KOMPAS.com – Ketuban pecah dini atau premature rupture of memberanes (PROM) adalah salah satu penyebab komplikasi kehamilan yang dikhawatirkan oleh para tenaga medis.
Pasalnya, ketuban pecah dini berisiko membuat bayi lahir secara prematur.
Ketuban pecah dini dapat dipahami sebagai pecahnya selaput ketuban sebelum waktu persalinan dimulai.
Baca juga: 11 Tanda Awal Kehamilan yang Sering Tak Disadari, Termasuk Jerawat?
Kondisi ini dapat terjadi baik sebelum janin matang dalam kandungan atau di bawah 37 minggu usia kehamilan, maupun setelah janin matang.
Semakin awal terjadinya ketuban pecah pada masa kehamilan, maka bisa dianggap kondisi tersebut makin serius.
Melansir Buku Goresan Tangan Spesialis Kandungan (2014) oleh Dr HM Andalas, Sp.OG, peluang ketuban pecah dini dilaporkan sekitar 3 persen dari populasi wanita hamil.
Penyebab ketuba pecah dini sesungguhnya belum diketahui secara pasti.
Namun, ada dugaan bahwa infeksi dan peradangan selaput khorion menjadi salah satu penyebab kolagen yang menyusun dinding ketuban pecah.
Akibatnya, berisiko meningkatkan kesakitan pada bayi dan sang ibu, seperti:
Selain itu, beberapa kondisi berikut juga berisiko mengakibatkan ketuban pecah dini:
Baca juga: Mitos atau Fakta, Wanita Gemuk Susah Hamil?
Seorang ibu perlu memahami keluhan keluar cairan dari vagina, apakah akibat keputihan atau akibat ketuban yang pecah, sehingga bisa cepat mencari pertolongan untuk penanganan.
Ibu hamil juga perlu bisa membedakan air ketuban dengan urine.
Melansir Buku 9 Bulan Menjalani Kehamilan & Persalinan yang Sehat (2019) oleh dr. Irfan Rahmatullah, Sp.OG dan dr. Nurcholid Umam Kurniawan, M.Sc. Sp.A, saat menginjak minggu-minggu terakhir masa kehamilan, terkadang air ketuban bisa saja mulai merembes dari jalan lahir meski perkiraan lahirnya masih lama.
Air ketuban pada kondisi yang disebut sebagai ketuban pecah dini ini bisa keluar tiba-tiba dengan jumlah yang bervariasi atau bisa juga keluarnya hanya seperti rembesan air yang mengalir.
Di akhir masa kehamilan, wanita hamil juga sering sulit menahan keluarnya kencing.
Sehingga terkadang sulit membedakan air yang keluar air ketuban atau urine yang memang tidak bisa ditahan.
Jika mengalami hal ini, sebaiknya segera Anda bedakan air tersebut.
Air ketuban keluar tidak terasa, warnanya jernih dan tidak berbau.
Sedangkan urine, kadang sama-sama keluar tanpa disadari, tetapi warnanya kuning tidak jernih dan tentunyai berbau khas.
Baca juga: Benarkah Ejakulasi Dini Bikin Pasangan Sulit Hamil?
Jika ragu, ada baiknya ibu hamil segera kontrol ke dokter dan tanyakan gejala yang dialami.
Namun secara umum, tanda khas ketuban pecah adalah keluar cairan secara tiba-tiba, terus berlanjut dan penderita merasa basah tanpa mempunyai kemampuan untuk menghentikannya.
Pemeriksaan sederhana yang bisa dilakukan untuk menentukan apakah cairan tersebut berasal dari ketuban pecah atau bukan adalah dengan melihat langsung menggunakan bantuan speculum, alat untuk memeriksa mulut rahim.
Sedangkan secara laboratorik, cairan ketuban tersebut bisa ditentukan dengan tes kertas nitrazin atau lebih dikenal dengan kertas lakmus.
Warna kertas lakmus akan berubah menjadi biru apabila cairan ketuban.
Pemeriksaan dengan kertas lakmus bisa dilakukan secara mandiri.
Penanganan yang dilakukan selama ini oleh para ahli dalam menghadapi kasus ketuban pecah dini adalah dengan memperlambat bayi lahir dan melakukan persiapan pematangan paru bayi jika kelahiran tak bisa dihindari.
Baca juga: 9 Jenis Vitamin dan Mineral yang Disarankan untuk Ibu Hamil
Pada umumnya, persalinan terjadi dalam sepekan, sedikit yang bisa bertahan sampai 4 minggu.
Jika dipertahankan terlalu lama, akan berisiko timbul infeksi terhadap bayi dan ibu, bahkan sampai menimbulkan kecacatan bagi bayi yang dikandung.
Salah satu faktor penyebab adalah akibat cairan ketuban berkurang atau kering, sehingga peran cairan ketuban sebagai tempat aktivitas gerak bayi tidak ada lagi.
Alhasil, badan bayi tetap dalam posisi kontraktur atau terdesak pada satu posisi.
Namun, untuk kasus kehamilan di bawah 28 minggu dengan ketuban pecah dini atau sebelum waktunya, setelah dilakukan persiapan pematangan paru, disarankan bayi dilahirkan saja.
Hal ini diperlukan untuk menghindarkan risiko komplikasi yang akan terjadi.
Sementara, untuk mencegah infeksi, dokter juga akan memberikan antibioik.
Di negara-negara maju, bayi yang lahir dengan berat di bawah 1.000 gram atau di bawah 7 bulan kehamilan, akan dirawat dengan cara mengisi kembali cairan ketuban yang hilang tadi dengan cairan lain yang mirip.
Pengisiannya setiap 24 jam, tergantung pada jumlah cairan yang tersisa, sampai bayi dianggap layak dilahirkan.
Baca juga: Apakah Sperma Sering Tumpah Bisa Jadi Penyebab Sulit Hamil?
Mengingat ada begitu banyak risiko yang bisa muncul akibat ketuban pecah dini, setiap ibu hamil perlu mewaspadai kondisi tersebut.
Beberapa kelompok ibu hamil bahkan sangat dianjurkan untuk dapat mewasapdai ketuban pecah dini, seperti:
Bagi kelompok tersebut, alangkah baiknya konsultasi ke dokter untuk mendapat nasihat dalam merawat kehamilan dan pengobatan bila ada infeksi penyakit menular seksual.
Bagi seseorang yang mengalami ketuban pecah berulang akibat mulut rahim lemah, akan dilakukan penjahitan mulut rahim saat usia kehamilan 4-5 bulan dan jahitan akan dibuka jika waktu persalinan tiba.
Baca juga: 14 Makanan yang Mengandung Asam Folat Tinggi
Sebaiknya, bagi kelompok yang berisiko harus melakukan koreksi demi mencegah ketuban pecah awal.
Sedangkan bagi yang mempunyai riwayat mulut rahim lemah sebaiknya kurangi aktivitas yang berlebihan saat kehamilan memasuki usia 9 bulan, bila perlu mengambil cuti hamil sejak sebulan terakhir.
Dengan adanya pengenalan faktor risiko ketuban pecah dini, diharapkan dapat menekan kejadian bayi lahir secara prematur dan menekan angka kesakitan dan kematian bayi.
Tidak ada hal khusus yang dapat dilakukan untuk mencegah ketuban pecah dini
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.