Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
DR. dr. Tan Shot Yen, M.hum
Dokter

Dokter, ahli nutrisi, magister filsafat, dan penulis buku.

Tubuh Manusia Bukanlah Hasil Rakitan Teknologi

Kompas.com - 22/08/2016, 19:55 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini
EditorBestari Kumala Dewi

KOMPAS.com - Gejolak geliat negri ini semakin hari semakin menarik untuk suatu observasi mendalam. Bagi sebagian awam, mereka melihatnya dengan kaca mata gelisah, bahkan dianggap sebagai kegaduhan.

Setiap sensasi begitu meledak, mengundang reaksi dan mendadak sirna bukan karena pemberesan, tapi terkalahkan oleh kisah sensasional lainnya lagi, yang tak kalah ngeri atau hebohnya.

Para pengambil peran – istilah kerennya stake holders – sebagaimana publik melihat dengan jelas, kerap kali bukan pemeran sebenarnya.

Di balik panggung sensasi, mereka ibarat memerankan panggung boneka – puppet show – dengan dalang piawai, ‘the invisible hand’ yang menentukan kapan boneka tetap berada di panggung dan kapan harus diganti.

Sejak lama saya mencurigai the economic drive sebagai dalang piawai yang tak pernah terlihat itu. Salah seorang sosiolog Inggris abad ini yang amat terkenal dengan teori strukturisasi dan istilah ‘dunia tunggang langgang’, Anthony Giddens – patut dikutip dalam artikel kali ini.

Globalisasi yang tak terbendung melalui teknologi komunikasi kreatif diam-diam memicu proses detradisionalisasi, di mana sarapan pecel tempe atau soto terpinggirkan dan dianggap tidak praktis, ketimbang sereal yang bahan bakunya saja tidak tumbuh di negri ini.

Keunggulan, kebajikan dan eksistensi etnik tidak lagi menjadi referensi, hingga komunitas publik akhirnya menjadi pengambil keputusan masing-masing, tanpa menyandarkan diri pada nilai. Di situlah letaknya dunia tunggang langgang.

Dahsyatnya globalisasi bukan hanya tentang perubahan menu sarapan, tapi juga tuntutan ekonomi baru, yang diakibatkan oleh dampak beban kesehatan yang muncul sebagai penyakit abad sekarang.

Mengawinkan teori sosiologi dan fenomena kesehatan, ibaratnya seperti mempertemukan kedua ujung ruwetnya gulungan benang kusut. Kekusutannya diperparah dengan kebodohan dan kerakusan yang kelihatannya saling memanfaatkan situasi.

Saat komunitas sadar kesehatan di negara maju gigih memperjuangkan hak publik untuk memeroleh akses informasi kesehatan yang jujur bebas kepentingan, di banyak negara berkembang malah informasi kesehatan dikuasai oleh banyak kepentingan yang bermain.

Dengan topeng membantu program-program pemerintah, jargon-jargon kesehatan dibangun untuk diam-diam menguntungkan jualan sang dalang kepentingan.

Penyelewengan kebenaran rentan terjadi, bahkan pemberdayaan berbelok menjadi ketergantungan baru akan suatu produk dagang.

Hilangnya respek publik terhadap institusi yang semestinya memperjuangkan kebenaran dan kejujuran profesi, menambah carut marutnya kondisi komunitas sakit yang seakan kembali ke jaman jahiliyah.

Peluang pun dimanfaatkan para oportunistik yang berangkat dari keliaran dunia kapitalisme. Mulai dari pedagang beras yang dengan lugunya menulis besar-besar “Sugar Free”, hingga pelintiran “mononatrium glutamat” pada kemasan makanan ringan atau saus yang identik maknanya dengan “mono-sodium-glutamat” alias vetsin.

Memang benar, tidak ada beras yang sengaja dibubuhi gula. Semua manusia juga paham itu. Tapi, hanya manusia yang berpengetahuanlah yang mampu menjelaskan, bahwa semua produk beras hingga tepung secara otomatis pasti akan diubah oleh enzim pencernaan menjadi gula di dalam tubuh. Bukan dalam penanak nasi.

Politik “Jalan Ketiga” Giddens menggarisbawahi, pentingnya peran negara untuk mengendalikan kerakusan kapitalisme, dengan menekankan tiadanya hak tanpa tanggung jawab. Termasuk tanggung jawab atas kekacauan definisi dan pengertian terminologi kesehatan sebagaimana dipahami publik.

 

Tubuh manusia bukan sekedar mesin 

Ketika atas nama sains tubuh terpilah-pilah dan pemahaman orang makan misalnya, hanya sebatas jumlah kalori atau serat dan dinamika hormonal, maka kearifan ilmu dan keutamaan tentang hakekat manusia menjadi hampa.

Manusia hanyalah seonggok mesin yang hidup. Jantung hanyalah alat pompa, ginjal sekadar filter dan otak tak ubahnya seperti piranti lunak komputer canggih.

Padahal, manusia hidup menurut hukum kodrat. Bukan hukum teknologi. Tak ada percepatan usia kehamilan. Sementara, teknologi menjamin percepatan kerja. Tak ada akurasi bentuk tubuh. Sementara, teknologi menjamin keakuratan dan persisi. Tak ada kata praktis dalam dinamika kerja organ tubuh. Sementara, kata praktis dan efisien adalah jaminan kemajuan teknologi.

Jadi, jika tubuh manusia bukan hasil rakitan teknologi yang keluar dari ban berjalan, mengapa pula makanannya harus muncul dari dalam dus dan kaleng?

Dunia tunggang langgang versi Anthony Giddens tidak menutup globalisasi sebagai risiko percepatan komunikasi dan canggihnya teknologi.

Merupakan kebenaran bahwa cara kerja tubuh manusia dapat dipaparkan sebagai evidence based medicine. Tapi, semua kebenaran harus memuat adanya kebaikan di dalamnya – sebagai keutamaan, virtue.

Sehingga, evidence based medicine juga menjadi manusiawi, saat rasa sakit dan kerapuhan dapat diterima sebagai bagian dari hidup manusia, bukan dinihilkan.

Namun, berlaku pula sebaliknya, bahwa semua kebaikan dalam proses menolong manusia pun harus memuat kebenaran.

Sehingga, ilmu yang dasarnya baik itu digunakan dan dapat dipertanggungjawabkan – bukan sekadar testimoni ramuan ajaib yang manjur untuk semua jenis keluhan. Di situlah negara perlu hadir – sebelum kegaduhan terjadi.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com