Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 06/01/2014, 19:08 WIB
Rosmha Widiyani

Penulis


KOMPAS.com — Sistem Jaminan Kesehatan Nasional 2014 dinilai Pengurus Besar Ikatan Dokter Indonesia (PB-IDI) berpotensi menyebabkan dokter "tekor". Hal ini dikarenakan jumlah pengeluaran seorang dokter bisa lebih besar dan tidak seimbang dengan pemasukan yang diterima.

Risiko kerugian ini besar kemungkinan dialami oleh dokter yang mengabdi di sentra layanan primer, misalnya puskesmas.

“Kalau kerja dokter hanya duduk seperti biasa mungkin tak masalah. Namun, kalau kita juga harus melakukan promotif dan preventif, maka penghasilan tersebut harus dibagi untuk keperluan lain. Hal inilah yang berisiko menyebabkan dokter 'tekor',” kata Ketua Umum PB-IDI Zainal Abidin kepada Kompas Health, Senin (6/1/2014).

Upaya preventif dan promotif, terang Zainal, membutuhkan effort lebih dari seorang dokter. Para dokter harus mendatangi masyarakat dan menjelaskan segenap usaha promotif dan pencegahan demi kesehatan yang lebih baik. Karena itulah, upaya promotif dan preventif menjadi lebih mahal.

Upaya promotif dan preventif juga hanya memungkinkan bila puskesmas ditempati lebih dari satu dokter. Bila salah satu dokter sedang turun ke masyarakat, maka dokter lain bertugas memberi pelayanan di rumah sakit.

Dalam JKN 2014, usaha preventif dan promotif menjadi landasan utama. Dengan pencegahan sejak dini, diharapkan tidak banyak masyarakat yang menderita sakit. Dengan demikian, sisa biaya kapitasi yang diperoleh bisa lebih besar. Sisa biaya kapitasi bisa digunakan untuk kemajuan layanan kesehatan.

“Sebetulnya kita bisa saja duduk menunggu seperti biasa, namun hal tersebut bertentangan dengan paradigma promotif dan preventif. Duduk dan menunggu mengarah pada paradigma sakit, artinya orang yang ke puskesmas sudah bisa dipastikan mengalami gangguan tertentu. Hal ini tentu tidak baik untuk pengiritan biaya kapitasi,” kata Zainal.

Ia menambahkan, dokter di layanan sekunder dan tersier juga tidak terhindar risiko tekor. Zainal mengatakan, sistem pembayaran dengan INA-CBG’s yang berlaku di layanan sekunder seperti rumah sakit tidak memuat beberapa tindakan yang dilakukan dunia medis. Misalnya, diagnosis yang hanya bisa dilakukan spesialisasi patologi anatomi. Padahal, patologi anatomi diperlukan untuk penegakan diagnosis penyakit tertentu, dan memastikan suatu bentuk terapi.

INA-CBG’s juga dinilai IDI memberi harga beberapa tindakan terlalu rendah. Zainal mencontohkan, prosedur gangguan persarafan mata berat yang diberi harga Rp 7 juta – Rp 9 juta, tergantung kelasnya.

“Prosedur terkait saraf membutuhkan banyak sekali alat habis pakai. Harga paket ini seharusnya jangan terlalu rendah. Kalau harga paket sudah habis untuk prosedur dan alat habis pakai, maka dokter tidak memperoleh tarif yang sesuai,” kata Zainal.

Zainal berharap pemerintah segera melakukan evaluasi terkait tarif kapitasi dan INA-CBG’s. Tarif yang sesuai akan memaksimalkan pelayanan yang diterima masyarakat dari para dokter. Zainal berharap, revisi tersebut akan mencukupi kebutuhan bulanan para dokter.

“Kita pernah menghitung pengeluaran dokter bisa mencapai Rp 15 juta pada 2007, termasuk alat yang harus dimiliki pribadi dan berbagai kursus yang wajib diambil. Sebaiknya revisi ini dilakukan segera, bila dalam 3 bulan sudah terlihat tidak beres, segera lakukan perbaikan,” kata Zainal seraya menambahkan bahwa saat ini PB-IDI tengah menyusun badan pengawasan terkait pelaksanaan JKN 2014.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.

Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com