Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Ketika Peradaban Tergeser Moderenisme, Jangan Sampai Penyakit Kontemporer Jadi Warisan

Kompas.com - 25/05/2016, 07:15 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Belum ada seminggu saya ‘turun gunung’ – tepatnya turun dari Tembok Besar Tiongkok yang terkenal itu. Bukan untuk pamer bahwa saya sanggup ke sana, karena misinya bukan untuk itu. Terakhir saya melalui lintasan gerbang Ba Da Ling yang mudah dijangkau dari ibu kota Beijing itu sekitar 20 tahun yang lalu.

Saat kendaraan menepi, saya masih berharap menemukan penjual selimut patchwork warna-warni di tepi jalan dan bakpau gandum asli tanpa pemutih, tanpa pengawet, yang harum ngebul dari alat kukus sederhana penduduk setempat.

Tapi, Tembok Besar yang masih tetap kokoh dan mengagumkan itu telah bernuansa sangat berbeda.

Atas nama kemajuan turisme, selain gerbang tiket telah direnovasi apik, deretan warung telah berganti jadi kios-kios berpenampilan rapi di sekitar museum yang berdiri megah dan di sepanjang jalan menanjak menuju tangga pendakian.

Namun, terasa seperti ada yang hilang. Bukan hanya soal selimut warna-warni dan bakpau gandum, tapi semua yang mereka sebut sebagai ‘makanan’ yang ada di deretan kios asri itu, kini juga berpenampilan rapi buatan pabrik dengan kemasan meriah.

Mereka tidak lagi menjual plum atau aprikot sungguhan, atau sekedar apel pedesaan. Melainkan gambar-gambar buah itu, yang tercetak di bungkusan biskuit renyah beraroma buah. Juga pada dus kue-kue yang tahan lama sesuai tanggal kadaluwarsa.

Kelihatannya membuat perdagangan mudah, karena awet tertata di rak toko, bahkan tanpa harus membuatnya sendiri.

Hal serupa terjadi dengan beraneka kaos dan jaket dari produsen yang sama bertuliskan “I have climbed the great wall”.

Yang membuat saya prihatin, 20 tahun yang lalu manusia memberi makan dirinya sesuai apa yang alam sodorkan.

Peradaban menjadikan agrikultur lebih manusiawi dan agribisnis modern memajukan usaha dan pengadaannya hingga ke tangan konsumen. Kerajinan tangan saat itu mencerminkan budaya. Indah, beragam, unik.

Tapi rupanya itu tidak cukup. Atas nama kebersihan, buah dijadikan ekstrak – atau lebih parah lagi hanya aroma sintetisnya, dan dikemas dalam rupa minuman baru sarat gula serta pewarna “yang diijinkan”.

Industri pangan yang tak terkendali

Era kontemporer menyeruak masuk menciptakan fusion food – makanan aneh hasil pemaksaan inkulturasi, sehingga pia Cina tidak lagi berisi kacang merah, melainkan lelehan keju.

Ingatan saya melesat cepat pada penjual uli bakar yang berjejer di depan pasar Lembang. Akankah mereka dan uli-nya bernasib sama 20 tahun mendatang nanti?

Begitu pula dengan deretan pemanggang sate kelinci di sepanjang tanjakan Gunung Gede. Apakah atas nama higiene dan kemajuan teknologi pangan, lalu daging kelinci diolah jadi nugget dalam kemasan steril aluminium warna-warni, yang tahan sekian bulan di atas rak?

Tren ke arah sana sudah kelihatan tanda-tandanya. Betapa sulit menemukan pisang kepok di warung kampung, ketimbang mie instan atau biskuit cokelat.

Arus industri pangan tak terkendali. Sepertinya, otoritas kesehatan yang berwenang pun tak punya kendali menentukan berapa jumlah gula dan batasan pangan rafinasi yang mampu ditoleransi tubuh manusia.

Mengapa harus negri maju seperti Inggris yang memulai regulasi, bahkan memberi peringatan asupan pangan anak? Apa salahnya bila Indonesia pun mengambil inisiatif yang sama?

Padahal, kita semua katanya berjuang melawan penyakit tak menular, yang erat dengan gaya hidup dan pola makan. Tapi begitu banyak pakar kesehatan malah permisif, mengandaikan ‘boleh-boleh saja, asal tidak terlalu sering’.

Kalimat itu barangkali tepat, bila angka kematian akibat penyakit tidak menular masih dibawah 10%. Dan orang yang diajak bicara, tahu persis istilah ‘tidak terlalu sering’ itu seberapa dan berapa kali dalam seminggu.

Tapi, dengan data 31% kematian di Indonesia pada tahun 2013 akibat penyakit jantung dan pembuluh darah, maka sudah waktunya pakar kesehatan lebih konsisten untuk kembali ke peradaban makan yang sesungguhnya.

Tidak banyak yang paham tentang istilah ‘makanan sungguhan’ untuk kebutuhan manusia sesungguhnya dan ‘makanan budaya’ yang muncul akibat perjalanan evolusi budaya – bukan karena dibutuhkan tubuh. Melainkan, karena dicandukan lidah dan mendongkrak pasar di era industri.

Padahal, manusia tidak lahir dari atas ban berjalan. Kita lahir terbungkus kantung ari-ari, bukan kantung plastik. Kearifan untuk mengakui hukum kodrat dan kebutuhan kodrati seakan sudah lenyap.

Makan disejajarkan hanya sebagai kebutuhan fisik belaka, yang bisa dihitung lewat ilmu kalori dan teori gizi. Seakan, makanan asli ciptaan Tuhan sudah tersaingi oleh buatan manusia.

Rasanya tidak salah jika ada yang pernah mengatakan bahwa, 80% benda yang disebut ‘makanan’ pada rak-rak toko swalayan, sebenarnya 100 tahun yang lalu tidak pernah ada.

Jadi, betapa mengenaskan bila sebagian besar penyakit tak menular sebenarnya merupakan fenomena seberapa bagusnya kerja sama pemangku kebijakan dan penyedia layanan kesehatan.

Bukan saja demi pemangkasan borosnya biaya berobat, tapi terlebih pencegahan jatuhnya semakin banyak korban akibat pembiaran.

Bila peradaban manusia beribu tahun yang lalu telah mewariskan Borobudur dan Tembok Besar Tiongkok yang begitu dikagumi, lalu peradaban kita hari ini meninggalkan apa bagi generasi sekian abad mendatang? Penyakit kontemporer?

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com