Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Dikdik Kodarusman
Dokter RSUD Majalengka

Dokter, peminat kajian autofagi. Saat ini bekerja di RSUD Majalengka, Jawa Barat

Autofagi, Teori Kedokteran yang Jarang Dikenal Para Dokter

Kompas.com - 13/08/2022, 15:35 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SALAH seorang teman satu almamater juga satu angkatan mengaku belum pernah mendengar istilah autofagi. Padahal saat ini dia bekerja sebagai dokter konsulen penyakit ginjal hipertensi di rumah sakit militer paling terkemuka di Indonesia!

Makanya, awal percakapan dengannya malah muncul pertanyaan, itu teori baru dari mana? Apalagi statusnya sebagai penanggung jawab penelitian vaksin lokal, dia sedikit curiga dengan istilah asing. Dia kaget saat disebut itu teori lama. Sudah dapat hadiah Nobel tahun 1974, dan ditemukan tahun 1963. Jauh sebelum kami jadi mahasiswa kedokteran.

Kekagetan berikut juga diungkap kawan yang lain, seorang psikiater, direktur salah satu rumah sakit jiwa yang ada di Kalimantan. Dalam salah satu WA chat kami, dia menolak hubungan peningkatan gula darah dengan gangguan jiwa.

Baca juga: Diabetes adalah Sisi Buruk Autofagi

Kawan tersebut terdiam saat saya sampaikan proses produksi dan eksitasi asetil kolin. Proses tersebut memanfaatkan piruvat yang dihasilkan dari proses oksidasi glukosa. Hampir semua obat psikotropika bekerja dengan cara memengaruhi kerja asetil kolin.

Kekagetan saya bertambah saat menerima permintaan pertemanan di Facebook (FB) dari salah seorang dosen yang dulu mengajar saya. Beliau seorang konsulen ginekologi di kota asal kami.

Beliau mengaku tertarik dengan tema-tema autofagi yang sering saya posting. Saat itu beliau mengaku baru menjalankan intermitten fasting 13 jam. Saya merasa terhormat dengan permintaan pertemanan tersebut. Saya coba meluruskan pandangan autofagi sebagai teori kedokteran, bukan terapi alternatif.

Berikutnya sejawat-sejawat lain dari berbagai almamater juga mulai mengikuti. Namun kebanyakan memahami autofagi sebagai intermitten fasting. Parahnya, kebanyakan informasi itu didapat dari para aktivis non medis. Mereka kadang-kadang menjustifikasi pendapatnya dengan teori medis sebut. Hal itu yang membuat para sejawat mulai mengikuti saya.

Setidaknya dari diskusi, tidak pernah ada teori yang berbeda dengan yang pernah sama-sama kMI pelajari. Semua sama, tapi kok lupa. Sejawat-sejawat umumnya kaget jika disampaikan usia teori ini sudah begitu lama. Jauh sebelum kami lahir. 

Terjadi distorsi

Umumnya para sejawat mulai tertarik saat pernyataan hadiah Nobel untuk puasa yang dikaitkan dengan autofagi. Mungkin itu cara media membingkai berita pemberian hadiah untuk Ohsumi. Bagusnya, bingkai tersebut membuat autofagi mulai dikenal. Jeleknya, karena bingkai puasa sebagai suatu bentuk ritual dalam berbagai kepercayaan.

Terjadi distorsi antara pemahaman medis dan pemahaman terapi alternatif. Tetapi itu sangat wajar, mereka sudah lama lulus jadi dokter. Sudah jarang pula buka buku-buku pegangan masa kuliah.

Yang mengagetkan saat bertanya pada anak saya yang baru masuk masa koasistensi. Dia malah balik bertanya, itu materi kuliah apa. Padahal nilai IPK anak saya di atas 3,5. Tidak mungkin dia malas belajar atau bodoh. Saya adalah bapak yang bangga dengan prestasi anak.

Keterasingan dunia kedokteran Indonesia dari terminologi autofagi mengherankan. Padahal materi tersebut saya baca ada pada kuliah fisiologi, histologi, biokimia, dan farmakologi. Kuliah-kuliah dasar yang seharusnya dilalui oleh semua mahasiswa kedokteran.

Baca juga: Mengatasi Depresi Cara Autofagi Tanpa Psikotropika

Jika tidak kena diabetes dan mendengar tentang Ohsumi, saya juga tidak kenal dengan terminologi autofagi. Keterasingan yang sangat mengherankan. Padahal ilmu ini sudah lama ditemukan. Para penemunya juga memperoleh hadiah Nobel. Puncak penghargaan tertinggi yang diberikan pada para ilmuwan.

Uniknya, pemberian penghargaan Nobel terbaru untuk kajian autofagi, malah semakin menambah keterasingan tersebut. Keberhasilan tersebut justru malah disambut komunitas-komunitas religius, bukan komunitas medis. Sayangnya, sambutan ini juga memberikan distorsi pada pemahaman autofagi.

Apalagi tambahan status sebagai keajaiban ilahi dari sebuah praktik ibadah untuk autofagi. Ibadah dalam kepercayaan apapun. Selalu menuntut puasa, pembatasan makan. Identik dengan pembatasan kesenangan yang jadi standar kesalehan. Pemahaman autofagi sebagai teori kedokteran jadi semakin terpinggirkan. Padahal autofagi bukan teori alternatif.

Halaman:

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau