Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Waspadai Bahaya Kesehatan di Balik Jamu Cespleng

Kompas.com - 29/11/2022, 12:01 WIB
Irawan Sapto Adhi,
Mahardini Nur Afifah

Tim Redaksi

SOLO, KOMPAS.com - Pandemi Covid-19 menghidupkan kembali tren minum jamu di masyarakat Indonesia.

Banyak orang ramai-ramai mengonsumsi jamu dengan maksud meningkatkan imunitas tubuh untuk menangkal virus corona.

Selain itu, efek pandemi ini juga membuat sejumlah obat tradisional turut terkerek popularitasnya.

Baca juga: 11 Ramuan Jamu yang Terbukti Berkhasiat untuk Kesehatan

Sayangnya, kondisi ini ditunggangi maraknya temuan obat tradisional berisiko berbahaya di pasaran.

Setidaknya inilah yang terjadi di wilayah Soloraya, Jawa Tengah. Dalam waktu tiga tahun terakhir, jumlah temuan obat tradisional tanpa izin edar (TIE) atau mengandung bahan kimia obat (BKO) oleh Loka POM di Kota Surakarta justru terus naik.

Sepanjang 2020, Loka POM di Kota Surakarta menemukan 525 buah obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ketika melakukan pengawasan di lima kota/kabupaten di Soloraya.

Sementara pada 2021, temuan obat tradisional berisiko berbahaya tersebut melonjak lebih dari 10 kali lipat menjadi 6.452 buah.

Jumlah temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ini trennya juga naik siginifikan pada tahun ini. Data per 17 Oktober 2022 menunjukkan, jumlahnya mencapai 30.949 buah, berasal dari 9.963 item produk berbeda.

Temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO ini termasuk terjadi di Kabupaten Sukoharjo yang telah  menyandang predikat sebagai Kota Jamu pada 2015, serta telah dicanangkan sebagai destinasi wisata jamu oleh pemerintah pusat pada 2019.

Baca juga: Resep Jamu Tradisional untuk Atasi Hipertensi

Dokter Spesilis Gizi Klinis RS Indriati Solo Baru, Sukoharjo, dr. Ayu Kusuma Dewi, M.Si, Sp.GK, AIFO-K, melihat tingkat konsumsi jamu oleh masyarakat memang cenderung naik selama pandemi.

Menurut dia, kondisi ini tak bisa dipungkiri dimanfaatkan sejumlah pihak yang tidak bertanggung jawab untuk memproduksi obat tradisional asal-asalan demi keuntungan pribadi.

Oleh sebab itu, Ayu mengatakan pemerintah memang perlu melakukan pengawasan lebih ketat terhadap peredaran obat tradisional ilegal di pasaran.

Di samping itu, dia turut mengimbau masyarakat untuk bisa cerdas dalam memilih produk obat tradisional.

Ketika hendak mengonsumsi jamu instan atau kemasan, Ayu menyarankan masyarakat lebih memilih produk yang telah mendapatkan izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM).

Sedangkan ketika hendak mengonsumsi jamu gendong, masyarakat sebaiknya membuat sendiri atau membelinya dari pedangan yang dapat dipercaya.

Baca juga: Sering jadi Jamu, Ini Bahaya Fatal Minum Ramuan Darah Ular Kobra

“Jamu yang hendak dikonsumsi harus dibuat tanpa campuran bahan kimia obat dan bahan pengawet. Selain itu, higienitas atau kebersihannya mesti terjamin,” jelas Ayu saat dimintai tanggapan terkait tips aman mengonsumsi jamu, Jumat (25/11/2022).

Bahaya jamu mengandung BKO

Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melalui Loka POM Palopo, Sulawesi Selatan, mengajak masyarakat mengkonsumsi jamu atau obat tradisional, namun waspada terhadap kandungan bahan kimia obat (BKO). Kamis (03/11/2022)MUH. AMRAN AMIR Badan Pengawasan Obat dan Makanan (BPOM) melalui Loka POM Palopo, Sulawesi Selatan, mengajak masyarakat mengkonsumsi jamu atau obat tradisional, namun waspada terhadap kandungan bahan kimia obat (BKO). Kamis (03/11/2022)

Ayu menegaskan, penting bagi masyarakat untuk memilih jamu kemasan yang memiliki nomor izin edar dari BPOM karena secara teori produk itu bisa dianggap sudah memenuhi standar keamanan, manfaat atau khasiat, dan mutu.

Sementara itu, karena usaha jamu gendong tidak diharuskan memiliki izin edar dari BPOM, dia menyarankan masyarakat lebih baik yakin terhadap siapa yang memproduksi atau menjualnya.

“Pada saat membeli jamu gendong, kalau tidak meracik sendiri, memang kita akan sulit untuk bisa memastikan keamanan dan higienitasnya. Jadi, akan lebih baik jika kita buat jamu sendiri. Kalau tidak, beli ke orang yang bisa dipecaya,” jelas dia.

Ayu menyampaikan, ketika hendak mengonsumsi jamu apa pun, masyarakat perlu mewaspadai kandungan BKO yang mungkin dicampurkan ke dalamnya tanpa mempertimbangkan aturan pemakaian.

Baca juga: Menyimak Pengolahan Herba Menjadi Obat Tradisional Khas Karo

Sebab, kandungan BKO pada jamu bisa sangat berisiko bagi kesehatan jika sampai dikonsumsi, apalagi dilakukan oleh penderita penyakit tertentu atau orang yang sedang minum obat lain.

Dia mencontohkan, BKO deksametason, fenilbutazon, dan parasetamol yang dilaporkan sering ditemukan pada produk jamu pegal linu, di antaranya bisa memicu kelainan darah, gangguan hormon, hepatitis, gagal ginjal, atau kerusakan hati.

“Konsumsi deksametason saja (secara berlebihan) bisa menyebabkan moon face atau pembengkakan di wajah yang membuatnya menjadi lebih bulat. Daya tahan tubuh juga bisa terganggu yang kemudian membuat seseorang lebih berisiko terkena infeksi. BKO ini juga bisa mengganggu fungsi penglihatan,” jelas dia.

Ayu menerangkan, salah satu indikator produk jamu mungkin mengandung BKO adalah memiliki efek cespleng atau menyembuhkan segera setelah dikonsumsi. Sebab, efek ini jarang terjadi pada pemakian obat bahan alam.

Jika menemukan jamu demikian, masyarakat justru sebaiknya curiga dan melaporkan kepada BPOM atau Dinas Kesehatan setempat.

Beberapa jamu serbuk racikan yang telah memiliki nomor izin edar dari BPOM yang dijual di Pasar Jamu Nguter Sukoharjo. Foto diambil pada Senin (11/10/2022).KOMPAS.com/IRAWAN SAPTO ADHI Beberapa jamu serbuk racikan yang telah memiliki nomor izin edar dari BPOM yang dijual di Pasar Jamu Nguter Sukoharjo. Foto diambil pada Senin (11/10/2022).

Selain BKO, dia mengingatkan masyarakat untuk dapat mewaspadai kemungkinan adanya penambahan bahan kimia yang ditujukan sebagai pewarna, pemanis, atau pengawet pada jamu.

Baca juga: Tak Hanya Jambu Biji, Berikut 10 Tanaman Obat Tradisional untuk DBD

Ayu mengatakan memang ada beberapa bahan pewarna sintetis yang masih diperbolehkan untuk dicampurkan ke dalam makanan atau obat oleh BPOM, tetapi itu harus dengan kadar tertentu.

“Konsumsi zat kimia berlebih atau dalam jangka panjang bisa menimbulkan efek merugikan bagi tubuh, terlebih itu termasuk bahan yang tidak seharusnya dicampur ke bahan pangan. Misalnya, penggunaan rodamin B untuk pewarna,” jelas dia.

Dokter Spesialis Anak di RS Brayat Minulya Solo, dr. Kurniawan Adi Putranto, Sp.A, juga mengimbau masyarakat untuk mewaspadai kandungan BKO maupun bahan kimia lain yang tidak seharusnya digunakan dalam produk obat tradisional.

Dia memperingatkan, konsumsi jamu mengandung BKO bisa sangat berbahaya bagi anak-anak.

Sebab, konsumsi obat dengan dosis tidak terukur dapat menyebabkan berbagai efek samping merugikan, seperti kebingungan, rasa gugup, insomnia, tremor, ruam, kegemukan di area tertentu, bengkak, mulut kering, gangguan metabolik, dan bahkan kematian.

Senada dengan Ayu, Kurniawan menuturkan jamu yang mengandung BKO pada umumnya memiliki efek cespleng atau cepat timbul setelah dikonsumsi.

Dia menerangkan, ciri lain dari jamu yang mengandung BKO termasuk:

  • Efeknya bertahan singkat. Di mana, setelah jamu dikonsumsi, sakit yang sebelumnya dirasakan konsumsen akan timbul kembali hanya dalam waktu beberapa jam
  • Produk jamu diklaim dapat menyembuhkan berbagai jenis penyakit
  • Jika dilakukan pengamatan seksama tedapat butiran atau kristal yang merupakan bahan kimia yang ditambahkan

Kurniawan menjelaskan mengonsumsi jamu dengan pewarna tambahan juga bisa sangat berbahaya bagi tubuh, apalagi dalam kondisi jangka panjang.

Hal tersebut, kata dia, dapat menyebabkan kerusakan beberapa organ seperti pada lever, ginjal, atau malah menimbulkan kanker.

Baca juga: Kenali Apa itu Infeksi HPV, Penyebab Kanker Serviks dan Kutil Kelamin

“Untuk bisa mengetahui secara kasat mata jamu itu mengandung pewarna atau tidak, mungkin tak gampang. Meski begitu, jika diamati secara lebih teliti, warna jamu yang asli umumnya lebih lembut dan cenderung tak mencolok dibandingkan jamu yang tercampur pewarna tambahan,” jelasnya.

Perhatikan kemasan

Demi kebaikan bersama, Kurniawan pun sangat berharap kepada para pelaku usaha jamu untuk dapat bertindak jujur dengan menghasilkan produk obat tradisional secara aman dan legal.

Tak hanya terkait komposisi, para pelaku usaha jamu juga mesti memperhatikan keamanan dari kemasan yang akan digunakan.

Untuk jamu instan, pelaku usaha mesti memakai bahan kemasan yang telah lebih dulu mendapatkan persetujuan dari BPOM.

Sementara untuk jamu gendong, Kurniawan berpendapat, para pelaku usaha lebih baik menyimpannya di botol kaca, bukan botol plastik.

Dia menegaskan, pengemasan bahan makanan maupun obat yang baik adalah sebuah kunci untuk syarat higienisitas dari produk tersebut.

“Jamu gendong sebaiknya disimpan dengan wadah khusus yang bukan plastik karena biasanya dimasukkan ketika masih panas. Jika jamu sudah tidak panas, bisa dimasukkan ke botol plastik sekali pakai. Apabila kondisi pedagang tidak menggunakan plastik sekali pakai, maka alternatif lainnya adalah dengan menggunakan botol kaca dan pembersihan yang baik,” jelas dia.

Baca juga: Jangan Asal Pakai, Kenali 7 Jenis Plastik dan Bahaya Kesehatannya

Masyarakat melapor

Seorang warga Sukoharjo, Nining (30), juga berharap pemerintah bisa memperketat pengawasan terhadap peredaran produk jamu ilegal ketika tingkat konsumsinya cenderung naik di tengah pandemi Covid-19.

Dia sendiri mengaku sempat menemukan jamu kemasan tanpa nomor izin edar yang masih dijual oleh salah satu pedagang di Pasar Jamu Nguter pada awal Oktober lalu.

Nining menemukan produk itu secara tak sengaja ketika sedang mencari jamu penambah nafsu makan anak.

"Idealnya di pasaran sudah bersih dari peredaran jamu tanpa izin edar karena belum dipastikan keamanannya. Terkadang kan ada masyarakat yang belum tahu soal pentingnya cek kemasan, label, izin edar, dan kedaluwarsa sebelum membeli obat atau makanan kemasan. Nah, mereka ini berisiko membeli jamu TIE apalagi yang saya lihat harga jamu ini jauh lebih murah daripada yang sudah punya nomor izin edar," jelas dia.

Nining juga menginginkan agar pemerintah memanfaatkan pandemi ini untuk bisa melakukan pengecekan lebih sering terhadap produk jamu yang telah memiliki nomor izin edar.

Dia mengaku belakangan ini agak trauma dengan kejadian temuan obat sirup yang mengandung zat kimia berbahaya padahal sudah berizin BPOM.

Baca juga: 6 Cara Meningkatkan Nafsu Makan Anak secara Alami

"Kalau bisa, pemerintah perlu lebih sering melakukan pengujian terhadap berbagai produk jamu yang sudah punya izin. Ini untuk memastikan saja barangkali dalam perjalannya, produk itu ternyata mengandung zat kimia bahaya," ujar dia.

Saat dimintai tanggapan, Kepala Loka POM di Kota Surakarta, Muhammad Fajar Arifin, menyatakan siap untuk menggiatkan pengawasan terhadap peredaran obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO di pasaran.

Dia menuturkan, tingginya angka temuan obat tradisional TIE dan atau mengandung BKO pada tahun ini juga berkat adanya partisipasi aktif dari masyarakat untuk melapor kepada BPOM.

“Terkait (banyak sedikitnya hasil temuan) penindakan terhadap kejahatan obat dan makanan, itu tidak bisa diprediksi. Loka POM Surakarta yang pasti akan terus secara rutin melakukan pengawasan dan akan segera menindaklanjuti jika mendapat informasi,” jelas Fajar.

Loka POM di Kota Surakarta adalah kepanjangan tangan dari BPOM dalam melaksanakan urusan pemerintahan di bidang pengawasan obat dan makanan di lima daerah di Soloraya.

Kelima daerah itu, yakni Kota Solo, Karanganyar, Sukoharjo, Wonogiri, dan Sragen. Hanya Kabupaten Klaten dan Boyolali di Soloraya yang tak termasuk wilayah kerja UPT Loka POM di Surakarta.

Fajar mengabarkan, masyarakat kini bisa dengan mudah mengecek informasi tentang produk obat tradisional yang telah ditarik atau dibatalkan dari peredaran berdasarkan hasil pengawasan dan pengujian BPOM karena mengandung BKO lewat aplikasi BPOM e-PUBLIC WARNING.

Selain dapat diunduh di Playstore atau Applestore, layanan ini juga bisa diakses lewat situs website https://e-publicwarningotsk.pom.go.id/.

e-Public Warning obat tradisional dan suplemen kesehatan berisi pula informasi dari badan otoritas pengawasan di negara lain terkait produk yang ditarik dari peredaran karena alasan keamanan.

Selain e-Public Warning, BPOM juga memiliki aplikasi “BPOM Mobile” yang dapat dipakai untuk mengecek Nomor Izin Edar. Aplikasi ini bisa diperoleh dari Playstore atau Applestore.

Dengan ini, Fajar meminta bantuan masyarakat jika mendapati temuan obat tradisional bermasalah di pasaran, jangan ragu segera melapor ke BPOM atau Dinas Kesehatan setempat agar ditindaklanjuti.

Baca juga: 4 Rekomendasi Kandungan Suplemen Penambah Nafsu Makan Anak

Subkoordinator Seksi Farmamin, Alkes, dan Perbekes Dinas Kesehatan Sukoharjo, Suyanto, menyampaikan Pemkab Sukoharjo juga telah berupaya memperketat pengawasan terhadap obat tradisional di pasaran selama pandemi Covid-19.

Hal ini dilakukan karena tren konsumsi jamu di masyarakat kembali naik. Pemkab Sukoharjo ingin memastikan keselamatan para warga dari konsumsi obat tradisional yang berisiko berbahaya.

Dalam melakukan pengawasan, dia menyebut, petugas tim gabungan selama ini tak hanya menyasar Pasar Nguter yang menjadi sentra penjualan jamu di Sukoharjo.

Berbagai tempat lain juga ikut dipantau, termasuk pasar tradisional umum, toko kelontong, apotek-apotek, dan tempat produksi atau rumah yang dicurigai.

“Justru temuan obat ilegal ini malah kebanyakan di luar Pasar Nguter karena mungkin pedagang merasa tidak akan diperiksa. Oleh karena itu, kami mengimbau masyarakat untuk lebih waspada, sebaiknya tidak memakai produk obat tradisional yang mencurigakan, terlebih telah dikonfirmasi ilegal,” jelas dia. 

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com