Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 23/02/2022, 09:00 WIB
Luthfi Maulana Adhari,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Distrofi miotonik adalah kondisi genetik yang melemahkan otot anak secara perlahan dari waktu ke waktu.

Distrofi otot miotonik menyebabkan kelemahan, otot menyusut, dan pelepasan lambat beberapa otot setelah berkontraksi.

Masalah kesehatan ini juga dapat memengaruhi banyak bagian lain dari tubuh anak, seperti jantung, otak, hormon, dan penglihatan.

Baca juga: 6 Gejala Rakhitis, Kelainan Tulang yang Perlu Diwaspadai

Penyebab

Distrofi miotonik terklasifikasi menjadi dua tipe berdasarkan penyebabnya, yakni:

  • Distrofi miotonik tipe 1 atau penyakit Steinert terjadi karena gen pada kromosom 19 yang disebut DMPK meluas secara abnormal dan berlokasi dekat dengan area regulasi dari gen lainnya, yaitu SIX5
  • Distrofi miotonik tipe 2 disebabkan adanya bagian yang meluas secara abnormal pada gen kromosom 3 yang disebut dengan ZNF9, tipe ini lebih ringan ketimbang tipe 1.

Gejala

Gejala umum distrofi miotonik adalah kelemahan di area berikut:

  • Otot wajah dan leher yang membuat kesulitan tesenyum dan kesulitan mengunyah makanan
  • Otot jari, tangan, dan lengan yang membuat pasien kesulitan menggenggam sesuatu
  • Otot pada betis dan telapak kaki

Kelemahan bisa menyebar ke area otot lain seperti otot di daerah paha atau otot di organ pernapasan.

Distrofi miotonik juga dapat menyerang uterus.

Gejala lain distrofi miotonik meliputi:

  • Volume dan ukuran otot yang menyusut
  • Gangguan pada otot pencernaan
  • Tidak bisa bernapas dengan baik terutama ketika tidur
  • Gangguan ritme jantung (aritmia) dan kardiomiopati
  • Katarak
  • Gangguan kognitif
  • Sering mengantuk pada siang hari
  • Gangguan hormon seperti hipotiroidisme, resistensi insulin, diabetes, atau hipogonadisme.

Baca juga: 13 Penyebab Kelemahan Otot yang Perlu Diwaspadai

Diagnosis

Diagnosis akan dimulai dengan pemeriksaan fisik dan pengecekan riwayat kesehatan keluarga

Beberapa tes untuk memastikan penyakit ini meliputi:

  • Tes darah untuk memeriksa tingkat enzim (serum creatine kinase) yang lebih tinggi ketika otot rusak
  • Tes genetik untuk mencari perubahan pada gen yang menyebabkan distrofi miotonik
  • Tes elektromiogram (EMG) untuk mengukur sinyal listrik di otot
  • Biopsi otot.

Perawatan

Tidak setiap anak yang mengidap distrofi miotonik membutuhkan setiap jenis perawatan.

Rencana perawatan anak akan dibuat khusus untuk mereka dan akan berubah seiring waktu seiring dengan perubahan kebutuhan pasien.

Meskipun tidak ada obat untuk distrofi miotonik, pengobatan dapat berdampak besar pada kualitas hidup anak dengan mengurangi atau mengelola efek penyakitnya.

Perawatan umum untuk menjaga kemampuan anak bergerak aktif meliputi:

  • Terapi fisik untuk mempertahankan tonus otot dan meningkatkan jangkauan gerak
  • Terapi okupasi 
  • Latihan dan peregangan
  • Belat atau penyangga untuk tangan atau kaki anak
  • Obat untuk meredakan myotonia atau nyeri pada otot rangka
  • Perangkat yang membantu anak bergerak, seperti alat bantu jalan atau kursi roda
  • Pembedahan untuk melepaskan kontraktur (otot dan persendian yang tegang) atau membantu anak berjalan.

Baca juga: Kenali Apa itu Myalgia, Nyeri Otot yang Bisa Menyerang Setiap Orang

Segera hubungi dokter atau ahli saraf jika mengalami gejala distrofi miotonik.

Pendampingan medis setelah didiagnosis dengan distrofi miotonik amat penting dilakukan.

Komplikasi

Kemungkinan komplikasi dari distrofi miotonik antara lain:

  • Katarak
  • Tonus otot yang lemah (hipotonia)
  • Kaki yang berputar ke dalam dan ke atas (kaki pengkor)
  • Masalah pernapasan
  • Perkembangan yang tertunda
  • Cacat intelektual.

Pencegahan

Distrofi miotonik tidak dapat dicegah karena merupakan kelainan bawaan.

Namun, konselor genetik dapat membantu pasangan membuat keputusan sebelum berencana memiliki anak.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Artikel ini tidak diperuntukkan untuk melakukan self diagnosis. Harap selalu melakukan konsultasi dengan dokter untuk mendapatkan pemeriksaan dan penanganan yang tepat.

Video rekomendasi
Video lainnya

Indeks Penyakit


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Lengkapi Profil
Lengkapi Profil

Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.

Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com