Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 05/07/2013, 14:07 WIB
Unoviana Kartika

Penulis


KOMPAS.com
- Meningkatnya kesadaran pemberian ASI eksklusif memunculkan beberapa fenomena baru, salah satunya adalah donor ASI atau ibu yang tidak dapat memberikan ASI-nya secara langsung meminta bantuan ibu menyusui lain yang kelebihan stok ASI.

Menurut pakar laktasi dr. Utami Roesli, SpA, ASI memang pilihan yang jauh lebih baik dari susu formula. Namun lebih baik lagi jika ibu memberikan langsung kepada bayi.

"ASI-mu hanya untuk anakmu, bukan untuk anak kakakmu, atau anak orang lain," tegasnya dalam Edukasi Laktasi bersama UNICEF dan BCA, Kamis (4/7/2013) kemarin, di Jakarta.

Utami mengatakan, ASI merupakan cairan hidup yang terdiri dari darah orang yang mengeluarkannya. Sehingga ASI bisa merupakan salah satu sarana menyalurkan penyakit, termasuk HIV.

Peraturan Pemerintah tentang donor ASI, lanjutnya, masih belum jelas mengatur pemeriksaan kesehatan pendonor ASI. Sehingga ada kemungkinan pendonor memiliki HIV yang bisa disalurkan ke bayi.

"Tidak seperti di beberapa negara lain, PP tentang donor ASI di Indonesia belum jelas. Seharusnya sebelum mendonor, pendonor melakukan pemeriksaan kesehatan terlebih dulu," paparnya.

Lantaran merupakan cairan hidup, ASI juga berisi gen. Memberikan cairan tersebut ke bayi orang lain berarti ada pencampuran gen di sana.

Menurut ilmu biologi, tidak boleh terjadi perkawinan dari dua orang yang mengandung gen yang sama. Artinya, bayi yang mendapat donor ASI tidak boleh melakukan perkawinan dengan anak pendonor kelak. Apabila terjadi perkawinan, besar kemungkinan keturunannya menderita cacat gen.

"Saya tidak menyarankan donor ASI. Apalagi mendapatnya dari mailing list atau media sosial. Karena belum jelas keadaan orang yang memberikan ASI," kata Utami.

Sebaliknya, Utami menyarankan agar ibu melakukan teknik laktasi yang baik agar ASI bisa lancar. "Bahkan dengan teknik tersebut, seorang nenek bisa lagi mengeluarkan ASI," ujarnya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com