KOMPAS.com – Gizi buruk adalah salah satu hal yang menjadi masalah global, termasuk di Indonesia.
Pemenuhan gizi yang belum tercukupi baik sejak dalam kandungan hingga bayi lahir, dapat menyebabkan terjadinya berbagai masalah kesehatan, baik pada ibu maupun bayinya.
Salah satu gangguan kesehatan yang berdampak pada bayi atau anak adalah stunting atau tubuh pendek akibat kurang gizi kronik.
Baca juga: 8 Bahaya Suka Marah untuk Kesehatan Fisik
Tak ada satu pun penelitian yang menyatakan bahwa keturunan memegang faktor yang lebih penting daripada gizi dalam hal pertumbuhan fisik anak.
Hal ini bisa menangkal persepsi masyarakat yang pada umumnya menganggap pertumbuhan fisik sepenuhnya dipengaruhi faktor keturunan.
Pemahaman keliru itu kerap menghambat sosialisasi pencegahan stunting yang semestinya dilakukan dengan upaya mencukupi kebutuhan gizi sejak anak dalam kandungan hingga usia 2 tahun.
Pada 2018, 3 dari 10 balita di Indonesia dilaporkan mengalami stunting atau memiliki tinggi badan lebih rendah dari standar usianya.
Kondisi ini jelas perlu diwaspadai.
Tak hanya bertubuh pendek, efek domino pada balita yang mengalami stunting bisa lebih kompleks.
Baca juga: 14 Makanan yang Mengandung Vitamin C Tinggi
Selain persoalan fisik dan perkembangan kognitif, balita stunting juga berpotensi menghadapi persoalan lain di luar itu.
Stunting bukan berarti gizi buruk yang ditandai dengan kondisi tubuh anak yang begitu kurus.
Faktanya, yang sering kali terjadi, anak yang mengalami stunting tidak terlalu kentara secara fisik.
Anak atau balita stunting pada umumnya terlihat normal dan sehat.
Namun, jika ditelisik lebih jauh ada aspek-aspek lain yang justru jadi persoalan.
Di mana, anak yang mengalami stunting cenderung memiliki sistem metabolisme tubuh yang tidak optimal.