Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/11/2015, 14:03 WIB
Dian Maharani,
Bestari Kumala Dewi

Tim Redaksi

CIREBON, KOMPAS.com – Siang itu Ruang Patimura di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Arjawinangun, Cirebon, Jawa Barat sangat ramai. Hanya ada satu atau dua kursi kosong di ruang tunggu pasien. Di dalam ruangan lain, dokter Spesialis Kedokteran Jiwa Eri Achmad sedang mengobrol dengan pasiennya. Eri satu-satunya dokter spesialis di rumah sakit itu. Dalam satu hari, ia bisa meladeni 100 pasien. Dalam satu hari itu, 10 persennya adalah pasien baru dan sisanya pasien jiwa yang masih menjalani perawatan.

Kompas.com dan beberapa awak media lainnya diberi kesempatan untuk melihat bagaimana kondisi klinik psikiatri ini. Berjalan lagi ke dalam, saya mendapati ruang kaca yang memanjang. Di dalam ruang kaca itu, ada empat pria mengenakan pakaian merah tua. Ada yang sedang duduk di lantai, bersandar di kaca, dan ada pula yang berjalan ke sana ke mari. Mereka terdiam dengan tatapan kosong. Tapi ada juga yang terus melempar senyum seakan ingin menyapa orang-orang di luar ruang kaca.

“Kaca ini sangat kuat. Mau dipukul-pukul pakai tangan sekeras apapun tidak akan pecah,” ujar Direktur RSUD Ahmad Qoyyim, Rabu (4/11/2015).

Di dalam ruang kaca itu juga terdapat kamar-kamar tidur yang tertutup oleh pintu dan terdapat kamar mandi di dalamnya. Mereka adalah pasien gangguan jiwa yang sedang berjuang untuk sembuh. Di luar ruang kaca, para perawat berseragam pink menunggui pasien. Sesekali perawat juga masuk ke dalam ruangan bertembok putih itu. Ruang kaca itu dibuat untuk bisa memantau para pasien selama 24 jam.

Ruang pasien laki-laki dan perempuan tentunya dipisah. Kalau tidak, khawatir ada yang melampiaskan hasrat seksualnya di dalam sana.

Saya kemudian berjalan pojok ruangan Patimura ini. Suasanyanya sedikit berbeda meski letaknya bersebelahan dengan ruang kaca tadi. Tertulis Ruang Agitasi di atas pintu besi yang kokoh. Di dalamnya, lima kamar dengan pintu besi berjajar. Seperti sebuah sel di dalam penjara, pintu itu dikunci. Masing-masing kamar terdapat kasur dan kamar mandi yang ditempati satu orang pasien dengan seragam merah tua itu.

 Saya melihat seorang wanita di sana. Ia berdiri menggenggam teralis besi dengan ekspresi datar. Wanita itu juga terdiam tanpa kata, tanpa suara. Entah apa yang dipikirkannya saat itu. Menurut salah satu perawat, wanita muda itu adalah tenaga kerja wanita (TKW) yang baru pulang ke Indonesia.

“Kebanyakan pasien wanita di sini itu TKW. Enggak tau apa yang terjadi saat kerja di luar, pulangnya begini (gangguan jiwa). Ada juga yang karena putus cinta. Anak SMP juga ada karena dijahatin sama temannya terus,”kata salah satu perawat.

Ruang agitasi adalah ruangan untuk pasien yang belum bisa terkontrol. Terkadang mereka mengamuk, berteriak, atau marah-marah. Pernah ada pasien yang mencoba untuk kabur dari ruangan ini. Berbeda dengan ruangan kaca, pasien lebih tenang. Biasanya, mereka tinggal di ruangan agitasi hanya tiga hari. Kemudian dipindah ke ruangan kaca sekitar satu minggu. Jika mulai pulih, dipindah ke ruang perawatan lain.

Ruangan-ruangan ini juga dibuat untuk memberikan rasa aman para perawat. Dokter Eri menegaskan, perawat tidak ada yang boleh melawan ketika pasien jiwa mengamuk atau menunjukkan perilaku agresif. Untuk itu sekat antara perawat dan pasien diperlukan.

Nah, jika pasien sudah bisa terkontrol dan mulai pulih, mereka akan menempati ruangan yang lebih terbuka. Letaknya juga bersebelahan dengan ruangan kaca tadi. Ruangan ini disebut aula karena sangat luas. Ada meja dan kursi makan, lemari kecil berisi kertas-kertas untuk menggambar, meja untuk olahraga tenis meja, bahkan keranjang basket.

Halaman:
Baca tentang
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com