KOMPAS.com - Perserikatan Bangsa-Bangsa memiliki target di bidang kesehatan untuk mengakhiri epidemi tuberkulosis (TB) pada 2030.
Di pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, salah satu program Quick Win juga memberantas tuberkulosis (TB) dengan menganggarkan Rp 8 triliun dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2025.
Saat ini, tuberkulosis terus menyebabkan kematian. Sebelum Covid-19, tuberkulosis adalah salah satu penyakit menular yang paling mematikan.
Pada 29 Oktober 2024, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengeluarkan rilis bahwa terdapat 8,2 juta kasus baru tuberkulosis pada 2023.
Jumlah kasus tuberkulosis itu menjadi yang tertinggi sepanjang pemantauan TB secara global oleh WHO sejak 1995.
WHO juga melaporkan bahwa sebanyak 1,25 juta orang meninggal akibat tuberkulosis, termasuk 161.000 orang dengan HIV.
Prof. dr. Tjandra Yoga Aditama, Sp.P(K), MHA, DTM&H, DTCE, FIRS mengatakan bahwa penyakit menular kuno ini sulit dientaskan dan terus mendapatkan perhatian karena beberapa alasan.
"Karena ada seperempat penduduk dunia yang tidak menunjukkan gejala sama sekali, tidak sakit sama sekali. Tetapi kuman ada dalam tubuhnya. Dan sampai orang itu meninggal si kuman ada dalam tubuhnya," kata Prof Tjandra kepada Kompas.com.
Orang yang terinfeksi tuberkulosis, tetapi tidak merasakan sakit, artinya menderita TB laten.
Baca juga: TBC Jadi Penyakit Mematikan di Dunia dengan 8,2 Juta Kasus Baru
Prof Tjandra menjelaskan bahwa TB laten bisa menjadi aktif sewaktu-waktu ketika daya tahan tubuh penderitanya turun.
"Sifat kuman ini (TB laten) istilahnya dormant. Itulah salah satu alasan tuberkulosis tidak mudah hilang dari muka bumi," ungkap Senior Project Leader di Airborne Infection Defense Platform (AIDP).
"Dan bukan tidak mungkin perubahan iklim dan segala macam berpengaruh terhadap daya tahan tubuh dan perkembangan TB," imbuhnya.
Meski bersifat pasif, TB laten tetap perlu diobati.
Dikutip dari Pusat Pengendalian dan Pencegahan Penyakit Amerika Serikat (CDC), orang dengan tuberkulosis laten tidak dapat menyebarkan bakteri penyebab penyakit ke orang lain.
Namun, tanpa pengobatan sekitar 5-10 persen panderita TB laten berisiko mengembangkan penyakit paru-paru ini sepanjang hidup mereka.
Jika bakteri dormant bangun menjadi aktif dan berkembang biak, tuberkulosis laten akan berubah menjadi aktif.
Saat infeksi tuberkulosis menjadi aktif, maka orang tersebut bisa menulai penyakit ke orang lain melalui udara.
Baca juga: Menkes Ajak Masyarakat Skrining TBC Mandiri
Masalah lain yang menyebabkan tuberkulosis sulit dihentikan, sebagaimana dikatakan Prof Tjandra, adalah penderita TB sering kali tidak menghabiskan obatnya sesuai anjuran dokter.
"Obat tuberkulosis biasanya untuk dimakan enam bulan. Bisa juga dengan teknologi baru menjadi empat bulan. Tapi, tetap beberapa bulan umumnya. Katakanlah enam bulan rata-rata," ujarnya.
Namun, kata Prof Tjandra melanjutkan, "Makan obat sampai dua bulan biasanya gejala penyakit sudah hilang. Ini yang kemudian jadi masalah, orang berpikir kalau sakitnya sudah hilang, 'ngapain lagi makan obat'."
"Kalau dia tidak habiskan obat sesuai panduannya, maka kumannya tidak akan hilang, kumannya bisa kambuh lagi, dan membuat dia menjadi resisten," terang Guru Besar Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI) ini.
Merujuk WHO, resisten terhadap banyak obat tuberkulosis (multidrug-resistant TB/MDR-TB) bisa terjadi ketika obat TB digunakan secara tidak tepat, melalui resep yang salah oleh penyedia layanan kesehatan, obat berkualitas buruk, atau pasien menghentikan pengobatan sebelum waktunya.
MDR-TB adalah bentuk TB yang disebabkan oleh bakteri yang tidak merespons isoniazid dan rifampisin, dua obat TB lini pertama yang paling efektif.
TB-MDR dapat diobati dan disembuhkan, tetapi bisa lebih sulit dan biasanya memerlukan penggunaan obat lain yang cenderung lebih mahal dan beracun.
Menurut data Global Tuberculosis Report (WHO 2023), Indonesia merupakan negara penyumbang beban penyakit tuberkulosis terbesar kedua di dunia setelah India.
Pada 2022, ada sebanyak 969.000 kasus baru dan sekitar 144.000 jumlah kematian akibat tuberkulosis dicatat di Indonesia.
Diperkirakan 25 persen kasus tuberkulosis tidak terdeteksi dan tidak terlaporkan.
Sementara dari 75 persen kasus tuberkulosis yang ditemukan, 24 persennya tidak menjalani pengobatan dengan tuntas.
"Jadi anjuran pertama bagi orang yang sudah didiagnosis tuberkulosis adalah makanlah obat sesuai dengan anjurannya. Jangan berhenti di tengah jalan, meski gejalanya hilang," ujar Prof Tjandra mengingatkan.
Baca juga: Berkaca dari Pandemi Covid-19, Menkes: Vaksin Cara Cepat Bebas TBC
Ia juga mengungkapkan bahwa untuk menghadapi tantangan dalam mengentaskan tuberkulosis, di Indonesia dan negara-negara di ASEAN lainnya, program AIDP dibentuk.
AIDP resmi dibentuk pada 8 Agustus 2024 di Laos.
AIDP adalah proyek ASEAN-Amerika Serikat yang punya dua tujuan.
"Salah satu tujuan AIDP adalah memperkuat program penanganan TB di ASEAN. Amerika ingin membantu ASEAN bagaimana bersama-sama memperkuat program TB di ASEAN yang tertekan sewaktu Covid-19," kata Prof Tjandra selaku senior project leader.
Selain itu, ia mengatakan bahwa adanya AIDP bisa menguatkan kesiapan masyarakat ASEAN untuk menghadapi kemungkinan munculnya pandemi baru di kemudian hari.
"Kita semua mungkin sebenarnya tahu bahwa pandemi baru akan datang. Kita cuma tidak tahu dua hal saja, kita tidak tahu pandemi itu kapan datangnya dan kita tidak tahu penyakit apa yang menyebabkan pandemi baru," ucapnya.
Di era modern, pandemi tercatat terjadi dua kali, yaitu influenza H1N1 pada 2009 dan kedua Covid-19 pada 2019.
Ia mengungkapkan bahwa perkiraan para pakar pandemi baru kemungkinan muncul melalui udara, seperti dua pandemi sebelumnya.
"Pandemi baru kemungkinan besar terjadi terkait airborne juga, yang menyebar melalui udara. Kenapa begitu? Karena airborne itu paling gampang penularannya, satu bus, satu mobil, atau satu kantor," ujarnya.
Menurutnya, penguatan penanganan tuberkulosis yang dihasilkan di AIDP bisa diaplikasikan sebagai persiapan menghadapi pandemi baru yang bukan hal mustahil untuk terjadi di kemudian hari.
Baca juga: Kemenkes Tegaskan Indonesia Serius Berantas TBC
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.