Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 01/12/2013, 16:52 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com-Kasus yang menimpa dr. Ayu berbuntut pada diragukannya kompetensi seorang dokter yang hampir menyelesaikan studi spesialisnya. Padahal kemampuan seorang chief resident sudah bisa dikatakan sama dengan spesialis, walau masih harus melakukan konsultasi dengan konsulennya.

Yang membedakan hanyalah kepemilikan surat izin praktek (SIP), yang lebih merupakan masalah administratif dibanding akademis. "SIP diurus fakultas dan dinas kesehatan setempat, bukan per individu. Kalau memang ini jadi masalah, maka bisa saja para calon dokter melakukan defensive medicine," kata ketua persatuan obstetri dan ginekologi indonesia (POGI), Nurdadi Saleh, saat dihubungi KOMPAS Health pada Minggu (01/12/2013).

Defensive medicine, kata Nurdadi, merupakan dampak kekhawatiran para dokter. Praktik pengobatan ini kerap dilakukan di luar negeri. Yaitu, para dokter melakukan berbagai pemeriksaan berlebihan yang sebetulnya tidak penting. Hal ini untuk membentengi para dokter seandainya terjadi hal diluar perkiraan, misalnya terjadi emboli udara.

Bentuk kekhawatiran lainnya adalah tidak akan praktek sampai SIP keluar. Padahal SIP umumnya tidak jadi dalam waktu singkat. Dalam beberapa kasus SIP baru jadi setelah dokter tersebut selesai masa baktinya di suatu daerah.

Selain itu, mungkin saja para calon dokter tidak mengambil tindakan sampai keluarga pasien tiba. Hal ini tentu tidak tepat bila diterapkan pada kasus emergency. Kasus emergency mendapat keistimewaan karena membutuhkan penanganan segera, sehingga dalam beberapa kasus tidak membutuhkan persetujuan keluarga.

"Kalau sudah begitu harus bagaimana ? Kami para dokter juga harus melindungi diri. Mungkin juga ada penarikan calon dokter spesialis, karena SIP yang belum keluar," kata Nurdadi.

Penarikan, kata Nurdadi, tentu berdampak buruk bagi pelayanan kesehatan. Hal ini akan sangat dirasakan calon dokter spesialis yang berpraktek di wilayah lain Indonesia, melalui jejaring sister hospital. Salah satunya terdapat di propinsi Nusa Tenggara Timur, sebanyak 8-10 rumah sakit.

Wilayah lain, ujar Nurdadi, yang masuk dalam sister hospital dari FKUI-RSCM adalah Papua, Natuna, dan Rote. Biasanya seorang chief resident akan berada di wilayah tersebut selama 1-2 bulan. Terbatasnya sarana, kerap kali menyebabkan seorang chief resident berpraktek terlebih dulu tanpa menunggu SIP.

"Kasihan sekali kalau sampai defensive medicine atau penarikan terjadi. Wilayah yang tadinya sudah merasakan fasilitas seorang spesialis kembali mundur. Padahal seorang chief resident sudah bisa melakukan persalinan biasa, operasi tumor kandungan jinak, dan bedah caesar," kata Nurdadi.

Hal senada diungkapkan humas Persatuan Anggota Muda Obstetri dan Ginekologi (PAOGI), dr. Ulul Albab. Menurutnya persoalan SIP tidak seharusnya menghambat upaya peningkatan kesehatan dan kemampuan para calon dokter spesialis.

"Kami khawatir para calon dokter tidak mau lagi ditempatkan di lokasi terpencil atau wilayah lain Indonesia. Kami juga menjadi lebih khawatir pada tindak pengobatan yang diambil. Kalau sudah begini tentu masyarakat yang akan merugi," ujar dokter yang tengah menempuh program spesialis tahun keempat di FKUI-RSCM ini.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau