BANYUWANGI, KOMPAS.com - Pakar Teknologi Pangan Institut Pertanian Bogor Prof. Ir. Ahmad Sulaeman, MS, PhD menjelaskan bahwa pemenuhan gizi anak untuk mencegah stunting perlu dilakukan sejak dalam kandungan.
Upaya pencegahan stunting bisa dimulai dengan mendukung kecukupan gizi pada ibu hamil.
“Seorang ibu (hamil) harus mendapatkan kecukupan gizi yang cukup, mulai dari proteinnya, zat-zat gizi makro, protein energi harus cukup. Termasuk juga asam lemak esensial, dan zat gizi mikro, seperti berbagai vitamin dan mineral,” kata Ahmad pada rangkaian acara Jelajah Gizi 2024 bersama Danone Indonesia di Kabupaten Banyuwangi, pada Selasa, (5/11/2024).
Pasalnya, pemenuhan kebutuhan gizi pada ibu hamil akan menentukan apakah anaknya akan terlahir stunting atau tidak, wasting atau tidak.
Medical and Science Director Danone Indonesia Dr. dr. Ray Wagiu Basrowi, MKK, FRSPH juga menambahkan bahwa orang tua juga perlu mendukung pemenuhan gizi anak sedini mungkin, atau pada dua tahun pertama.
“Memastikan minimal setelah 6 bulan itu harus ada asupan zat-zat gizi mikro paling enggak harus tercukupi,” ujarnya.
Menurutnya, di dua tahun pertama, ukuran lambung anak masih kecil dan sulit untuk mencerna berbagai makanan. Tetapi, anak justru membutuhkan zat besi tiga kali lebih banyak dibandingkan dengan orang dewasa.
Baca juga: Banyuwangi Bidik Zero Stunting 2030 Lewat Program Tanggap Stunting
Berdasarkan data Survei Kesehatan Indonesia (SKI) 2023, prevalensi stunting di Tanah Air tercatat sebesar 21,5 persen yang mengalami penurunan sebesar 0,8 persen dibandingkan tahun sebelumnya.
Banyuwangi merupakan salah satu daerah di Indonesia yang memiliki angka stunting yang tinggi sehingga diperlukan upaya bersama dari berbagai pihak untuk menurunkan prevalensi angka stunting.
Dalam kesempatan yang sama, Plt Kepala Dinas Kesehatan Kabupaten Banyuwangi Amir Hidayat, SKM, M.Si menjelaskan bahwa terdapat beberapa upaya yang dilakukan oleh Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi untuk mengurangi angka stunting.
Salah satunya adalah memberikan edukasi pada ibu hamil agar bisa menyiapkan makanan yang bergizi pada anaknya.
Pemkab Banyuwangi kemudian bekerjasama dengan chef hotel dan nutrisionis untuk membuat makanan yang tidak hanya menarik dan enak, tetapi kandungan gizinya juga tinggi.
Baca juga: Polusi Udara Bisa Jadi Faktor Penyebab Stunting, Kok Bisa?
Maka, pemerintah berkomitmen untuk membantu tumbuh kembang anak melalui program makan bergizi gratis.
Program makan bergizi gratis mulai dilakukan oleh pemerintah untuk mendukung kebutuhan gizi anak agar bisa menurunkan angka stunting di Indonesia.
Staf Khusus Badan Gizi Nasional Prof. Dr. Ir. Ikeu Tanziha, MS menyebutkan bahwa program makan bergizi gratis akan menyasar bayi yang masih ada di dalam kandungan hingga anak-anak SMA.
“Jadi yang dimaksud dengan anak-anak, berdasarkan Konvensi Hak Anak, adalah seseorang yang umurnya di bawah 18 tahun, artinya sampai SMA ya,” ujarnya.
Harapannya, program ini juga akan mendorong orang dewasa untuk memenuhi kebutuhan gizi anak.
Pasalnya, setiap anak mempunyai hak untuk tumbuh, hak untuk hidup, dan keberlanjutan hidup.
“Artinya, dia (anak) harus dapat menikmati keberlanjutan hidupnya secara optimal. Oleh karena itu, nggak boleh lagi anak dilahirkan BBLR, nggak boleh lagi anak dilahirkan dengan stunting. Karena dengan itu, keberlanjutan hidupnya sudah sangat terbatas,” tambahnya.
Namun, standar program makan bergizi gratis akan tergantung dari waktu makan yang akan diberikan mengingat bahwa anggaran yang dimiliki masih terbatas sehingga program ini akan dilakukan secara bertahap.
“Kita tergantung apakah mau makan pagi atau makan siang. Kalau makan pagi, itu sekitar 20-25 persen angka kecukupan gizi. Kalau makan siang, sekitar 30-35 persen angka kecukupan gizi,” jelasnya.
Sedangkan untuk menu yang diberikan akan bergantung dari daerah masing-masing.
Misalnya, anak-anak di daerah yang tidak terbiasa makan nasi akan diberikan makanan pengganti lainnya, seperti jagung atau makanan pokok lain yang biasa dikonsumsi.
Selain itu, pemerintah menginginkan adanya inklusi. Artinya, pemberian makanan akan tergantung dari kondisi anak.
“Jadi inklusi itu adalah ada anak misalnya obes, nah jangan dikasih makanan yang sama. Tapi, itu memang harus kerjasama guru dengan tenaga gizinya,” tutup Prof. Ikeu.
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.