Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Iqbal Nurul Azhar
Pelajar/Mahasiswa Dosen

Akademisi Pemerhati Bahasa dan Sosial Budaya

Paradoks Pelabelan Penderita Afasia dan Ekolalia

Kompas.com - 18/07/2022, 09:00 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

Beberapa ahli bahasa Eropa seperti Winzeler, R. L. (1995) dan Kenny (dalam Karim, 1990) menganggap ekolalia sebagai penyakit patologis dan diklasifikasikan sebagai gangguan mental yang ditemukan dalam komunitas terbatas, yaitu Indo-Melayu.

Menurut para ahli bahasa, penyakit ekolalia biasanya diderita seumur hidup. Menariknya, orang yang menderita ekolalia dapat memiliki kehidupan secara normal.

Saya menjumpai fakta bahwa ekolalia bisa jadi merupakan gangguan bahasa yang menular. Dalam beberapa kasus, orang normal dapat menderita ekolalia setelah mereka tinggal bersama dengan para penderita latah di sebuah lingkungan yang sama untuk jangka waktu yang lama.

Sampai sekarang, saya masih belum menjumpai informasi terkait perawatan medis atau psikologis yang tepat untuk menyelesaikan masalah kebahasaan ini.

Di Indonesia, ekolalia tidak dianggap sebagai sebuah penyakit sehingga seluruh psikiatri yang ada di rumah sakit tidak memberikan pelayanan khusus bagi penderita ekolalia.

Saya juga belum pernah bertemu penderita ekolalia yang mengunjungi rumah sakit untuk mencari kesembuhan dari kelatahan yang dideritanya.

Oleh karena itu, ketika seseorang dicap sebagai penderita ekolalia, ia tidak mendapatkan konsekuensi apa pun (baik positif atau negatif) dari masalah yang dia alami. Hal ini tentu saja unik, karena Damico,

Müller, & Ball (2010) dengan jelas menyatakan bahwa setiap pelabelan yang terkait dengan masalah bicara pasti membawa konsekuensi, baik positif maupun negatif.

Jika label ekolalia tidak menimbulkan konsekuensi, maka setidaknya harus ada alasan di fenomena ini.

Bisa jadi ekolalia bukanlah masalah mental-psikologis karena jauh berbeda dengan afasia atau gangguan bahasa lainnya yang menuntut konsekuensi ketika seseorang diberi label pada masalah tersebut.

Bisa jadi sikap orang Indonesia yang berlatar belakang ketimuran sangat berbeda dalam menyikapi gangguan kebahasaan bila dibandingkan dengan sikap masyarakat lain terhadap masalah yang sama.

Pamungkas dalam penelitiannya (1998) dengan jelas menyatakan bahwa tidak ada terapi yang benar-benar bekerja untuk menyembuhkan ekolalia.

Di sisi lain, meskipun tidak ada data pasti mengenai jumlah penderita ekolalia, tetapi ia memperkirakan bahwa jumlah penderita ekolalia lebih dari 0,5 persen penduduk Indonesia.

Ketiadaan informasi dianggap cukup wajar mengingat di Indonesia, pusat data kebahasaan dan permasalahan kebahasaan (big data) masih belum ada.

Masalahnya sekarang adalah, pelatihan seperti apa yang perlu dijalani oleh Ahli Bahasa Terapan untuk mengambil bagian dalam menyelesaikan masalah ini?

Kedua, seberapa jauh ahli bahasa terapan dapat berpartisipasi dalam hal ini? Dua hal ini tentu saja menarik untuk kita tunggu jawabananya.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau