Perkotaan kian disesaki kaum muda produktif. Beban kerja, tekanan lingkungan dan sosial, serta ketidakpastian masa depan membuat banyak di antara mereka stres. Jika tak segera ditangani, gangguan kejiwaan itu berpengaruh besar bagi kesehatan dan hubungan sosial masyarakat.
"Seratus domba, seratus satu domba, seratus dua domba.," ucap Chairul (32), warga Bintaro, Tangerang Selatan, pekan lalu, sambil memejamkan mata di atas ranjang untuk membantunya tidur. Namun, setelah hitungan ke-103, ia menyerah dan memilih bermain gawai meski jam sudah menunjukkan pukul 01.00.
Sebanyak lima hari dalam sepekan, Chairul hanya tidur empat jam setiap hari. Meski sudah mengantuk dan merebahkan diri di kasur sejak pukul 23.00, ia baru bisa tidur pukul 04.00. Keesokan hari, ia selalu terbangun pukul 08.00. "Saya insomnia sejak 2014," katanya.
Gangguan tidur itu dialami Chairul saat bekerja sebagai anggota tim kreatif di sebuah perusahaan periklanan di Jakarta. Adanya pesanan pembuatan beberapa iklan televisi dengan tenggat waktu yang ketat memaksanya kerja lembur mulai pukul 12.00 hingga 02.00.
Satu iklan idealnya butuh waktu sebulan untuk pengerjaannya dari pembahasan konsep hingga shooting. Namun, tuntutan klien membuat satu iklan harus selesai dalam tiga hari.
Siklus hidup dan jam biologisnya pun berubah. "Saya tertekan dengan tenggat yang diberikan. Bahkan, menurut istri, igauan saya dalam tidur masih soal pekerjaan," ujarnya.
Meski ia sudah keluar dari perusahaan itu pada akhir 2014 dan kini bekerja sebagai pembuat mural dan pekerja paruh waktu bidang periklanan, insomnianya tak juga hilang. Kondisi kurang tidur itu membuatnya merasa tak segar, suasana hati (mood) berantakan dan mudah marah. "Kadang merasa bersalah karena lebih mudah marah kepada anak," katanya.
Berbeda dengan Chairul yang memilih di rumah saat tak bisa tidur, Jenny (24), pegawai keuangan perusahaan periklanan di Meruya, Jakarta Barat, mencari kesibukan di luar rumah. Pada akhir pekan, ia menghabiskan waktu bersama teman di kafe atau diskotek sampai pukul 02.00. Ketika bersama teman, ia minum anggur untuk membantunya cepat tidur.
Padahal, minuman beralkohol mengacaukan pola tidur. Di awal, alkohol seolah membantu tidur lebih cepat dan dalam. Namun sejatinya alkohol mengurangi fase tidur dangkal yang berguna memperbaiki kesehatan secara umum.
Jenny mengalami insomnia sejak pertama bekerja pada 2013. Saat itu, ia menjadi pegawai di bidang legal perusahaan alat kesehatan. Pekerjaan itu menuntutnya kerap lembur sampai pukul 04.00 selama 3-4 hari sepekan. Esoknya, ia harus masuk kantor pukul 08.30. "Banyak lembur biasanya terjadi dari pertengahan sampai akhir tahun," katanya.
Meski sudah lama keluar dari perusahaan itu, insomnianya tak lenyap. Ia mencoba tidur pukul 24.00. Sebelum tidur, ia menciptakan suasana nyaman, seperti mengenakan piama, berselimut, dan mematikan lampu. Namun, ia baru bisa tidur pukul 04.00. "Akibat kurang tidur, saya mudah lemas dan tak semangat bekerja," katanya.
Memicu depresi
Susah tidur adalah gejala yang kerap dialami orang stres atau tertekan. Agar bisa tertidur, seseorang butuh ketenangan. Namun, gejala itu kerap diabaikan. Warga lebih memperhatikan gejala fisik akibat stres, seperti pusing, sakit otot, jantung berdebar, dan sakit lambung. Akibatnya, mereka tak mencari pertolongan ke psikiater.
Psikiater Rumah Sakit Umum Pusat Cipto Mangunkusumo Jakarta Nurmiati Amir mengatakan, tekanan kerja atau jadwal kerja tak teratur memicu stres hingga insomnia. "Saat tertekan, tubuh mengeluarkan hormon norepinefrin yang membuat tak tenang dan sulit tidur," ujarnya.
Jika jadwal kerja tak normal dipertahankan, pola tidur tak sehat jadi kebiasaan buruk yang bertahan lama. Padahal, insomnia berkepanjangan berisiko menimbulkan depresi ataupun gangguan fisik dan mengganggu konsentrasi kerja. "Gangguan tidur menghambat konsolidasi memori sehingga informasi tak terekam otak," ujarnya.