BEBERAPA waktu yang lalu, dalam suatu grup BBM ada satu pesan yang saya terima. Kelihatannya sepele, kecil, tetapi menurut saya maknanya bisa bermacam. Isinya kira-kira begini: Biasanya kalau seorang dokter menerima pasien dengan kegawatan jantung, ada urutan tindakan A, B, C, D yang harus segera dilakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien. A, B, C, D itu sekarang, setelah kasus dr Ayu, bisa ini karena bentuk ekspresi kecemasan, ketakutan, atau bentuk protes terhadap kriminalisasi Dr Ayu dkk, maka diplesetkan menjadi: A, Ambil kertas Informed Conscent, cari keluarga, berikan penjelasan yang lengkap dan minta tanda tangan. B, Bawa pasien untuk rekam jantung, pemeriksaan rontgen, dan laboratorium yang lengkap. C, Cari sertifikat SIP kita, lalu tunjukkanlah kepada keluarga pasien bahwa kita punya SIP. D. Dan baru lah kita lakukan tindakan resusitasi terhadap pasien.
Nah, bayangkan kalau itu benar-benar dilakukan, pasien yang seharusnya mendapatkan penanganan segera, darurat, kemudian harus menunggu lebih dahulu, mengikuti prosedur karena takut akan digugat, seperti kasus dr Ayu dkk, tidak ada informed conscent, informed conscent yang tidak lengkap, dianggap lalai memberikan pelayanan–pada kasus dr Ayu, rIsiko kematian karena emboli tidak dijelaskan–saya kira sebagian besar pasien keburu meninggal.
Terlepas dari salah-benarnya kasus dr Ayu dkk. Gaung pemenjaraanya - walau tidak begitu heboh lagi di media massa - di tingkat pemberi pelayanan kesehatan, terutama para dokter, ibarat ombak, ombak itu masih beriak. Riak-gelombangya walau tidak tampak dipermukaan tidak dalam bentuk demo, turun ke jalan lagi, tapi bisa dalam bermacam reaksi. Ada yang dalam bentuk seloroh ringan, komentar-komentar yang sarat makna, ingin melindungi diri dengan membayar pengacAra, ingin membatasi pasien, melakukan praktek defensive medicine, menolak pasien yang kelihatan bermasalah, mau ambil cuti, bahkan barangkali ada yang berencana mau menggantungkan steteskop-nya.
Ketakutan, kecemasan, kekhawatiran akibat gugatan hukum juga tidak hanya dirasakan langsung oleh dokter yang tergugat, seperti dr Ayu dkk. Tetapi dokter lain dengan kemungkinan ancaman yang sama bisa terjadi. Reaksi psikis seperti cemas, depresi dan gangguan fisik, dalam berbagai kelainan dapat menyerang mereka.
Gejala seperti ini dikenal dengan sindroma stres malapraktik atau malpractice stress syndrome. Di Amerika gangguan stres ini cukup banyak dialami dokter di sana, pada beberapa kasus ada yang bahkan sampai mengalami bunuh diri.
Seperti diketahui, gugatan malapraktik terhadap seorang dokter itu sangat tidak menyenangkan, sangat traumatis, Sebelum kasus itu diajukan ke pengadilan, kasus itu belum tentu benar, baru dugaan saja, kemudian diekspos media masa, dipanggil polisi, kejaksaan merupakan beban yang sangat berat. Anggapan masyarakat bahwa seorang dokter yang mengalami gugatan adalah dokter yang tidak profesional, tidak pintar, tidak baik juga akan membebani, mempengaruhi profesi dokter itu ke depan.
Di Amerika Serikat dimana kasus gugatan malpraktik cukup tinggi, 1 dari 14 dokter di sana diperkirakan akan mengalami gugatan hukum, dan paling tidak satu kali selama menjalani profesinya, dokter di sana pernah digugat.
Dan, walau hanya sekitar 20 persen dari kasus gugatan hukum yang sampai ke pengadilan dimenangkan oleh penggugat, atau dokter yang digugat akhirnya dinyatakan tidak bersalah, proses gugatan hukum yang harus dijalaninya saja menjadi beban yang sangat traumatis.
Banyak mereka yang beralih profesi, dan bahkan ada yang sampai bunuh diri di tengah-tengah proses hukum yang mereka hadapi. Lalu, saya tidak tahu pasti apa yang dirasakan dr Ayu dkk sekarang, setelah dinyatakan bersalah dan dipenjarakan. Dan, apakah dia akan tetap melanjutkan profesinya sebagai dokter ahli kandungan? Atau akan menggantungkan stetoskopnya? Saya tidak bisa menjawabnya, ini tergantung bagaimana dia memaknai hukuman, pengalaman buruk ini. Kalau dia menjadikan ini sebagai cobaan, pembelajaran yang sangat berharga, proses penempaan dirinya, saya yakin dia akan menjadi dokter ahli kandungan hebat nantinya.
Dan, sindroma stress malpraktik ini efeknya saya kira tidak hanya terhadap dokter, kepada pasien pun pasti ada dampaknya, hubungan dokter pasien bisa pun bisa rerpengaruh. Karena itu, dokter, pasien dan para pihak terkait harus berupaya meminimalisir sengketa hukum dokter-pasien
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.