Hal itu dikatakan Prof Lawrence Haddad, co-Chair dari Global Nutrition Report Independent Expert Group dan peneliti senior pada International Food Policy Research Institute, Senin (9/2). Ia berbicara dalam diseminasi Laporan Nutrisi Global (GNR) 2014, di Jakarta. Acara itu sekaligus puncak peringatan Hari Gizi Nasional Ke-55 tahun 2015.
Para pembicara lain di antaranya perwakilan Unicef Gunilla Olsson, tokoh masyarakat Salahuddin Wahid, pejabat terkait di Kementerian Pertanian, Kementerian Kesehatan, dan Bappenas.
Deputi Sumber Daya Manusia dan Kebudayaan Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) Nina Sardjunani menjelaskan, GNR 2014 merupakan seri pertama laporan tahunan yang menjelaskan kemajuan perbaikan gizi di seluruh dunia. Laporan itu memaparkan data dan informasi terkait gizi secara global, berisi pengalaman, praktik terbaik, dilengkapi profil 193 negara anggota PBB.
Menurut Haddad, gizi yang baik adalah landasan pembangunan berkelanjutan. Namun kurang dari setengah jumlah anak balita Indonesia yang tumbuh sehat.
Hal senada diungkapkan Prof Endang L Achadi, Guru Besar Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Indonesia dan salah satu tim ahli GNR. Posisi Indonesia menunjukkan, prevalensi anak pendek tinggi, tetapi kecepatan penurunan per tahun rendah. Selain memiliki masalah pada jumlah anak pendek, kurus, dan berlebih berat badan, Indonesia punya masalah anemia pada perempuan usia subur.
Kondisi itu memperburuk masalah gizi, karena pertumbuhan anak dihitung mulai 1.000 hari pertama sejak dalam kandungan sampai usia 2 tahun. Cakupan tiga intervensi (intervensi menyusui dini, ASI eksklusif, tablet tambah darah bagi ibu hamil) dari lima intervensi pun rendah.
Sinergi dan koordinasi
”Masalah gizi harus ditangani segera dengan kesatuan visi dan platform. Perlu koordinasi dan sinergi berbagai pemangku kepentingan untuk intervensi spesifik gizi,” kata Endang.
Ia mencontohkan, Maharashtra, negara bagian di India berpenduduk lebih dari 100 juta jiwa berhasil menurunkan jumlah anak pendek dari 36.5 persen (2005-2006) menjadi 24 persen (2012). Itu tak lepas dari perbaikan faktor dasar (antara lain akses air bersih, sanitasi, pendidikan, ketersediaan makanan) dan komitmen berkesinambungan selama lebih dari 10 tahun.
Para pembicara diskusi itu sepakat, masalah Indonesia adalah sinergi. Upaya perbaikan gizi diurus 12 kementerian dan lembaga, tetapi selama bertahun-tahun tak ada perbaikan.
Mardewi dari Gerakan Nasional Kesehatan Ibu dan Anak yang juga Manajer Program Gizi dari Helen Keller Indonesia menyatakan, di tingkat akar rumput, perbaikan gizi berjalan baik. Kerja sama dengan pemerintah daerah juga baik. Tantangan yang dihadapi di antaranya transparansi anggaran, pergantian kepemimpinan dalam struktur pemerintahan, dan keterbatasan program LSM terkait waktu dan dana, sehingga memengaruhi keberlanjutan kerja sama. (ATK)