Oleh: Noni dan Naomi Soetikno
HASIL studi epidemiologis yang dilakukan selama 50 tahun terakhir oleh World Health Organization (WHO) menunjukkan peningkatan prevalensi ASD (autism spectrum disorder) secara global.
Di Indonesia jumlah individu dengan ASD belum diketahui dengan jelas. Pemerintah Indonesia, melalui pemberitaan dari Kemenpppa (Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak), memperkirakan penyandang ASD di Indonesia 2,4 juta orang dengan pertambahan penyandang baru sekitar 500 orang per tahun (Kemen PPPA, 2020).
Manifestasi ASD terlihat dalam gangguan komunikasi dan interaksi sosial, ketidaknormalan atau penyimpangan dalam sensorik, perilaku berulang dan berbagai tingkatan dalam kemampuan intelektual (Lord et al., 2020).
Baca juga: Anak Penyandang Autisme Disiksa Orangtua, Kementerian PPPA Minta Pemda Beri Perhatian
ASD tidak hanya dianggap sebagai kondisi medis yang menimbulkan keterbatasan, tetapi juga sebagai contoh variasi dalam neurologis manusia (neurodiversity) yang menentukan identitas seseorang, dengan aset berupa kelebihan dan tantangan yang dimiliki dalam kemampuan kognitif (Lai et al., 2020).
Peningkatan jumlah individu dengan ASD dari waktu ke waktu menjadi daya tarik bagi ilmuwan. Dalam tiga dekade terakhir, intervensi pada individu dengan ASD terkait dengan masalah dalam pendidikan, perilaku, dan perkembangan sering menjadi topik pembahasan (Siu et al., 2019).
Pemberian intervensi sedini mungkin sangat disarankan. Turner-Brown et al. (2016) menyebutkan bahwa intervensi dini bagi anak dengan ASD akan menjadi kesempatan untuk memperbaiki prognosis dalam jangka panjang.
Salah satu pendekatan yang memiliki bukti efektivitas yang cukup mendukung dalam penanganan anak dengan ASD adalah structured teaching, TEACCH, yang dikembangkan oleh Schopler dan timnya di Universitas North Carolina.
Pendekatan itu menekankan pada kebutuhan dari tiap anak dan keluarga, kekuatan, dan ketertarikan dari anak dengan ASD yang tidak sama antara satu dengan yang lainnya. Dengan kata lain, pendekatan itu bertujuan menciptakan kemandirian anak dengan memahami keunikan dari karakteristik anak.
Oleh karena itu diawal sebelum menggunakan pendekatan tersebut, penting bagi para orangtua maupun para praktisi untuk mengenali dan memahami kondisi masing-masing anak.
Ada empat elemen kunci dalam penggunaan pengajaran terstruktur TEACCH (McLay et al., 2019).
Baca juga: Gejala Autisme pada Anak Usia 4 Tahun
Pertama, organization of the physical environment (pengaturan fisik lingkungan).
Pengaturan lingkungan sekitar bertujuan memberikan kejelasan bagi anak dengan ASD sehingga mampu memahami apa yang diharapkan lingkungan sekitar dan memfasilitasi peningkatan kemandirian.
Dalam pendekatan ini, penting untuk mengatur susunan ruangan berdasarkan pada kondisi anak dengan ASD. Sebagai contoh adalah pengaturan di dalam ruang kelas, seperti mengatur letak furniture, membuat batasan, dan mengatur tujuan dari tiap area secara spesifik. Pengaturan ruangan dapat meminimalkan gangguan dan meningkatkan kemandiriaan.
Kedua, visual structure and information (struktur visual dan informasi).
Struktur visual dan informasi mengacu pada pengaturan secara struktur dalam penyajian tugas. seperti kejelasan visual, pengaturan secara visual, dan instruksi visual. Dengan memberikan informasi yang dapat dipahami secara visual, akan mempermudah anak dengan ASD memahami tugas dengan secara jelas dan bermakna.
Di dalam pendektan ini, informasi visual dapat digunakan sebagai pengganti instruksi verbal, hal ini dikarenakan anak dengan ASD memiliki keterbatasan dalam kemampuan bahasa reseptif. Informasi visual bentuk penggunaannya tergantung dari kemampuan individu, dapat berupa daftar tertulis hingga jadwal visual bahkan objek nyata.