SOLO, KOMPAS.com - Berdasar Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun naik dari 7,2 persen pada 2013 menjadi 9,1 persen pada 2018.
Artinya, hampir 1 dari 10 anak Indonesia merokok.
Angka tersebut jauh di atas target penurunan prevalensi perokok anak pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJM) 2015-2019 sebesar 5,4 persen.
Kondisi ini dianggap mengkhawatirkan oleh sejumlah pihak karena berbahaya bagi generasi muda.
Dosen Fakultas Kedokteran (FK) Universitas Sebelas Maret (UNS) Solo, Prof. Dr. dr. Reviono, Sp.P (K), menyebut kebiasaan merokok yang dilakukan sedari masa kanak-kanak bisa meningkatkan risiko seseorang terserang penyakit akibat rokok di usia dewasa, termasuk kanker paru-paru yang mematikan.
Hal ini berkaitan dengan banyaknya paparan rokok yang diterima.
Oleh karena itu, dia mengajak siapa saja untuk bisa membantu anak-anak terhindar dari rokok demi kesehatan yang lebih baik.
Reviono, menjelaskan pemerintah sebenarnya telah melarang setiap orang menjual rokok kepada anak di bawah usia 18 tahun.
Hal itu tercantum dalam Peraturan Pemerintah (PP) No. 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau.
Tapi sayang, di lapangan yang terjadi adalah rokok masih bisa dengan mudah diakses anak-anak.
“Diamati saja, itu di warung-warung atau toko-toko modern, anak-anak masih bisa bebas beli rokok kan?” tutur Reviono saat diwawancarai Kompas.com, Jumat (9/10/2020).
Guna mengatasi masalah ini, dia menilai, pemerintah terkait perlu melakukan pengawasan lebih ketat lagi dan pedagang harus punya kesadaran tinggi untuk patuh terhadap aturan.
Selain itu, Reviono berpendapat, sekarang dibutuhkan pula kenaikan harga rokok untuk semakin membatasi akses anak terhadap rokok.
Dia memperhatikan, banyak pihak selama ini kerap melontarkan pembenaran atas tindakan merokok dengan dalih cukai rokok bermanfaat bagi negara, terutama yang terbaru adalah mengatasi persoalan defisit BPJS Kesehatan.
Reviono tidak sepakat dengan anggapan tersebut.
Dia menilai, pemikiran itu adalah logika yang keliru.
Pasalnya, berdasarkan berbagai sumber, Reviono menyebut, bahwa penanganan terhadap penyakit akibat rokoklah yang sebenarnya membebani BPJS Kesehatan, seperti pada penyakit paru obstruktif kronis (PPOK).
"Coba berpikirnya dibalik, berhenti merokok itu baik untuk kesehatan. Kalau sehat, orang-orang jadi tidak perlu pergi berobat pakai BPJS," ujar dia.
Jadi, dia merasa, kenaikan cukai dan harga rokok eceran penting diberlakukan dengan harapan dapat menurunkan konsumsi rokok, terutama di kalangan masyarakat berpenghasilan rendah dan anak-anak.
Reviono berharap kepada masyarakat, terutama para perokok aktif untuk selalu bisa menyikapi kenaikan harga rokok dengan kepala dingin.
Kebijakan ini sebaiknya dapat dijadikan sebagai motivasi positif untuk dapat berhenti merokok atau tidak menjajal rokok.
Tak hanya akan lebih sehat secara fisik, dia yakin, masyarakat juga akan lebih sehat secara ekonomi apabila berhenti merokok.
Uang yang biasanya dipakai membeli rokok dapat digunakan untuk keperluan lain yang lebih penting dan tidak membahayakan kesehatan.
Selain itu, karena merasa lebih sehat setelah berhenti merokok, produktifitas masyarakat diharapkan bisa semakin meningkat.
Pentingnya membuat anak berjarak dengan rokok
Ketua Yayasan Tittari Solo yang bergerak dalam kerja pendampingan dan pelayanan kepada orang dengan lupus (Odapus) di Soloraya, Winjani Prita Dewi, 30, mengingatkan bahwa aktivitas merokok bukan hanya dapat merugikan diri sendiri, tapi juga orang lain.
Dia menyaksikan sendiri dan kerap juga menerima keluhan dari teman-teman odapus lain bahwa masih ada banyak perokok yang kurang peduli terhadap lingkungan di sekitarnya.
Mereka merokok secara sembarangan di tempat-tempat umum yang jelas bisa menimbulkan ketidaknyamanan dan merugikan kesehatan orang lain.
"Kami yang sakit sering kali harus mengalah menyingkir. Karena untuk rokok sendiri, bisa memengaruhi kondisi penyintas lupus, terutama anak-anak," jelas dia.
Prita menuturkan sebetulnya tidak ada efek pasti dari rokok terharap odapus. Artinya, dampak paparan asap rokok pada masing-masing penyintas lupus bisa berbeda. Tapi, semua efeknya mengarah pada kerugian.
Bagi odapus yang sensitif terhadap asap rokok, biasanya akan mengalami keluhan berupa sakit kepala, sesak napas, mata pedih, dan mual ketika terpapar zat tersebut.
Sementara, bagi odapus yang tidak terlalu sensitif terhadap asap rokok, akan mengeluh gatal pada hidung dan rasa tidak nyaman karena baunya.
Ada pula odapus yang tidak merasakan efek langsung apapun terhadap rokok.
"Akan tetapi, efek jangka panjang sebagai perokok pasif juga bisa mengancam nyawa, terlebih bagi odapus," jelas dia.
Melihat ancaman rokok terhadap odapus, Prita sangat berharap adanya kesadaran yang tinggi dari masyarakat untuk tidak merokok sembarangan.
Perilaku merokok sembarangan oleh orang dewasa juga bisa dicontoh oleh anak-anak. Hal ini jelas membahayakan generasi muda.
Aktivitas merokok pada anak-anak secara khusus bahkan dapat mengancam keselamatan penyintas lupus anak sebagai teman sebayanya.
Padahal, penyintas lupus anak cenderung lebih sensitif terhadap paparan luar ketimbang odapus dewasa karena masih panjang pengobatannya.
Karena bergerak di komunitas lupus, Prita sangat mendukung sekali adanya kebijakan kenaikan harga rokok secara signifikan untuk semakin membatasi akses anak bisa mendapatkan produk tembakau ini.
"Anak-anak harus dilindungi dari paparan rokok, apa pun kondisinya," ujar Prita.
Pengurus Komisi Penanggulangan AIDS (KPA) Solo, Haryanti, juga mendukung upaya pembatasan akses anak terhadap rokok, salah satunya dengan menaikkan harga rokok melalui mekanisme cukai.
Hal ini penting mengingat rokok bisa membahayakan kesehatan sang anak.
Tak hanya itu, rokok juga dapat mengancam kesehatan anak-anak lain yang berada di sekitar perokok anak itu, termasuk anak dengan HIV/AIDS (ADHA).
Seperti diketahui, banyak ADHA pada dasarnya masih bisa mempunyai kehidupan normal selayaknya anak-anak pada umumnya.
Mereka masih dapat bersekolah di sekolah umum dan berteman dengan anak-anak lainnya.
Haryanti yakin anak-anak dengan HIV/AIDS mungkin tak akan sampai ikut menjajal rokok karena paham memiliki daya tahan tubuh lebih rentan dibanding anak-anak lainnya.
Dia lebih khawatir mereka mengalami kesulitan ketika harus menghindari asap rokok dari anak-anak lain yang bisa dengan mudah mengakses rokok di mana saja.
Padahal, paparan asap rokok dari orang lain juga bisa mencelakakan ADHA, yakni menimbulkan komplikasi penyakit.
"Kenaikan harga rokok menjadi penting dengan harapan anak-anak bisa terhindar dari rokok, apalagi Solo sudah mulai pembatasan wilayah merokok dengan adanya Perda Kawasan Tanpa Rokok (Perda No. 9 tahun 2019)," kata Haryanti.
Sementara itu, Ketua Komunitas Childhood Cancer Care (3C) Solo, Raka Bagaskara Santoso, 25, menuturkan kebiasaan merokok memang bukan satu-satunya penyebab kanker.
Tapi, merokok tetap saja bisa menjadi penyebab utama atau faktor risiko terbesar dari penyakit berbahaya ini, terutama kanker paru-paru.
3C adalah komunitas di bawah Yayasan Tunas Sehat Indonesia yang ada di Solo, khusus untuk pendampingan anak-anak pejuang kanker yang berobat di RSUD Dr. Moewardi.
Jumlah anak penyintas kanker yang ditangani komunitas 3C kini ada 80 anak lebih.
Mereka bukan hanya datang dari Soloraya, tapi ada juga yang berasal dari Ngawi, Madiun, Pacitan, Ponorogo, Cilacap, Medan, Bangka Belitung, Lampung, hingga Riau.
Raka tidak mengetahui secara pasti penyebab kanker pada anak-anak yang berobat di RSUD Dr. Moewardi tersebut.
Tapi, dia prihatin berapa dari mereka teridentifikasi memiliki keluarga perokok.
Raka berpendapat kebiasaan orangtua atau saudara merokok di rumah mungkin saja bisa menjadi faktor risiko penyebab kanker pada anak atau setidaknya dapat memperburuk kondisi kanker pada anak.
"Saya tidak punya kompetensi untuk bisa menjelaskan secara pasti penyebab kanker pada anak. Tapi, sejauh yang saya pahami, paparan rokok jelas hanya akan bahayakan anak," ujar dia.
Mengingat bahaya rokok, Raka pun mengajak para generasi muda untuk senantiasa menjauhi produk tembakau ini demi kesehatan di masa depan.
"Jika tak muncul saat usia muda, kanker akibat rokok ini mungkin saja baru akan menyerang ketika dewasa," beber Raka.
Raka memahami bagi sebagian anak yang sudah terlanjur menjadi perokok aktif, mungkin akan mengalami kesulitan untuk berhenti merokok karena efek candu dari nikotin.
Pada kasus seperti ini, intervensi dari luar sangat diperlukan untuk membantu atau mendorong anak bisa berjarak dengan rokok.
Menurut dia, salah satu cara yang bisa dilakukan oleh pemangku kebijakan untuk menjauhkan anak dari rokok yakni dengan menaikkan harganya.
Kenaikan harga rokok juga berguna untuk menekan angka perokok pemula atau mencegah anak mulai merokok.
"Saya yakin, semakin mahal harga rokok, maka semakin kecil peluang anak untuk bisa merokok, tidak peduli mereka tahu rokok dari orangtua, teman, atau iklam," tutur Raka.
https://health.kompas.com/read/2020/10/11/180000068/harapan-kesehatan-anak-di-balik-kenaikan-harga-rokok