Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Mengapa Harus “Marketing of Fear” untuk Kesehatan yang Lebih Baik?

Kompas.com - 02/05/2016, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Hampir setiap kali membaca iklan yang berhubungan dengan kesehatan, entah itu jualannya rumah sakit atau asuransi, saya jadi semakin cemas dan ngeri. Saya yang berprofesi dokter saja punya perasaan itu. Apalagi, awam tentunya.

 

Keliaran beriklan hingga menakut-nakuti pecinta hidangan laut akan penyakit batu ginjal kedengaran amat tidak mendidik, terutama jika yang beriklan justru rumah sakit yang berjualan fasilitas.

 

Faktanya, tidak ada korelasi positif yang signifikan antara inside penyakit batu ginjal dan kegemaran makan ikan, cumi atau udang.

 

Kalau memang begitu, bukankah bangsa Jepang bisa menempati peringkat teratas sebagai populasi penderita berbagai macam penyakit, mulai dari ginjal hingga kolesterol tinggi? Tapi, justru yang terjadi sebaliknya. Orang Jepang dikenal berumur panjang, sehat dan bugar.

 

Teknik menebar ketakutan juga dipakai pedagang asuransi kesehatan dan jiwa, yang akhirnya menuai stigma kontra produktif; seakan-akan orang yang membeli asuransi jiwa setiap saat bisa mati tanpa risiko bangkrut.

 

Padahal, asuransi kesehatan dan jiwa bisa laris manis bila ‘marketing of fear’- diganti menjadi ‘marketing of wealth’.

 

Siapa sih yang tidak mau jadi kaya? Bahkan tetap kaya sesudah mati. Walaupun penghasilan nampaknya amat pas-pasan untuk hidup dan sangat mustahil memberi warisan, apalagi rumah saja masih dalam proses cicilan – asuransi jiwa bisa menawarkan solusi sebagai harta warisan.

 

Prinsipnya, menabung untuk masa depan. Bukan hanya untuk diri sendiri, tapi terlebih untuk orang-orang tercinta.

 

Prinsip yang sama tentu akan terdengar lebih greget dan punya ‘daya jual tinggi’ apabila ‘marketing of health’ ditawarkan sebagai kemasan upaya promotif dan preventif.

 

Bukan berupa wajah menakutkan bila diabetes harus berisiko amputasi atau kolesterol tinggi berujung serangan jantung.

 

Marketing of health harusnya justru menampilkan wajah-wajah sumringah yang awet muda dan produktif. Tetap dicari orang di usia senior, karena profesionalisme dan fokus prima di pekerjaan dengan pengalaman yang mapan.

 

Sudah terlampau usang dan terkesan otoriter konyol jika pesan memeriksakan kehamilan rutin harus menampilkan manusia berjas putih dengan acungan jari telunjuk menyuruh publik patuh.

 

Apalagi, disertai kalimat perintah yang dimulai dengan kata,”Ingat!”. Lha, siapa yang mau ingat. Dianggap ‘harus’ pun tidak. Pemirsa akan jauh lebih tersentuh dan tertarik, bila mereka melihat tayangan anak-anak sehat berlarian dengan sang ibu tertawa sambil memasak, tanpa perlu wajah artis berpoles riasan tak wajar.

 

Mengajak publik hidup membumi dan menjalankan hidup sehat tidak terlalu sulit-sulit amat. Yang pasti, kata patuh harus diubah menjadi paham.

 

Publikasi atau tayangan yang membuat pehamanan bekerja disebut tuntunan. Sayangnya, justru tontonan masih terlalu mendominasi tanpa memberi tuntunan.

 

Akhirnya, apa yang kelihatan sebagai ‘seharusnya’ menjadi mimpi belaka, ketimbang apa yang penting diperbuat. Padahal, faktanya, manusia tidak menjalankan apa yang ‘seharusnya’ – melainkan apa yang saat itu penting.

 

Seharusnya, kendaraan berhenti saat palang pelintasan kereta api turun. Tapi orang memilih menerobos kolong palang pintu, karena yang penting ingin cepat-cepat sampai di tujuan.

 

Seharusnya, penderita diabetes mempunyai berat badan proporsional. Tapi mereka tetap gemuk, karena yang penting hanya nilai gula darah yang cukup dikontrol dengan cara praktis: minum obat penekan gula darah.

 

Seharusnya, jam 10 malam badan membutuhkan istirahat tidur nyenyak. Tapi banyak orang memilih tetap terjaga hingga tengah malam, karena yang penting harus tetap mengikuti serial drama televisi yang pantang terlewat. Mata mengantuk esok hari, toh bisa diganjar dengan kopi satu gelas.

 

Tentang marketing of health

Marketing of health tidak bisa berpatokan pada apa yang seharusnya. Tapi pada apa yang penting. Bagaimana publik bisa melihat bahwa hal tersebut penting bagi mereka. Bukan bagi pemerintah dan pencapaian program.

 

Saat ini telah berkembang berbagai normalitas baru akan gaya hidup yang sama sekali berbeda dengan situasi beberapa dekade lalu.

 

Normalitas baru tentang makna kepraktisan, hemat waktu, efisien dan entah apa lagi istilah moderen lainnya.

 

Yang patut dipahami, tubuh ini tetap klasik. Tubuh tidak berevolusi secepat teknologi elektronik. Jadi, istilah praktis tentu tidak bisa diterapkan untuk memberi makan tubuh.

 

Marketing of health tidak selayaknya mempromosikan sarapan praktis dengan keberpihakan industri teknologi pangan.

 

Tetapi justru memberi pemahaman tentang asupan pangan yang benar dan berpihak pada kebutuhan kodrati – bukan kebutuhan tubuh yang dipaksakan sebatas yang tertulis di kemasan produk pabrik.

 

Tidak ada merek dagang yang diuntungkan. Tapi kesejahteraan merata bagi si pemilik tubuh, pengolah hasil bumi, kesuburan tanah pertiwi, keberlangsungan hidup yang mumpuni. Itu makna promosi kesehatan.

 

Tidak harus, sih. Tapi jika ini penting, tentu ada pihak yang akan memulai prosesnya.

 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com