SOLO, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 menghidupkan kembali tren minum jamu di masyarakat Indonesia.
Banyak orang ramai-ramai mengonsumsi jamu dengan maksud meningkatkan imunitas tubuh untuk menangkal virus corona.
Selain itu, efek pandemi ini juga membuat sejumlah obat tradisional turut terkerek popularitasnya.
Baca juga: 11 Ramuan Jamu yang Terbukti Berkhasiat untuk Kesehatan
Sayangnya, kondisi ini ditunggangi maraknya temuan obat tradisional berisiko berbahaya di pasaran.
Setidaknya inilah yang terjadi di wilayah Soloraya, Jawa Tengah. Dalam waktu tiga tahun terakhir, jumlah temuan obat tradisional tanpa izin edar (TIE) atau mengandung bahan kimia obat (BKO) oleh Loka POM di Kota Surakarta justru terus naik.
Sepanjang 2020, Loka POM di Kota Surakarta menemukan 525 buah obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ketika melakukan pengawasan di lima kota/kabupaten di Soloraya.
Sementara pada 2021, temuan obat tradisional berisiko berbahaya tersebut melonjak lebih dari 10 kali lipat menjadi 6.452 buah.
Jumlah temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ini trennya juga naik siginifikan pada tahun ini. Data per 17 Oktober 2022 menunjukkan, jumlahnya mencapai 30.949 buah, berasal dari 9.963 item produk berbeda.
Temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ini termasuk terjadi di Kabupaten Sukoharjo yang telah menyandang predikat sebagai Kota Jamu pada 2015, serta telah dicanangkan sebagai destinasi wisata jamu oleh pemerintah pusat pada 2019.
Baca juga: Resep Jamu Tradisional untuk Atasi Hipertensi
Dokter Spesilis Gizi Klinis RS Indriati Solo Baru, Sukoharjo, dr. Ayu Kusuma Dewi, M.Si, Sp.GK, AIFO-K, melihat tingkat konsumsi jamu oleh masyarakat memang cenderung naik selama pandemi.
Menurut dia, kondisi ini tak bisa dipungkiri dimanfaatkan sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi obat tradisional asal-asalan demi keuntungan pribadi.
Oleh sebab itu, Ayu mengatakan pemerintah memang perlu melakukan pengawasan lebih ketat terhadap peredaran obat tradisional ilegal di pasaran.
Di samping itu, dia turut mengimbau masyarakat untuk bisa cerdas dalam memilih produk obat tradisional.
Ketika hendak mengonsumsi jamu instan atau kemasan, Ayu menyarankan masyarakat lebih memilih produk yang telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).
Sedangkan ketika hendak mengonsumsi jamu gendong, masyarakat sebaiknya membuat sendiri atau membelinya dari pedangan yang dapat dipercaya.
Baca juga: Sering jadi Jamu, Ini Bahaya Fatal Minum Ramuan Darah Ular Kobra
“Jamu yang hendak dikonsumsi harus dibuat tanpa campuran bahan kimia obat dan bahan pengawet. Selain itu, higienitas atau kebersihannya mesti terjamin,” jelas Ayu saat dimintai tanggapan terkait tips aman mengonsumsi jamu, Jumat (25/11/2022).
Ayu menegaskan, penting bagi masyarakat untuk memilih jamu kemasan yang memiliki nomor izin edar dari BPOM karena secara teori produk itu bisa dianggap sudah memenuhi standar keamanan, manfaat atau khasiat, dan mutu.
Sementara itu, karena usaha jamu gendong tidak diharuskan memiliki izin edar dari BPOM, dia menyarankan masyarakat lebih baik yakin terhadap siapa yang memproduksi atau menjualnya.
“Pada saat membeli jamu gendong, kalau tidak meracik sendiri, memang kita akan sulit untuk bisa memastikan keamanan dan higienitasnya. Jadi, akan lebih baik jika kita buat jamu sendiri. Kalau tidak, beli ke orang yang bisa dipecaya,” jelas dia.
Ayu menyampaikan, ketika hendak mengonsumsi jamu apa pun, masyarakat perlu mewaspadai kandungan BKO yang mungkin dicampurkan ke dalamnya tanpa mempertimbangkan aturan pemakaian.
Baca juga: Menyimak Pengolahan Herba Menjadi Obat Tradisional Khas Karo
Sebab, kandungan BKO pada jamu bisa sangat berisiko bagi kesehatan jika sampai dikonsumsi, apalagi dilakukan oleh penderita penyakit tertentu atau orang yang sedang minum obat lain.