Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 22/11/2013, 17:15 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com - Bagi masyarakat perkotaan, melahirkan dengan bantuan bidan atau dokter kandungan sudah menjadi hal yang lazim. Masyarakat bahkan tak akrab dengan aktivitas dukun persalinan, meski mungkin pernah mendengarnya.

Berbeda kondisinya di Desa Cempi Jaya, Kecamatan Hu’u, Kabupaten Dompu, Provinsi Nusa Tenggara Barat. Di desa ini, dukun persalinan bukan sesuatu yang asing. Adalah Junari (33) salah satu warga yang pernah merasakan sentuhan tangan seorang dukun persalinan, saat melahirkan putra sulungnya Ardiansyah Putra pada 2004.

Kendati kondisi sang putra baik-baik saja, namun Junari menolak melahirkan dengan penanganan yang sama untuk persalinan berikutnya.

“Saya tidak mau lagi pakai dukun. Sakit sekali rasanya waktu melahirkan. Beda dengan bidan, tidak seberapa sakit,” ujarnya saat ditemui di rumah panggungnyadi Dompu, NTB, pada Rabu (20/11/2013).

Menurut Junari, dirinya memilih dukun karena memang tidak ada lagi alternatif lain. Kebiasaan di wilayah dan minimnya pengetahuan menyebabkan dukun menjadi pilihan satu-satunya bagi Junari.

Dukun persalinan tidak menggunakan obat bius untuk meredakan rasa sakit saat proses melahirkan. Junari mengatakan, dirinya beruntung karena sang putra dan dirinya selamat. Dirinya tak mengalami nasib seperti salah seorang saudaranya yang meninggal saat bersalin dengan bantuan dukun.

Pengalaman tersebut kemudian melatarbelakangi dirinya mengikuti program yang diselenggarakan lembaga nirlaba Plan Indonesia. Dua tahun mengikuti program Plan Indonesia, Junari mengetahui kerugian melahirkan jika tidak ditangani pihak yang kompeten.

“Risikonya lebih besar, karena dukun tidak mengetahui bagaimana posisi dan kondisi bayi yang benar waktu lahir. Kita juga tidak diberi tahu bagaimana merawat bayi yang benar, belum lagi kalau ada masalah waktu melahirkan. Tapi yang utama adalah rasa sakit yang menjadi lebih ringan kalau melahirkan di bidan,” kata Januri.

Salah satu saran perawatan yang sangat dirasakan manfaatnya adalah, tidak terlalu lama memandikan bayi. Januri mengatakan, sejak dulu di daerahnya ada kebiasaan memandikan bayi dengan air beras dengan waktu yang lama. Ukuran standarnya adalah kulit bayi berubah biru dan beras melunak.

Tujuan memandikan dalam waktu lama adalah, supaya bayi benar-benar bersih sehingga bisa tidur nyenyak. Bayi yang kerap terbangun, rewel, dan tidur dalam waktu sebentar mengindikasikan mandi yang tidak bersih. Padahal bayi bisa rewel karena berbagai hal, tidak sekedar mandi yang kurang bersih.   

Berdasarkan pengetahuan ini, Januri akhirnya memilih bidan poliklinik desa (polindes) sebagai tenaga yang membantu proses kelahiran berikutnya. Sehingga kelahiran Nurlaelatun dan Astrianingsih, putri kedua serta ketiga Januri sukses ditangani bidan. Pengalaman inilah yang kemudian dibagikannya pada masyarakat sekitar.

“Sekarang hampir tidak ada yang melahirkan pakai dukun. Polindes juga sudah dekat. Makin mudah melahirkan di bidan. Kita juga diberitahu pentingnya ASI dan MPASI usai melahirkan, bagi anak dan diri kita,” ujarnya.

Sulitnya menbangun kesadaran masyarakat
Menurut Community Development Officer Plan Indonesia, Nur Hasanah, bukan hal mudah mengubah kebiasaan bersalin di dukun. Kendati sebagian masyarakat mengetahui kerugian yang diperoleh, namun kebiasaan yang masih berakar seolah tidak memberikan ruang.

“Pada akhirnya kita yang harus mendatangi mereka. Beberapa orang yang menjadi role model kita jadikan kader. Kita juga mendekati para dukun untuk dijadikan mitra bidan,” kata Nur.

Pada akhirnya para dukun tidak lagi melakukan proses persalinan. Para dukun bertugas mendampingi bidan dan masyarakat yang ingin bersalin. Keberadaan para dukun diduga mendatangkan kenyamanan pada masyarakat, yang tidak terbiasa bersalin di bidan.

Untuk meningkatkan minat, tak jarang Plan Indonesia memberi biaya transportasi pada  masyarakat yang mengikuti program. Hal ini dikarenakan jarak jauh masyarakat desa yang harus ditempuh bila mengikuti program yang diselenggarakan di kabupaten.

Usaha selama 17 tahun tersebut berbuah manis. Saat ini hampir tidak ada mayarakat Dompu yang bersalin di dukun.

“Semua memang harus dilakukan bertahap. Selama lima tahun pertama kita bersifat amal, semua yang dibutuhkan masyarakat kita beri. Setelah itu barulah kita mengubah kebiasaan dan pola pikir, termasuk bersalin di dukun,” kata Nur yang bergabung dengan Plan Indonesia sejak 2006.

 

 

 

 

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Baca tentang

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau