KOMPAS.com - Peristiwa traumatis memang tidak selalu meninggalkan luka fisik namun seringkali meninggalkan luka psikis dan emosional.
Luka tersebut bisa berpengaruh pada kesehatan fisik dan mental anak bahkan hingga ia beranjak dewasa kelak.
Psikolog Kate Eshleman mengatakan, anak-anak seringkali tumbuh dengan peristiwa traumatis. Oleh karena itu, diperlukan bantuan orang dewasa untuk mengatasi hal ini.
"Orang dewasa bisa membantu anak untuk pulih dari trauma," ucap dia.
Baca juga: 3 Cara Agar Tak Menjadi Toxic Parents, Kaum Milenial Wajib Tahu
Peristiwa traumatis - seperti pelecehan, menyaksikan kekerasan, atau bencana alam - memang selalu menakutkan.
Apalagi, anak-anak melihat dunia dengan cara yang berbeda dari orang dewasa. Itu sebabnya, apa yang dianggap biasa oleh orang dewasa bisa menjadi hal menakutkan bagi anak.
Peristiwa seperti intimidasi di sekolah, kematian anggota keluarga atau perceraian juga bisa membuat anak trauma.
"Orang tua harus sadar meskipun suatu peristiwa mungkin tidak tampak traumatis bagi mereka, itu mungkin traumatis bagi anak mereka," kata Eshleman.
Menurut Eshleman, ada banyak hal yang membuat seorang anak bisa mengalami trauma jangka panjang. Berikut faktor yang berperan:
1. Usia
Trauma dapat terjadi pada usia berapa pun. Namun, anak-anak yang berusia di bawah delapan tahun sangat rentan mengalami trauma.
2. Tingkat trauma
Tidak semua orang mengalami trauma dengan cara yang sama. Beberapa anak dapat bangkit kembali dari stres besar sementara yang lain lebih terpengaruh oleh hal-hal yang dianggap tidak terlalu parah.
Secara keseluruhan, semakin ekstrem trauma, semakin tinggi efeknya pada anak.
3. Durasi trauma
Paparan kronis atau berulang terhadap kejadian buruk meningkatkan risiko masalah kesehatan yang berkelanjutan.
Anak-anak yang menyaksikan kekerasan berulang di lingkungan yang tidak aman, atau mereka yang dilecehkan, lebih cenderung memiliki trauma jangka panjang.
Baca juga: 5 Cara Atasi Toxic Parents Agar Tak Jadi Lingkaran Setan
Trauma masa lalu dapat berefek panjang bagi anak dan memengaruhi kesehatan fisik mereka.
Anak-anak yang mengalami peristiwa traumatis memiliki peluang lebih besar untuk mengalami gangguan kesehatan, seperti berikut:
Respon trauma pada anak bisa terjadi lewat dua cara, yakni respon fisik dan emosional. Berikut penjelasannya:
- Respon fisik
Menurut Eshleman, tubuh merespon stres emosional dengan cara yang sama seperti tubuh merespon stres fisik. Respon tersebut bisa berupa peningkatan kadar protein atau hormon tertentu.
Setelah cedera kepala fisik seperti gegar otak, misalnya, kadar protein yang disebut S100B meningkat.
Kadar protein tersebut berpotensi meningkatkan peradangan yang berpotensi merusak di otak.
Para peneliti menemukan tingkat protein yang sama pada anak-anak yang mengalami trauma emosional.
Sementara itu, stres memengaruhi tubuh dari ujung kepala hingga ujung kaki. Ketika sesuatu yang menakutkan terjadi, hormon stres membuat jantung berdetak kencang dan membuat tubuh mengeluarkan keringat dingin.
Jika hormon-hormon tersebut meningkat untuk waktu yang lama, hal ini dapat menyebabkan peradangan dalam tubuh dan menyebabkan masalah kesehatan yang berkelanjutan.
- Respon emosional
Terkadang, stres atau trauma yang signifikan dapat menyebabkan gangguan kesehatan mental, seperti kecemasan dan depresi.
Orang-orang dengan masalah kesehatan mental yang tidak diobati berisiko mengalami hal-hal berikut:
Baca juga: Dyscalculia, Kelainan Belajar yang Membuat Anak Lemah dalam Matematika
Bagi anak-anak, tidak mudah untuk menjelaskan isi pikiran mereka. Setelah kejadian yang menyedihkan atau menakutkan, biasanya anak-anak akan mengalami perubahan perilaku.
Hal ini bisa menjati petunjuk bahwa sang anak mengalami trauma. Berikut perubahan perilaku yang biasa terjadi pada anak yang mengalami trauma:
Memang tidak mudah untuk membantu anak melewati trauma yang dialaminya. Namun, orang dewasa bisa mengurangi risiko trauma pada anak hanya dengan menjadi pendengar yang baik bagi sang anak.
Setelah itu, validasi perasaan sang anak dan biarkan mereka tahu bahwa Anda juga memahami kesulitan yang ia rasakan.
Kemudian, katakan pada sang anak bahwa Anda siap membantunya untuk melewati kesulitan yang dihadapinya.
Jika trauma yang dialami sang anak sudah semakin parah atau kita tidak mampu mengatasinya, jangan sungkan untuk mencari bantuan profesional.
Tidak semua anak bisa mendapatkan akses bantuan untuk mengatasi trauma yang dialaminya. Hal ini bisa berpengaruh pada kehidupan mereka di masa dewasa.
Namun, orang dewasa yang masih terpengaruh oleh trauma masa kecil tetap bisa mencari bantuan. Pasalnya, trauma tersebut bisa disembuhkan pada usia berapa pun.