Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqbal Nurul Azhar
Pelajar/Mahasiswa Dosen

Akademisi Pemerhati Bahasa dan Sosial Budaya

Paradoks Pelabelan Penderita Afasia dan Ekolalia

Kompas.com - 18/07/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Ketika label tidak akurat, perawatan penderita tidak akan berjalan lancar karena treatmen yang diberikan (baik obat-obatan maupun terapi lainnya) tidak menyembuhkan gangguan yang sebenarnya.

Akibatnya, perkembangan wicarapun menjadi sulit untuk didapat dan rencana perbaikan jangka panjang serta harapan keluarga agar penderita kembali ke kondisi normal menjadi pupus.

Selain itu, diagnosis dan pelabelan cenderung membuat penderita terpenjara dalam label. Kecenderungan yang muncul adalah penderita dan keluarga melokalisasi masalah wicara sebagai masalah individu penderita sehingga penderita seringkali menjadi tertekan.

Padahal, masalah afasia membutuhkan banyak faktor dan variabel asing agar dapat membaik.

Dalam beberapa kasus terburuk, penderita terkadang mendapatkan diskriminasi dan intimidasi dari masyarakat karena dianggap aneh dan memalukan.

Ahli Bahasa Terapan (ABT/Applied Linguist) memiliki kesempatan untuk secara praktis membantu permasalahan yang berkaitan dengan gangguan bahasa.

Ahli bahasa terapan yang tertarik pada gangguan bahasa dilatih untuk melakukan penilaian diagnostik pada kesulitan tersebut. Pada gilirannya dapat merekomendasikan secara formal kepada dokter atau PWB tentang intervensi kebahasaan yang dapat dilakukan dalam perspektif medis.

Sayangnya, sejauh ini, peran ABT di seluruh dunia masih berada pada tataran konsultasi, dan tidak menjangkau domain yang lebih dalam seperti intervensi dan pengobatan.

Kedua domain tersebut sejauh ini hanya bisa dilakukan oleh terapis bicara dan bahasa yang berkualifikasi klinis.

Padahal, jika ABT secara yuridis formal diatur dapat memiliki kewenangan demikian, maka akan ada banyak Ahli Bahasa Terapan yang pengetahuannya dapat dikonversi secara spesifik untuk fokus di bidang ini.

ABT memiliki pengetahuan yang cukup karena di jenjang kuliah, mereka banyak berkecimpung dengan mata kuliah terkait seperti Psikolinguistik, Neurolinguistik, Pragmatik Klinis, dan bidang ilmu linguistik lainnya.

Meskipun peran ABT sangat terbatas dalam kasus ini, kita dapat mengatakan bahwa linguistik terapan telah memberikan kontribusi praktis bagi manusia tidak hanya di ranah teori.

Inilah yang terkadang memotivasi saya melakukan studi linguistik terapan dan menemukan cara kreatif untuk membantu masyarakat dengan menerapkan pengetahuan tentang linguistik dalam konteks nyata.

Salah satu contoh masalah linguistik yang saya pikirkan untuk didekati melalui perspektif linguistik terapan adalah masalah mengenai ekolalia (echolalia) atau yang lebih dikenal sebagai latah.

Ekolalia didefinisikan sebagai pengulangan frasa dan suara yang didengar. Pengulangan ini bisa terjadi secara langsung, yaitu penderita mengulangi sesuatu segera setelah ia mendengar sesuatu diucapkan.

Fenomena ini juga dapat berjeda. Penderita mengulangi sesuatu beberapa jam atau hari setelah mendengarnya.

Dalam hal ini, penderita tidak memiliki kendali atas pengulangan, apa yang mereka katakan atau kapan mereka mengatakannya.

Setahu saya, ekolalia adalah masalah bahasa yang tidak dapat didiskusikan melalui perspektif psikolinguistik saja, tetapi harus didekati juga dari perspektif sosial budaya.

Karenanya, untuk menyelesaikan masalah ini, kita perlu menggunakan pendekatan yang cukup kompleks, yaitu pendekatan sosial-budaya-psikolinguistik (sociocultural-psycholinguistics) untuk membahas echolalia.

Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com