berpemanis, negara ini bisa mewujudkan Universal Health Coverage yang berkelanjutan tanpa membebani anggaran negara secara berlebihan.
Pemerintah dan masyarakat perlu bekerja sama dalam mengimplementasikan kebijakan ini dengan baik.
Pendapatan dari pajak minuman berpemanis bisa digunakan untuk program edukasi kesehatan, meningkatkan akses layanan kesehatan, dan mendanai layanan kesehatan preventif, yang pada akhirnya mengurangi tekanan pada anggaran kesehatan negara.
Ini adalah langkah konkret yang dapat diambil tanpa membebani negara secara langsung, sekaligus memberikan dampak positif bagi kesehatan jangka panjang masyarakat Indonesia.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.