KOMPAS.com - Di zaman canggih ini, akses informasi bisa dengan mudah kita dapatkan.
Kita hanya perlu mengetikan kata kunci yang akan kita cari maka ribuan informasi pun tersaji.
Yah, hal ini memang menguntungkan kita karena kita bisa dengan mudah mencari tahu apapun yang kita inginkan.
Di sisi lain, akses informasi yang mudah ini juga bisa berdampak buruk. Misalnya, ketikakita merasa sakit kepala atau tidak enak badan. Dengan mudahnya kita bisa mengetikan apa yang kita alami di google.
Dalam sekejap, google akan menampilkan berbagai jawaban. Secara tak langsung, hal ini bisa membuat kita melakukan slef-diagnose.
Self-diagnose merupakan istilah yang digunakan ketika seseorang mendiagnosis
penyakit yang sedang dialami berdasarkan pencarian informasi secara mandiri.
Menurut psikolog dan tim konselordari Riliv, Prita Yuliani Maharani, self diagnose ini banyak dilakukan orang untuk memeriksa kesehatan mentalnya.
Baca juga: Sembelit
"Banyak orang yang mencari tahu gejala kesehatan mental di internet, lalu percaya mentah-mentah bahwa mereka sedang mengalaminya. Padahal, apa yang ada di internet belum tentu sesuai dengan mereka," ucapnya.
Menurut Prita, kegiatan mencari tahu gejala kesehatan mental di internet tidak selalu salah. Namun, kita tetap harus melakukan cross-check dengan mendatangi psikolog atau psikiater profesional.
Dengan mendatanggi psikolog atau psikiater, kita bisa menentukan langkah apa yang akan diambil selanjutnya.
Self diagnose bisa membuat kita mengalami dampak buruk seperti berikut:
Manusia memiliki naluri untuk cenderung memikirkan kemungkinan terburuk yang bisa menimpanya.
Degan melakukan self diagnose, kita akan semakin memikirkan hal buruk tersebut sehingga memicu kepanikan yang tidak seharusnya terjadi.
Kalau saja kita lebih memilih berkonsultasi ke psikolog, kitatidak akan merasa panik. Sebab psikolog profesional bisa menjelaskan kondisi kita dengan baik tanpa menimbulkan kepanikan dan kecemasan.
Salah satu resiko dari melakukan self-diagnose adalah memperparah kondisi kesehatan mental kita.