Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 03/05/2014, 15:32 WIB

KOMPAS.com
- Az, salah satu tersangka kekerasan seksual di Jakarta International School, tewas setelah minum cairan pembersih lantai di toilet Polda Metro Jaya, Sabtu (26/4). Polisi menduga ia bunuh diri, malu atas perbuatannya. Pada secarik kertas yang ditunjukkan polisi, Az menulis pernah melakukannya sekali.

Secara universal, dorongan seksual terhadap anak dan bunuh diri adalah sesuatu yang terlarang, tak bisa dibenarkan. Namun, pengakuan Az seperti yang ditunjukkan polisi memperlihatkan masih adanya rasa malu dan kejujuran dalam dirinya.

Kondisi berbeda dipertontonkan sebagian tersangka korupsi. Dengan tersenyum dan melambaikan tangan, mereka keluar gedung Komisi Pemberantasan Korupsi seusai pemeriksaan. Dalam persidangan di pengadilan tindak pidana korupsi, mereka pun enggan mengakui perbuatannya meski sudah disumpah berdasar kitab suci.

Psikolog Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, Rahmat Hidayat, Rabu (30/4), mengatakan, rasa malu dan bersalah merupakan fenomena yang berbeda pada setiap budaya. Mengutip disertasi Seger Breugelmans di Universitas Tilburg, Belanda, berjudul Cross-cultural Non (Equivalence) in Emotion: Studies of Shame and Guilt, 2004, bangsa Barat dan Timur punya persepsi berbeda atas rasa malu.

Masyarakat Eropa (studi di Belgia) mengaitkan rasa malu dengan sesuatu yang bersifat normatif, benar atau salah berdasar norma yang berlaku. Sementara masyarakat timur (studi di DI Yogyakarta) menempatkan rasa malu berdasar relasi sosialnya, apakah bisa diterima atau ditolak lingkungannya. Bukan perkara benar-salah.

”Ukurannya patut atau tidak secara sosial. Rujukannya, apakah perbuatan itu biasa dilakukan orang lain di lingkungannya atau tidak,” katanya. Pada konteks itu, sikap kelompok afiliasinya menjadi penting.

Pada kasus Az, Rahmat menduga rasa malu lebih dominan menjadi pendorong bunuh diri, bukan rasa bersalah. Dasarnya, budaya Indonesia memandang membuka bagian tubuh orang lain, apalagi sampai melakukan kekerasan seksual adalah hal memalukan.

Malu adalah aspek emosi, sedangkan rasa bersalah merupakan aspek kognisi yang terkait dengan kemampuan berpikir.

Sementara, bagi koruptor, hal yang memalukan bukanlah perbuatan korupsinya. Namun, apakah ia masih diterima atau tidak oleh lingkungannya. Inilah yang akhirnya jadi persoalan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia. ”Korupsi tak lagi dianggap aib diri,” ujarnya.

Pada banyak kasus, uang hasil korupsi tak dinikmati pelaku sendiri, tetapi juga lingkungan sekitarnya, langsung atau tidak langsung. Meski koruptor telah dipenjara, dukungan dari orang-orang di sekitarnya, baik keluarga maupun rekan-rekan di partai politik, tetap mengalir dan dielu-elukan. Bahkan, ada koruptor yang bisa melantik anak buah dalam penjara.
Otak

Kepala Pusat Studi Otak dan Perilaku Sosial Universitas Sam Ratulangi, Manado, Taufiq Pasiak mengatakan, rasa malu dan kejujuran diproses pada bagian otak yang sama, yaitu korteks prefrontal, khususnya daerah orbitofrontal. Bagian itu di belakang mata dan secara umum mengatur moral manusia.

Pada Az, rasa malu muncul sebagai buah konflik batin karena ia dikenal lingkungannya sebagai orang taat beragama. Namun, Az tidak berusaha merasionalkan atau mencari pembenaran atas perbuatannya, misalnya karena dipaksa teman.

Sementara, pada koruptor, rasa malunya hilang karena tertekan upaya rasionalisasi atau pembenaran tindak korupsinya. Pembenaran korupsi itu biasanya berdasar dalih uang hasil korupsinya untuk partai, keluarga, atau disumbangkan.

Taufiq menegaskan, rasionalisasi atau proses pembenaran tindakan sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan diri saat manusia terancam. Proses itu bertujuan positif, misalnya sebagian orang yang kemalingan atau kecopetan memaknai musibah itu sebagai teguran Tuhan untuk lebih banyak beramal.

Namun, pada sebagian orang, termasuk koruptor, pembenaran justru dilakukan untuk tindakan yang jelas salah. Contohnya, seseorang korupsi karena keluarga, lingkungan sosial, atau partai politiknya butuh uang itu. ”Proses rasionalisasi dan mekanisme bertahan diri dimaknai berbeda oleh Az dan koruptor,” katanya.

TRIBUNNEWS/DANY PERMANA Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Akil Mochtar bersaksi dalam sidang Tubagus Chaeri Wardhana alias Wawan di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Jakarta, Kamis (24/4/2014). Wawan dan Akil diduga terlibat dalam kasus suap pengurusan beberapa pilkada di MK.

Budaya korupsi

Amich Alhumami dalam Korupsi, Perspektif Antropologi (Kompas, 15 Desember 2008) menulis, dalam konteks budaya yang berlainan, korupsi bisa dimaknai berbeda. Pada wacana modern, korupsi didefinisikan sebagai penyalahgunaan kekuasaan, lembaga publik, dan kewenangan yang dipercayakan untuk kepentingan pribadi, manfaat ekonomi, atau keuntungan finansial lainnya.

Pada konteks budaya negara patrilineal, pengertian korupsi sebagai penyalahgunaan kekuasaan untuk kepentingan pribadi tak berlaku. Pada masyarakat patrilineal itu, kekuasaan telah mengalami personalisasi, jabatan publik dianggap milik pribadi. Karena itu, mengalokasikan sumber daya publik (aset ekonomi, pekerjaan, dan dana) kepada keluarga, kerabat, teman, dan kroni dianggap lumrah.

Selain itu, dalam masyarakat tradisional, pemberian barang atau uang yang dalam wacana korupsi disebut gratifikasi merupakan simbolisasi dan pengikat relasi sosial. Budaya saling memberi bukan dianggap sogokan, melainkan wujud rasa terima kasih.

Namun, masyarakat modern memaknainya berbeda. Gratifikasi dimaknai sebagai korupsi karena dimanfaatkan untuk memperlancar urusan dan mempermudah penyelesaian masalah. Fungsi sosial tukar hadiah diselewengkan menjadi uang suap/pelicin yang jelas bertentangan dengan moral publik dan etika sosial.

Kondisi itu membuat pemberantasan korupsi di Indonesia makin sulit karena budaya masyarakat belum mendukung. Sebagian masyarakat justru menganggap koruptor sebagai ”pahlawan” dan korupsi sebagai hal biasa. Tidak memalukan.

Meski demikian, Rahmat menilai pandangan masyarakat terhadap korupsi bisa diubah. Pandangan korupsi sebagai aib, sebuah tindakan memalukan yang menghilangkan harga diri, bisa dibangun. Sikap malu itu berlaku bukan hanya bagi koruptor, melainkan juga bagi orang-orang yang berhubungan dengan koruptor.

”Jika rasa malu menjenguk koruptor bisa dibangun, itu akan lebih efektif sebagai sanksi moral dan sosial bagi koruptor dibandingkan dengan memberi koruptor pakaian khusus,” tuturnya.

Upaya membangun rasa malu itu akan lebih efektif melalui sistem, bukan dengan membangun karakter masyarakat. Menurut Rahmat, pembangunan karakter dengan pendekatan psikologis selalu lebih sulit.

Taufiq menambahkan, masyarakat tak terbiasa dengan rasa malu karena sistem yang belum mendukung. Hukuman bagi koruptor dianggap masih terlalu rendah. Selain itu, rasa malu individu sulit ditumbuhkan karena korupsi banyak yang dilakukan bersama-sama.

Pendidikan memegang peran penting dalam menumbuhkan rasa malu atas dasar benar salah sesuai norma yang berlaku. Namun, pendidikan di Indonesia belum mampu menumbuhkan rasa malu itu sebagai bagian dari perilaku publik.

Budaya patrilineal masyarakat Indonesia membuat kekerabatan antarmasyarakat sangat kuat. Pada sistem kekerabatan itu, upaya penyamaan atau meniru orang lain mudah dilakukan, baik itu yang bersifat positif maupun negatif. Oleh karena itu, untuk mengubah budaya dengan membangun perilaku positif, butuh figur teladan yang sangat kuat.

Persoalannya, masyarakat saat ini kekurangan figur teladan baik dalam masyarakat. Bahkan, guru-guru di sekolah yang seharusnya jadi panutan siswa agar punya rasa malu atas pelanggaran terhadap norma justru mendorong siswa mencontek dalam ujian nasional. ”Budaya malu tak bisa diajarkan karena bukan teori. Tapi harus dicontohkan sebagai keterampilan hidup,” ujarnya.

Selain itu, penegakan hukum juga perlu diperkuat. Hukuman bagi koruptor pun perlu diperberat. Gerakan sosial masyarakat yang anti korupsi juga perlu terus dibangun sebagai alat kontrol masyarakat. Tak sebatas menunggu penegakan hukum. (M. Zaid Wahyudi)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com