KOMPAS.com - Linimasa media sosial kiwari diramaikan dengan bahasan FOMO (Fear Of Missing Out) dan JOMO (Joy Of Missing Out).
Secara sederhana, FOMO adalah kondisi takut melewatkan sesuatu yang tidak ingin dilewatkan.
Sedangkan JOMO, lawan dari FOMO, berarti menikmati melewatkan berbagai hal yang sebenarnya tidak ingin dilewatkan.
Beberapa orang beranggapan menjadi JOMO merupakan jalan yang lebih baik.
JOMO dianggap menjadi solusi ketika seseorang takut melewatkan sesuatu yang bisa saja berujung pada rasa penyesalan hingga depresi.
Baca juga: Apa Perbedaan Depresi Klinis dan Depresi Situasional?
Jalan Tengah antara FOMO dan JOMO
Psikolog Adi Dinardinata, S.Psi, M.Psi. menekankan bahwa JOMO bukan lah cara untuk mengatasi FOMO. JOMO hanya sekadar istilah kebalikan dari FOMO.
Ada metode yang membuat seseorang bisa menikmati apa yang tadinya ditakuti. Cara tersebut yang perlu dipahami agar FOMO dapat diubah menjadi JOMO.
"Bagi saya, kuncinya bukan menikmati, kuncinya adalah dihadapi. Takut melewatkan momen-momen seru, misalnya. Biasakan diri menghadapi apa yang kita takutkan. Lewatkan momen-momen seru untuk beberapa waktu, sampai rasanya terbiasa dan tidak takut lagi," jelas Adi.
Meski begitu, dalam proses menghadapi hal yang sebelumnya ditakutkan tidak pernah mudah.
Hal seperti ini yang membuat seseorang cenderung langsung menikmati dengan menghindarinya begitu saja, bukan menghadapinya.
"Prosesnya akan nikmat? Tentu tidak. Tapi tetap temui dan hadapi ketakutan dan rasa takut yang selama ini kita hindari. Biasakan diri untuk hidup bersamanya."
"Walaupun tidak nikmat, tetap hadapi. Sampai nanti saatnya kita bisa terbiasa, nikmat itu bisa datang dengan sendirinya."
"Tugas kita memang bukan menikmati rasa takut itu, tapi menemuinya dan menghadapinya. Bila sudah terbiasa, kita akan tidak segitunya takut lagi. Saat itulah kita mungkin bisa menikmati," terang Adi.
Baca juga: 9 Cara Mencegah Asam Lambung Naik ke Kerongkongan
Menemukan Makna JOMO sebagai Ends, Bukan Means