Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/05/2014, 15:32 WIB


Budaya korupsi

Amich Alhumami dalam Korupsi, Perspektif Antropologi (Kompas, 15 Desember 2008) menulis, dalam konteks budaya yang berlainan, korupsi bisa dimaknai berbeda. Pada wacana modern, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, lembaga publik, dan kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi, manfaat ekonomi, atau keuntungan finansial lainnya.

Pada konteks budaya negara patrilineal, pengertian korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi tak berlaku. Pada masyarakat patrilineal itu, kekuasaan telah mengalami personalisasi, jabatan publik dianggap milik pribadi. Karena itu, mengalokasikan sumber daya publik (aset ekonomi, pekerjaan, dan dana) kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni dianggap lumrah.

Selain itu, dalam masyarakat tradisional, pemberian barang atau uang yang dalam wacana korupsi disebut gratifikasi merupakan simbolisasi dan pengikat relasi sosial. Budaya saling memberi bukan dianggap sogokan, melainkan wujud rasa terima kasih.

Namun, masyarakat modern memaknainya berbeda. Gratifikasi dimaknai sebagai korupsi karena dimanfaatkan untuk memperlancar urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Fungsi sosial tukar hadiah diselewengkan menjadi uang suap/pelicin yang jelas bertentangan dengan moral publik dan etika sosial.

Kondisi itu membuat pemberantasan korupsi di Indonesia makin sulit karena budaya masyarakat belum mendukung. Sebagian masyarakat justru menganggap koruptor sebagai ”pahlawan” dan korupsi sebagai hal biasa. Tidak memalukan.

Meski demikian, Rahmat menilai pandangan masyarakat terhadap korupsi bisa diubah. Pandangan korupsi sebagai aib, sebuah tindakan memalukan yang menghilangkan harga diri, bisa dibangun. Sikap malu itu berlaku bukan hanya bagi koruptor, melainkan juga bagi orang-orang yang berhubungan dengan koruptor.

”Jika rasa malu menjenguk koruptor bisa dibangun, itu akan lebih efektif sebagai sanksi moral dan sosial bagi koruptor dibandingkan dengan memberi koruptor pakaian khusus,” tuturnya.

Upaya membangun rasa malu itu akan lebih efektif melalui sistem, bukan dengan membangun karakter masyarakat. Menurut Rahmat, pembangunan karakter dengan pendekatan psikologis selalu lebih sulit.

Taufiq menambahkan, masyarakat tak terbiasa dengan rasa malu karena sistem yang belum mendukung. Hukuman bagi koruptor dianggap masih terlalu rendah. Selain itu, rasa malu individu sulit ditumbuhkan karena korupsi banyak yang dilakukan bersama-sama.

Pendidikan memegang peran penting dalam menumbuhkan rasa malu atas dasar benar salah sesuai norma yang berlaku. Namun, pendidikan di Indonesia belum mampu menumbuhkan rasa malu itu sebagai bagian dari perilaku publik.

Budaya patrilineal masyarakat Indonesia membuat kekerabatan antarmasyarakat sangat kuat. Pada sistem kekerabatan itu, upaya penyamaan atau meniru orang lain mudah dilakukan, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya dengan membangun perilaku positif, butuh figur teladan yang sangat kuat.

Persoalannya, masyarakat saat ini kekurangan figur teladan baik dalam masyarakat. Bahkan, guru-guru di sekolah yang seharusnya jadi panutan siswa agar punya rasa malu atas pelanggaran terhadap norma justru mendorong siswa mencontek dalam ujian nasional. ”Budaya malu tak bisa diajarkan karena bukan teori. Tapi harus dicontohkan sebagai keterampilan hidup,” ujarnya.

Selain itu, penegakan hukum juga perlu diperkuat. Hukuman bagi koruptor pun perlu diperberat. Gerakan sosial masyarakat yang anti korupsi juga perlu terus dibangun sebagai alat kontrol masyarakat. Tak sebatas menunggu penegakan hukum. (M. Zaid Wahyudi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com