KOMPAS.com - Sudah satu generasi berlalu sejak dunia menyaksikan puncak kematian akibat AIDS di tahun 1990an, yang mendorong masyarakat untuk menuntut tindakan dari pemerintah.
Amerika Serikat akhirnya merespons dengan meluncurkan President’s Emergency Plan for AIDS Relief (PEPFAR) pada tahun 2003, yang dianggap sebagai salah satu program bantuan luar negeri paling sukses dalam sejarah.
Kini pemerintahan Presiden AS Donald Trump telah menghentikan bantuan luar negeri dan menuduhnya sia-sia, dan akhirnya menyebabkan kekacauan dalam sistem yang sudah berjalan selama lebih dari 20 tahun dan telah membuat jutaan orang tetap hidup.
Meski akhirnya diputuskan bahwa akan ada pengecualian sementara terhadap PEPFAR, hal itu tetap menimbulkan kebingungan. Di lain pihak waktu terus berjalan dan ada begitu banyak pengidap HIV yang mendadak tidak lagi memperoleh obat untuk mencegah AIDS.
Baca juga: Kemajuan Upaya Pencegahan HIV/AIDS Sudah Sampai Mana?
“Dalam lima tahun ke depan, kita bisa mengalami 6,3 juta kematian terkait AIDS,” kata UNAIDS (badan PBB yang menangani HIV/AIDS) kepada The Associated Press.
Kondisi tersebut adalah sebuah guncangan di tengah meningkatnya rasa kepuasan terhadap pencapaian bidang HIV, menurunnya penggunaan kondom di kalangan generasi muda, dan munculnya obat-obatan yang dipercaya dapat mengakhiri AIDS selamanya.
UNAIDS telah mulai secara terbuka melacak infeksi HIV baru di negara-negara yang didukung PEPFAR, membandingkan jumlah infeksi baru dengan jumlah yang diperkirakan jika dukungan AS terus berlanjut.
Baca juga: Apa Fungsi WHO dan Mengapa Trump Menarik Keanggotaan
Ketika kekebalan tubuh kolaps
HIV secara bertahap melemahkan sistem kekebalan tubuh dan membuatnya rentan terhadap penyakit, termasuk penyakit yang jarang terlihat pada orang sehat.
Fenomena tersebut banyak ditemukan di tahun 1980an yang akhirnya menjadi petunjuk bagi para ahli kesehatan mengenai apa yang kemudian dikenal sebagai epidemi AIDS.
Saat ini jutaan orang memakai obat yang disebut antiretroviral (ARV) yang mencegah penyebaran HIV di dalam tubuh. Di banyak negara, termasuk Indonesia, obat tersebut diberikan gratis oleh pemerintah sebagai bagian dari bantuan global.
Dihentikannya obat ARV akan membuat virus mulai berkembang biak lagi di dalam tubuh, dan dapat menjadi resistan terhadap obat. HIV dapat kembali ke tingkat yang terdeteksi dalam darah hanya dalam beberapa minggu, sehingga membahayakan pasangan seksual.
Baca juga: Patuh Minum Obat ARV: Kunci Kendalikan HIV dan Tingkatkan Kualitas Hidup
Bayi yang lahir dari ibu yang mengidap HIV dapat terhindar dari infeksi hanya jika ibu tersebut menerima pengobatan ARV yang tepat selama kehamilan atau bayi tersebut diobati segera setelah lahir.
Jika obat tidak diminum, orang akan terserang AIDS, sebuah tahap akhir dari infeksi HIV.
Bahaya kuman sehari-hari