Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+

Kembang Api Tahun Baru Memang Seru, Tapi Awas Berbahaya bagi Kesehatan

Kompas.com - 31/12/2019, 21:00 WIB
Mahardini Nur Afifah,
Resa Eka Ayu Sartika

Tim Redaksi

KOMPAS.com - Perayaan tahun baru identik dengan pesta kembang api.

Pendar warna-warni cahayanya di langit gelap, disusul desingan suara kembang api memikat perhatian banyak orang.

Beberapa daerah juga punya tradisi merayakan tahun baru dengan pesta kembang api.

Kendati terlihat seru dan menyenangkan, namun menyalakan kembang api tidak boleh sembarangan.

Risiko cedera

World Health Organization (WHO) Filipina, lewat akun Twitter resminya @WHOPhilippines, Senin (30/12/2019), merilis imbauan agar pesta kembang api tidak membahayakan kesehatan.

Dari sejumlah pengalaman di negara setempat, kembang api biasanya berisiko menimbulkan cedera saat:

  1. Disulut anak-anak
  2. Mejan (melempem atau tidak dapat meletus) dan disulut ulang
  3. Dilempar
  4. Dipegang langsung dengan tangan, minim pengaman
  5. Kembang api disimpan di saku
  6. Disulut sembari mengonsumsi alkohol

WHO pun tidak menyarankan kita menyalakan kembang api tanpa dukungan profesional.

Baca juga: Sejumlah Daerah Larang Perayaan Tahun Baru Gunakan Kembang Api

Dampak kesehatan

Orang yang menyalakan kembang api maupun sekadar terpapar asap dan percikan kembang api, sama-sama punya risiko kesehatan. Berikut beberapa di antaranya:

1. Luka bakar

Melansir Kids Health, anak-anak merupakan kelompok paling rentan saat bermain kembang api.

Orang tua disarankan menjaga putra-putrinya dari paparan kembang api. Jaga jarak aman dengan sumber api.

Percikan kembang api suhunya dapat mencapai 982 derajat Celcius. Suhu tersebut dapat melelehkan emas atau logam.

Beberapa jenis kembang api juga mengandung bahan peledak. Bahan berbahaya tersebut dapat menyebabkan luka bakar serius.

2. Mencemari udara

Melansir laman resmi Departemen Kesehatan Filipina, pertunjukan kembang api mencemari udara sekitar.

Saat pertunjukan kembang api, kadar partikulat debu (suspended particulate matters/SPM),  seperti karbon monoksida, nitrogen oksida, sulfur dioksida, sampai hidrokarbon meningkat drastis.

Ibu hamil, anak-anak, dan pengidap asma kronis, merupakan golongan paling rentan terpapar polutan tersebut.

3. Sakit tenggorokan, hidung, dan mata

Tingginya kadar pencemaran udara selama pertunjukan kembang api dapat mengganggu kesehatan tenggorokan, hidung, dan mata.

Terkadang, paparan polutan tersebut juga dapat menyebabkan sakit kepala dan membuat orang tidak bisa berpikir jernih.

Dampak terpapar zat berbahaya dari kembang api jadi lebih parah pada orang dengan gangguan jantung, pernapasan, dan sistem saraf.

Selain itu, dampaknya juga tidak baik bagi orang yang memiliki alergi dingin dan batuk.

Kedua golongan ini rentan terserang ederma tenggorokan dan sesak napas.

Baca juga: Serba-serbi Tahun Baru, dari Dispensasi STNK hingga Larangan Pesta Kembang Api

4. Polusi suara

Kebisingan dari desing suara kembang api yang memekakkan telinga juga punya efek berbahaya bagi tubuh.

Telinga kita umumnya dapat menoleransi tingkat kebisingan standar 60 desibel pada siang hari, dan 50 desibel pada malam hari.

Kembang api yang suaranya terkadang mirip ledakan keras, intensitas suaranya mencapai 140 desibel.

Kebisingan di atas 85 desibel dapat merusak pendengaran.

Selain itu, peningkatan intensitas suara ekstrem dapat memicu kegelisahan, gangguan pendengaran sementara atau permanen, tekanan darah tinggi, dan gangguan tidur.

5. Gangguan saluran pernapasan

Paparan asap dan debu mikro kembang api juga dapat menyebabkan masalah di saluran pernapasan. Antara lain:

  • Bronkitis kronis atau alergi
  • Asma bronkial
  • Sinusitis
  • Rinitis
  • Radang paru-paru
  • Radang tenggorokan
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau