KOMPAS.com -
Pembuatan vaksin terus dikembangkan. Kini bibit vaksin dihasilkan melalui rekayasa genetik. Penerapannya di Indonesia ditujukan untuk pembuatan vaksin flu burung. Dengan begitu kemandirian terbangun untuk mengantisipasi terjadinya pandemi virus tersebut.

Munculnya kasus flu burung pertama kali di Indonesia pada 2004 mendorong upaya penelitian tentang virus yang mematikan itu. Berbagai riset dilakukan sejak 2005, mulai dari mengisolasi virus dari pasien flu burung, meneliti sifat, hingga merekayasa virus menjadi vaksin.

Untuk menghasilkan produk riset yang signifikan, pada 2007, Amin Subandrio selaku staf ahli Menteri Riset dan Teknologi bidang Kesehatan dan Obat-obatan menginisiasi pembentukan Konsorsium Vaksin Flu Burung. Konsorsium ini menghimpun 16 institusi di antaranya Universitas Indonesia, Universitas Airlangga, Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Kementerian Kesehatan, serta Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi.

Penelitian terpadu ini bertujuan mempercepat pengembangan kemampuan dan inovasi menghasilkan vaksin virus influenza pandemik yang sesuai dengan pola atau karakter patogen Indonesia. Vaksin yang dihasilkan harus bekerja efektif menginduksi respons imun protektif pada manusia untuk mencegah dan mengeliminasi infeksi virus.

Selama ini pembuatan vaksin dilakukan dengan metode konvensional, yaitu melemahkan dan mematikan virus sebelum disuntikkan untuk menghasilkan imunogenik. Dua cara ini dapat berdampak terjadi virulensi, yakni virus jadi ganas dan bersifat toksik.

Rekayasa genetika

Pada pembuatan vaksin flu burung (avian influenza/AI), cara tersebut tidak dilakukan. Untuk membuat bibit vaksin, digunakan teknik berbasis protein, yakni vaksin subunit rekombinan, dan teknik rekayasa genetika menghasilkan vaksin DNA.

Pada pembuatan vaksin berbasis genetik, kata Amin, yang juga Guru Besar Mikrobiologi Klinik di Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), dilakukan identifikasi gen virus yang menghasilkan protein yang memiliki respons imun dan efek protektif. Kemudian gen diisolasi dan dikloning (digandakan) dalam sel lain, misalnya pada bakteri atau ragi.

Teknik berikutnya yang dikembangkan adalah penggabungan gen terpilih dari beberapa virus. Gen unggul yang dihasilkan dari beberapa virus kemudian disambung.

Pembuatan vaksin berbasis DNA lebih mudah dalam memodifikasi virus dan mengendalikannya. Gen yang dihasilkan dapat dimasukkan ke sel mana pun. Media yang digunakan pun beragam. Di beberapa negara, media yang digunakan, antara lain, adalah buah pisang.

Prototipe vaksin

Saat ini, kata Fera Ibrahim, Kepala Bagian Mikrobiologi Klinik FKUI-RSCM, timnya telah menghasilkan prototipe vaksin DNA, vaksin subunit protein rekombinan, dan partikel yang menyerupai virus (viral like particle). Partikel yang menyerupai virus tidak bermuatan gen sehingga tidak dapat direplikasi.

Vaksin yang dihasilkan kini dalam tahap uji toksisitas dan uji keamanan. Selanjutnya Biofarma akan mengembangkan medium sehingga dapat dikembangbiakkan.

Selain FKUI, pembuatan bibit vaksin dilakukan Universitas Airlangga dengan teknik reverse genetic.

Bibit vaksin yang dihasilkan dua institusi ini diserahkan Menteri Riset dan Teknologi kepada Menteri Kesehatan untuk dikembangkan lebih lanjut oleh Biofarma. Perusahaan farmasi ini telah memiliki sertifikat prakualifikasi dari Organisasi Kesehatan Dunia (WHO).

Industri farmasi nasional tersebut kini mengembangkan produksi skala kecil. Pembuatannya menggunakan media biakan telur specific patogen free (SPF).

Telur ini dihasilkan dari ayam yang dipelihara dalam lingkungan yang bebas dari kontaminasi mikroba sehingga telur yang dihasilkan bebas kuman. ”Jika uji klinis berhasil, akan masuk produksi skala besar,” ujar Amin.

Pengujian khusus ini akan makan waktu 8 tahun. Namun, jika terjadi pandemi proses pengujian dapat dipersingkat menjadi kurang dari satu tahun.

Terkait pengembangan vaksin flu burung, Fera menyayangkan penurunan alokasi anggaran yang disediakan pemerintah. Sejak 2013, dari dana Rp 2 miliar yang diperlukan hanya tersedia dana Rp 300 juta. Demikian pula untuk 2014. Karena itu, pengembangan vaksin hingga tahap uji praklinik dan klinik diperkirakan baru bisa terlaksana tahun 2020.