Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 14/07/2015, 15:35 WIB

JAKARTA, KOMPAS — Tingkat kematian kasus gigitan ular diyakini tinggi. Salah satu penyebabnya adalah jenis anti bisa tak cocok dengan karakter bisa pada ular yang menggigit mengingat jenis ular berbisa di Indonesia beragam. Pemerintah didorong bekerja sama dengan negara produsen anti bisa agar mampu menyediakan anti bisa lebih beragam dengan harga murah.

"Data 2011-2014, tingkat kematian 40 persen. Setelah itu, saya terhubung dengan lebih banyak rumah sakit sehingga tingkat kematian diyakini mencapai 50 persen," kata Kepala Instalasi Gawat Darurat Rumah Sakit Umum Daerah Dr H Koesnadi Bondowoso, Jawa Timur, Tri Maharani, Minggu (12/7).

Data dimaksud adalah jumlah kasus gigitan ular pada 2011-2014 di rumah sakit di lima kota, yakni Malang, Surabaya, Serang, Batam, dan Merauke. Hasilnya, angka kejadian lebih dari 200 kasus. Jumlah itu bisa lebih banyak karena ada yang hanya dibawa ke puskesmas atau dukun.

Menurut Maharani, yang juga merupakan pakar gigitan ular dan toksikologi, salah satu faktor utama kematian adalah jenis anti bisa ular Indonesia minim. Serum yang ada hanya polivalen produksi Biofarma untuk kasus gigitan ular kobra (Naja sputatrix), welang (Bungarus fasciatus), dan ular tanah (Agkistrodon rhodostoma). Serum polivalen memang dapat mengobati gigitan lebih dari satu jenis ular, tetapi efektivitasnya lebih rendah daripada serum monovalen (spesifik untuk satu jenis ular).

Di Indonesia, banyak kasus gigitan ular selain jenis yang bisa ditangani polivalen. Di Bondowoso, misalnya, ada 40 kasus gigitan ular dalam tiga bulan terakhir atau 13 kasus per bulan. Dari total tersebut, 35 kasus (87,5 persen) diakibatkan gigitan ular hijau (Trimeresurus albolabris).

Maharani menyatakan, akhir pekan lalu, satu pasien anak laki-laki dan satu laki-laki dewasa masuk Jumat (10/7) dan satu ibu hamil masuk Sabtu (11/7) ke IGD RSUD Dr H Koesnadi. Ketiganya digigit ular hijau.

Karena serum polivalen di Indonesia tak bisa menangani gigitan ular hijau, Maharani terpaksa membeli serum monovalen Green Pit Viper Antivenin produksi Thailand. Malaysia mengimpor seharga 250 dollar AS (sekitar Rp 3,3 juta) per ampul (10 mililiter). "Karena saya kenal produsen dan membeli insentif, saya dapat pengurangan harga menjadi 60 dollar AS (sekitar Rp 800.000) per ampul," ujarnya.

Maharani mendesak pemerintah bernegosiasi dengan Thailand agar bisa mengimpor anti bisa ular dengan harga lebih murah. "Jika menunggu riset selesai, angka kematian keburu naik lagi," katanya. Sambil mengimpor, pemerintah juga tetap wajib memacu penelitian untuk menghasilkan anti bisa beragam. Untuk itu, riset data jenis ular yang paling banyak menggigit manusia per daerah perlu dibuat.

Jenis prioritas

Amir Hamidy, peneliti herpetologi (mempelajari reptilia dan amfibi) pada Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, mengatakan, Indonesia memiliki sekitar 370 jenis ular, tetapi hanya 45 jenis di antaranya yang berbisa. Jumlah jenis serum monovalen yang dibutuhkan Indonesia tidak perlu sebanyak total jenis ular berbisa, tetapi pemerintah bisa membuat prioritas menurut data jenis ular yang paling banyak menggigit.

Untuk Indonesia barat, mulai Sumatera hingga Nusa Tenggara, kemungkinan hanya 15 jenis yang biasa menggigit. Di wilayah Indonesia timur yang mencakup Maluku dan Papua, terdapat dua ular yang umum menyebabkan kasus gigitan, salah satunya ular putih (Micropechis ikaheka).

Pada sisi lain, pemerintah perlu meningkatkan kapasitas tenaga kesehatan menghadapi kasus gigitan ular. Itu karena tidak semua kasus bisa ditangani serum polivalen. Bahkan, pada kasus tertentu, polivalen malah bisa menjadi racun karena tidak cocok dengan jenis bisa.

Amir juga berharap tenaga kesehatan senantiasa berkonsultasi dengan ahli herpetologi jika menemui kasus gigitan. Konsultasi dilakukan agar jenis ular yang menggigit dapat diidentifikasi sebelum memberi anti bisa. (JOG)

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com