Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Amanda Tan
Mahasiswa

Amanda Tan adalah seorang mahasiswa S2 Public Policy and Management di Monash University Indonesia. Ia memiliki fokus studi bidang kebijakan kesehatan, peran NGO dalam pembuatan kebijakan, serta perubahan kebijakan yang cipitakan oleh policy entrepreneur. Selain belajar, Amanda juga aktif menjadi voluntir di LaporCOVID-19 serta lembaga publikasi sosial lainnya.

Bahaya Long Covid yang Tak Diperhatikan Pemerintah

Kompas.com - 04/05/2023, 13:14 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

VARIAN Covid-19 terus bermutasi dan dapat dikatakan bahwa pandemi belum usai. Pernyataan saya ini dapat menyebabkan polarisasi diskusi di lingkaran pergaulan kalian.

Pasalnya, pemerintah sudah menyatakan PPKM berakhir dan warga tidak wajib menggunakan masker termasuk di dalam ruangan.

Artinya, pandemi kurang lebih sudah menjadi isu lapuk dan malas diperbincangkan oleh khalayak ramai, disertai dengan pelonggaran protokol kesehatan.

Padahal, terinfeksi Covid-19 dapat menyisakan gejala panjang pada organ tubuh, atau yang disebut dengan Long COVID.

Setelah menduduki angka kasus baru di kisaran di bawah 1.000, kini Indonesia kembali mengalami peningkatan kasus Covid-19.

Pada 29 April 2023, misalnya, terdapat 2.074 kasus Covid-19 baru. Varian Arcturus menjadi salah satu penyebab lonjakan kasus ini.

Di negara lain, seperti India, varian ini juga menyebabkan lonjakan kasus hingga 13 kali lipat.

Peringatan Pemerintah

Varian Arcturus yang kini meluas memang dikatakan menular lebih cepat dibandingkan subvarian Omicron pada awal 2022.

Varian ini juga 1,17 kali lebih cepat menular dibandingkan varian Kraken yang sempat muncul awal 2023.

Namun, narasi yang menenangkan terus dicetuskan —bahwa pasien varian Arcturus yang baru terdeteksi tidak mengalami gejala.

Pemerintah juga menghimbau agar warga tidak perlu panik kembali. Akibatnya, warga yang sudah lengah dan lelah dengan pandemi mudah kembali terinfeksi.

Kedua, peningkatan yang terjadi selama minggu belakangan, direspons Menteri Kesehatan cukup lambat, yakni pada akhir Minggu (29 April 2023), meminta warga untuk segera melakukan vaksin booster kedua, walau Presiden Joko Widodo memberikan peringatan cukup cepat pada 19 April 2023.

Pernyataan sikap dan kebijakan ini terbilang cukup normatif dan bersifat baik. Namun narasi kebijakan yang sudah dibangun di tingkat nasional bahwa pandemi akan usai bisa berkontribusi pada hilangnya ‘appetite’ atau keinginan warga untuk melakukan vaksinasi booster kedua, selain faktor-faktor lainnya.

Perubahan narasi yang terus menerus — memakai masker hanya ketika kasus naik dan slogan ‘pandemi akan usai segera’ —dapat membuat warga menerka-nerka kondisi pandemi yang sebenarnya.

Seharusnya, sebelum varian ini masuk, pemerintah sudah mulai memperingatkan warga untuk memperketat protokol kesehatan dan potensi peningkatan yang akan terjadi, agar warga mengetahui kondisi pandemi sesungguhnya.

Selain itu, konsistensi narasi penting karena bahaya post-Covid-19 terus mengintai, termasuk bahaya long Covid yang sama sekali tidak pernah dibicarakan oleh pemerintah.

Bahaya long Covid

Walau tidak bergejala berat karena sudah vaksin booster kedua, gejala yang dirasakan ibu saya cukup menyakitkan, sakit tenggorokan yang luar biasa hingga tulang ngilu di sekujur tubuhnya.

Peringatan bahwa varian Covid-19 kini hanya flu biasa menjadi sesuatu miskonsepsi atau bahkan pernyataan yang misleading.

Memang betul kini obat antivirus tersedia lebih banyak dan lebih mudah diakses oleh masyarakat. Namun virus berbahaya yang menyerang tubuh juga menyisakan beberapa gejala yang berkepanjangan, atau disebut dengan long Covid.

Menurut pernyataan Direktur Jenderal Badan Kesehatan Dunia (WHO), dr. Tedros Adhanom, 10-20 persen penyintas Covid-19 mengalami long Covid.

Penelitian terakhir yang dilakukan oleh Sharma dan Bayry, menemukan bahwa seseorang yang pernah virus Sars-Cov-2 memiliki potensi besar terjangkit penyakit autoimun dibandingkan yang tidak.

Artinya, bekas gejala Covid-19 berbahaya bagi tubuh dan badan tidak kemudian berfungsi sama kembali.

Bahaya long Covid yang justru lebih marak dibicarakan di negara barat, seperti Australia dan Britania Raya dan bahkan pemerintah didesak untuk segera membuat kebijakan yang meregulasi cara warga mengakses pengobatan long Covid.

Di sisi lain, di Indonesia, long Covid dianggap sebuah ‘dilema kebijakan’, yang artinya pemerintah tidak yakin ini harus diberikan perhatian khusus.

Namun, anggota Komisi IX DPR RI, Ibu Netty Prasetiyani Aher, sempat menyuarakan suara rakyat dan meminta pemerintah memberikan perhatian khusus pada pasien long Covid.

Maka dari itu, selain memperingati lonjakan kasus, pemerintah perlu menyatakan bahwa warga perlu waspada bahaya long Covid karena pandemi belum usai.

Selain itu, mentaati prokes dengan memakai masker dan menjaga sanitasi juga perlu terus dilakukan, bukan saja ketika kasus meningkat.

Karena mengutip pernyataan para aktivis di Twitter yang terus menggalakkan bahaya Covid-19, “COVID-19 is still airborne” .

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau