Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Kompas.com - 13/06/2016, 19:00 WIB

”Mama Deliana, kalau anak saya habis periksa jantung, langsung konsultasi ke dokter lagi, ya?” tanya Sri Anjani, Sabtu (11/6). Lilis, ibu dari Deliana (13), pasien leukemia Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, pun menerangkan proses terapi yang dulu dilalui anaknya.

Cerita mengenai kondisi anak mereka yang tengah menjalani terapi untuk mengatasi kanker di Rumah Sakit Fatmawati, Jakarta, mengalir dari para orangtua itu. Mereka bertukar cerita dan informasi di dapur di rumah singgah Ronald McDonald House Charities (RMHC) di daerah Lebak Bulus, Jakarta.

Lilis, warga Pamijahan, Bogor, misalnya, sudah tinggal di rumah singgah itu sejak Desember 2014 setelah anaknya, Deliana, dirujuk ke RS Fatmawati untuk pengobatan leukemia.

Semula, mereka bolak-balik Bogor-Jakarta untuk berobat. ”Kampung saya jauh. Dari Stasiun Bogor, hampir dua jam dan dua kali ganti angkutan,” tutur Lilis.

Kemudian, dokter yang menangani merekomendasikan agar Deliana dan Lilis tinggal di rumah singgah RMHC. ”Bapaknya Deliana langsung mencari kamar ke sini. Begitu dapat, saya tenang. Deliana bisa dirawat di rumah sakit, saya bawa adiknya ke rumah singgah ini,” katanya.

Sementara Amini, warga Bandar Lampung, telah tinggal selama sembilan bulan di rumah singgah itu bersama anaknya, Faiz (3), yang terkena leukemia limfoblastik akut (ALL). Faiz menjalani serangkaian terapi. Saat ditemui, Faiz tengah memainkan raket dan bola plastik di meja makan.

Hendi dan Musi, penghuni lainnya, telah tinggal selama tiga bulan di tempat itu. Anak Hendi, Fikram (15), mengidap leukemia mieolid akut (AML), sementara anak Musi, Firgi (15), menderita anemia aplastik. Keduanya menjalani rawat inap di RS Fatmawati karena kondisi yang lemah.

Ringankan beban

Tak sedikit dari keluarga pasien dari luar Jakarta kebingungan mencari tempat tinggal karena kesulitan biaya. Di rumah singgah itu, keluarga pasien hanya dikenai biaya Rp 10.000 per malam, bisa gratis jika ada surat keterangan tak mampu.

Amini mengaku tertolong dengan adanya rumah singgah itu. Ia mendapat informasi rumah singgah itu dari perawat dan dokter di RS Fatmawati. ”Saya ditanya suster, ada tempat tinggal tidak? Kata suster, ada rumah singgah untuk keluarga pasien,” ujarnya.

Sri Anjani, orangtua Fina (14), pasien leukemia, mengaku tertolong dengan adanya rumah singgah itu. Sebelumnya, ia harus mengeluarkan biaya transportasi Rp 500.000 sehari. ”Jika disuruh naik angkutan, kasihan, anak saya tidak kuat,” ujarnya.

Tinggal bersama keluarga lain memungkinkan mereka bertukar informasi atau saling mencurahkan isi hati. Musi, misalnya, bingung mencari donor darah bagi anaknya, Firgi (15), yang butuh transfusi trombosit 36-38 kantong darah per minggu.

”Karena BPJS (Badan Penyelenggara Jaminan Sosial) Kesehatan saya dari Bogor, di PMI Jakarta tak bisa mengambil darah langsung, apalagi golongan darahnya B plus, langka. Kalau mau, dikenai biaya per kantong Rp 350.000. Saya tak sanggup jika biayanya sebesar itu,” katanya.

Untuk mengakali kebutuhan Firgi, Musi mencari donor secara pribadi meski jarang sekali mencapai target 36 kantong per minggu. Kontak donor itu yang kerap ia bagikan kepada orangtua lain. ”Ibaratnya, kami sama-sama jaga anak, harus saling membantu,” katanya.

”Karena di sini kami mendapat kebaikan, itu kami teruskan ke orang lain,” kata Hendi. Kerap kali para orangtua itu saling menguatkan, terutama saat ada keluarga baru yang masuk ke rumah singgah.

Halaman Berikutnya
Halaman:
Video rekomendasi
Video lainnya

Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com