KOMPAS.com - Belum ada seminggu saya ‘turun gunung’ – tepatnya turun dari Tembok Besar Tiongkok yang terkenal itu. Bukan untuk pamer bahwa saya sanggup ke sana, karena misinya bukan untuk itu. Terakhir saya melalui lintasan gerbang Ba Da Ling yang mudah dijangkau dari ibu kota Beijing itu sekitar 20 tahun yang lalu.
Saat kendaraan menepi, saya masih berharap menemukan penjual selimut patchwork warna-warni di tepi jalan dan bakpau gandum asli tanpa pemutih, tanpa pengawet, yang harum ngebul dari alat kukus sederhana penduduk setempat.
Tapi, Tembok Besar yang masih tetap kokoh dan mengagumkan itu telah bernuansa sangat berbeda.
Atas nama kemajuan turisme, selain gerbang tiket telah direnovasi apik, deretan warung telah berganti jadi kios-kios berpenampilan rapi di sekitar museum yang berdiri megah dan di sepanjang jalan menanjak menuju tangga pendakian.
Namun, terasa seperti ada yang hilang. Bukan hanya soal selimut warna-warni dan bakpau gandum, tapi semua yang mereka sebut sebagai ‘makanan’ yang ada di deretan kios asri itu, kini juga berpenampilan rapi buatan pabrik dengan kemasan meriah.
Mereka tidak lagi menjual plum atau aprikot sungguhan, atau sekedar apel pedesaan. Melainkan gambar-gambar buah itu, yang tercetak di bungkusan biskuit renyah beraroma buah. Juga pada dus kue-kue yang tahan lama sesuai tanggal kadaluwarsa.
Kelihatannya membuat perdagangan mudah, karena awet tertata di rak toko, bahkan tanpa harus membuatnya sendiri.
Hal serupa terjadi dengan beraneka kaos dan jaket dari produsen yang sama bertuliskan “I have climbed the great wall”.
Yang membuat saya prihatin, 20 tahun yang lalu manusia memberi makan dirinya sesuai apa yang alam sodorkan.
Peradaban menjadikan agrikultur lebih manusiawi dan agribisnis modern memajukan usaha dan pengadaannya hingga ke tangan konsumen. Kerajinan tangan saat itu mencerminkan budaya. Indah, beragam, unik.
Tapi rupanya itu tidak cukup. Atas nama kebersihan, buah dijadikan ekstrak – atau lebih parah lagi hanya aroma sintetisnya, dan dikemas dalam rupa minuman baru sarat gula serta pewarna “yang diijinkan”.
Industri pangan yang tak terkendali
Era kontemporer menyeruak masuk menciptakan fusion food – makanan aneh hasil pemaksaan inkulturasi, sehingga pia Cina tidak lagi berisi kacang merah, melainkan lelehan keju.
Ingatan saya melesat cepat pada penjual uli bakar yang berjejer di depan pasar Lembang. Akankah mereka dan uli-nya bernasib sama 20 tahun mendatang nanti?
Begitu pula dengan deretan pemanggang sate kelinci di sepanjang tanjakan Gunung Gede. Apakah atas nama higiene dan kemajuan teknologi pangan, lalu daging kelinci diolah jadi nugget dalam kemasan steril aluminium warna-warni, yang tahan sekian bulan di atas rak?