Ada pelepasan mediator peradangan. Ada aktivasi sistem pembekuan darah. Ada respon sel imun dan masih banyak respon lain. Semuanya bergerak melalui koordinasi sistem informasi tubuh.
Sistem informasi tersebut terdiri dari jaringan saraf dan sistem pensinyalan. Jaringan saraf adalah jalur kabel sistem informasi tersebut. Sedang sistem pensinyalan adalah yang berjalan melalui kabel tersebut.
Sistem pensinyalan terdiri dari berbagai macam hormon dan peptida. Ada yang dihasilkan kelenjar tertentu. Ada juga yang dihasilkan masing-masing sel saat mengalami kerusakan.
Sistem pengaturan saraf bukan jalur yang kontinu melainkan terputus-putus. Sambungan antar serabut saraf disebut sinaps. Hubungan antar sinaps dilakukan dengan perantaraan neurotransmitter atau sistem pensinyalan.
Sel saraf memproduksi dan melepaskan neurotransmitter tertentu. Neurotransmitter ini akan bekerja pada setiap organ yang mampu mengikatnya (reseptor). Selanjutnya reseptor-reseptor tersebut akan bereaksi.
Reaksi tersebut memengaruhi kinerja yang ada dalam sel target. Neurotransmitter adalah senyawa polipeptida yang diproduksi sel saraf. Produksi tersebut mengacu pada cetakan yang tersusun dalam kode gen tertentu. Memengaruhi ekspresi sel produsen neurotransmitter. Neurotransmitter apa yang akan diproduksi dan dilepaskan.
Kode genetik yang jadi cetakan tersebut berada diluar kromosom. Gen tersebut diputuskan dari pita kromosom. Hanya dengan potongan gen, proses transkripsi protein jadi efektif. Hanya protein terpilih yang diproduksi dan digunakan. Tidak seluruh protein yang ada dalam kromosom.
Waktu yang dibutuhkan pun jadi lebih pendek. Uniknya, meski dengan neurotransmitter yang sama, respons organ berbeda. Ada yang terpengaruh untuk melakukan suatu aksi tertentu. Misalnya memanjang atau memendek. Ada yang terpengaruh untuk memproduksi protein. Misalnya kelejar hormon.
Inilah yang disebut sebagai sistem keseimbangan tubuh. Tidak pernah bersifat selektif. Tidak pandang bulu. Yang membedakan hanya reaksi reseptornya masing-masing. Bukan neurotransmitternya yang berbeda. Bukan pemberiannya yang berbeda. Sikap reseptor yang berbeda, juga dipengaruhi oleh kode genetik.
Gen yang memengaruhi produksi reseptor tersebut. Gen tersebut dilepas dari pita kromosom setelah sel memeroleh rangsangan sebelumnya. Reseptor adalah respon sel. Respon tersebut harus sesuai dengan rangsangnya. Respons tersebut juga harus menghasilkan sinergi sel dengan lingkungannya. Jika dengan respons tersebut sel tersebut tetap bersinergi dengan lingkungan, artinya adaptif.
Gen ekstra kromosom tersebut dapat bertahan di dalam sel. Jika respons tersebut membuat sel tersebut tidak mampu bersinergi, maka gen tersebut akan didaur ulang. Apakah melalui proses fagositosis oleh makrofag atau cukup autofagi oleh lisosom.
Jika proses fagositosis yang dipilih tubuh, seluruh sel dicerna. Akan terjadi proses peradangan sebagai respon sel yang rusak. Mengeluarkan berbagai mediator peradangan. Akan memicu reaksi organ. Terutama sel dari organ yang sama. Suatu bentuk solidaritas seluler.
Jika proses autofagi yang dipilih tidak akan memicu reaksi peradangan. Sel hanya menutup pintu masuknya glukosa agar lisosom terpicu kinerjanya. Mencari sumber energi dari dalam selnya sendiri. Terpicu rasa lapar energi untuk mencerna sumber energi yang tersisa, gen ekstra kromosom.
Selintas terlihat kejam. Tapi saat pandangan diperluas ke seluruh sistem tubuh, ada pembenaran dalam proses tersebut. Semuanya untuk menjaga keseimbangan. Menjaga agar sistem tersebut terus dapat berproses. Menjaga agar masing-masing komponen dapat bersinergi satu dengan lainnya.
Inilah yang mulai saya pahami tentang teori autofagi. Teori autofagi tidak memandang suatu respons organ sebagai sesuatu yang otonom. Respons organ merupakan sebuah resultan dari berbagai respon organ yang lain, sehingga setiap melihat masalah medis harus selalu kita lihat hubungan antar organ yang terkait. Khususnya dalam sistem komunikasi antar organ.