“Setelah anak saya didiagnosis mengalami stunting, ada perhatian lebih dari kader Posyandu dan juga puskesmas. Hal ini jelas sangat membantu kami,” tutur dia.
Baca juga: 17 Makanan yang Mengandung Protein Tinggi
Kabid Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Ida Angklaita, tidak menutup mata pandemi pasti akan memengaruhi angka kejadian stunting di Solo yang selama ini sudah tergolong rendah.
Karena pandemi ini mau tidak mau telah membuat banyak keluarga kehilangan pekerjaan atau mengganggu pendapat. Artinya, pandemi Covid-19 lebih jauh bisa juga memengaruhi konsumsi anak dan ibu hamil.
Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya telah berhasil menekan prevalensi angka kejadian stunting pada bayi di bawah dua tahun (baduta) tidak lebih dari 5 persen.
DKK Solo mencatat angka kejadian stunting baduta pada 2018 hanya mencapai sekitar 3,2 persen atau ditemukan 358 baduta yang mengalami stunting.
Sementara, pada 2019, prevalensi baduta stunting di Solo turun sebanyak 1,81 persen menjadi 1,39 persen. Pada tahun tersebut, terhitung ada sekitar 319 baduta dengan stunting.
Sedangkan pada 2020 , prevalensi angka kejadian stunting baduta naik sedikit menjadi 1,76 persen. Tapi, dari segi jumlah, baduta dengan stunting pada 2020 masih tergolong lebih rendah ketimbang pada 2019, yakni ada 306 baduta yang didiagnosis stunting.
Untuk kategori bayi usia di bawah 5 tahun (balita), DKK mencatat, prevalensi angka kejadian stunting balita pada 2020 masih tidak lebih dari 10 persen, tepatnya 8,45 persen atau ada sekitar 1.015 balita dengan stunting. Menurut Ida, angka ini tidak masih terpaut jauh dari kondisi tahun-tahun sebelumnya.
Dia menyebut, pandemi Covid-19 memang belum begitu memengaruhui angka kejadian stunting di Solo dalam setahun terakhir. Itu karena stunting merupakan kekurangan gizi dalam jangka waktu panjang yang menyebabkan tinggi anak sulit bertambah hingga kerdil.
Angka stunting melainkan mungkin baru akan naik secara signifikan setahun atau dua tahun ke depan jika tidak ditanggulangi dari sekarang.
Baca juga: Kenali 9 Tanda Bahaya pada Bayi Baru Lahir
Terlebih lagi, DKK menemukan angka kasus kurang gizi (wasting) di Solo pada 2020 meningkat dari 2019. Kurang gizi adalah salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak.
DKK mencatat prevalensi angka kejadian wasting balita pada 2019 mencapai 0,89 persen dengan jumlah 291 balita.
Sementara, pada 2020, prevalensi kejadian kurang gizi pada balita naik menjadi 1,2 persen atau sejumlah 343 balita.
Oleh sebab itu, DKK tidak mau tinggal diam untuk mencegah lonjakan angka stunting di kemudian hari.
Menurut Ida, DKK sudah mulai kembali menggelar koordinasi baik di internal maupun dengan sejumlah pihak lain untuk membatas langkah penanganan stunting di tengah pandemi.
DKK salah satunya telah meminta kepada para petugas kesehatan di puskesmas untuk tidak berhenti memantau tumbuh kembang anak dan ibu hamil di wilayah kerja masing-masing dengan berbagai cara.
Dengan adanya pandemi ini, DKK telah mengingatkan kepada puskesmas maupun fasilitas kesehatan (faskes) swasta jangan terus-terusan hanya berkutat dengan Covid-19. Persoalan stunting juga perlu diperhatikan.
Stunting bukan hanya berdampak pada perkembangan fisik anak, tapi juga kognitif.
Maka dari itu, peningkatan prevalensi stunting ini sebisa mungkin harus dapat ditekan karena berpotensi menyia-nyiakan bonus demografi di Indonesia yang mencapai puncaknya pada 2030.
Untuk di puskesmas, DKK juga mendorong agar tidak ada pengurangan anggaran dalam penyelenggaraan program PMT di tengah pandemi.
Anak-anak yang masuk kategori gizi kurang secara otomatis harus diikutkan dalam program PMT untuk meningkatkan angka kecukupan gizi.
Dana PMT per anak gizi kurang dan ibu hamil dari puskesmas telah disiapkan Rp15.000 per hari. Anggaran ini sejak dulu telah di-breakdown DKK ke masing-masing puskesmas karena jumlah balita di tiap wilayah berbeda.
“Kami tetap menjalankan program PMT selama pandemi ini. PMT (makanan) dari puskesmas nanti diberikan seminggu atau 10 hari sekali. Pemeriksaan kehamilan juga tetap berjalan untuk mencegah stunting ini,” jelas Ida.
Lewat puskesmas, DKK hingga saat ini juga tidak berhenti melakukan program suplementasi tablet tambah darah (TTD) dengan sasaran remaja putri sebagai upaya dini mencegah stunting pada generasi selanjutnya.
Pemberian TTD kepada remaja putri dilakukan untuk meminimalisasi perempuan usia muda mengalami anemia.
Baca juga: Anemia Defisiensi Besi pada Anak: Penyebab, Cara Mengetahui, dan Mencegah
Pasalnya, apabila seorang remaja putri menderita anemia dan kemudian hamil, maka akan lebih berpotensi melahirkan bayi stunting atau berat badan lahir rendah (BBLR). Kondisi ini disebabkan karena kurangnya suplai oksigen dan makanan ke janin selama masa kehamilan.
Terkait dengan pelaksanaan Posyandu, DKK tidak bisa memaksa para kader untuk dapat kembali mengadakan kegiatan di wilayah. Ini karena mempertimbangkan keamanan di tengah pandemi. Kegiatan posyandu dapat disesuaikan dengan kondisi daerah sekitar kader.
Menurut Ida, peran posyandu di masyarakat ini sebenarnya sangat penting untuk mendeteksi pertumbuhan anak dalam mencegah kasus gizi buruk yang berdampak pada stunting.
Jika tidak dilakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan di posyandu setiap bulan lagi, deteksi anak dengan gizi kurang dan stunting bisa terlambat.
Kegiatan posyandu juga mencakup penyuluhan kepada ibu hamil dan orang tua balita terkait pemenuhan gizi seimbang yang penting untuk mencegah kejadian stunting.
Selain itu, Posyandu diperlukan untuk memberikan layanan lain seperti imunisasi, vitamin A, dan suplementasi zinc untuk mencegah penyakit.
Ibu hamil juga bisa memperoleh pelayanan kesehatan di posyandu, termasuk tablet tambah darah untuk mencegah anemia yang berhubungan pula dengan risiko anak lahir dengan stunting.
“Kami sendiri sudah memperbolehkan (posyandu diadakan lagi secara langsung), tapi ini harus menyesuaikan dengan kondisi di lingkungan dan tentu penerapan prokes yang ketat. Untuk sekarang, kami lihat kebanyakan posyandu masih door-to-door,” tutur Ida.
DKK berharap belum optimalnya penyelenggaraan Posyandu maupun pelayanan kesehatan di Puskesmas selama pandemi ini dapat disiasati masing-masing keluarga dengan penerapan hidup bersih dan sehat.
“Jika posyandu belum melakukan pelayanan saat pandemi, para orang tua bisa pantau tumbuh kembang anak secara mandiri dengan panduan buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak),” imbau Ida.
Para orang tua juga disarankan tidak ragu segera menghubungi kader kesehatan atau fasilitas kesehatan apabila anak dirasa membutuhkan pelayanan medis, seperti mengalami penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, maupun menderita masalah kesehaan lainnya. Ini penting guna mencegah kondisi lebih parah terjadi pada anak.
Baca juga: 7 Gejala Hipoglikemia pada Bayi Baru Lahir dan Penyebabnya
Ida menjelaskan bahwa ada 4 faktor yang memengaruhi derajat kesehatan seseorang, yakni gaya hidup (perilaku), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan).
Keempat determinan ini saling berinteraksi dan memengarahui status kesehatan seseorang, termasuk terkait dengan stunting.
Artinya, kata dia, DKK tidak mungkin mampu sendirian dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan ini.
Dalam upaya mengatasi masalah gizi, khususnya persoalan stunting pada anak, diperlukan peran lintas sektoral karena hal tersebut disebabkan oleh faktor multidimensi.
Dia menuturkan, dalam menangani kasus stunting dan gizi buruk, ada dua upaya intervesi gizi yang dilakukan oleh Pemerintah kota (Pemkot), yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik adalah langkah intervensi ang berkaitan langsung dengan stunting atau bersifat kesehatan. Misalnya, pemantapan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai pembuahan di dalam rahim ibu sampai anak berusia 2 tahun yang selama ini sudah dikerjakan DKK.
Nah, Ida menyebut, berdasarkan teori, intervensi gizi spesifik atau oleh kesehatan ini pada kenyatannya hanya berkontribusi sebanyak 20 persen dalam keberhasilan mencegah terjadinya stunting dan gizi buruk di Solo.
Di mana, intervensi sensitif yang tidak berkaitan langsung dengan sasaran stunting justru punya kontribusi dominan sampai 80 persen.
Dia mengklaim, hal ini sudah disadari oleh segenap organisasi perangkat daerah di lingkungan Pemkot, sehingga isu stunting telah menjadi perhatian bersama.
Sebagai contoh, beberapa OPD lain dirasa sudah secara optimal juga dalam menyelenggarakan program dengan tujuan peningkatan kemampun pendapatan warga atau orang tua kurang mampu, termasuk di masa pendemi ini.
Ida mengatakan, pelaksanaan program ini penting karena kasus anak stunting di Solo teridentifikasi kebanyakan datang dari keluarga miskin.
DKK mungkin bisa saja memberikan makanan tambahan kepada anak-anak dari keluarga miskin guna mendukung asupan gizi mereka. Tapi, DKK rasanya hanya bisa melakukan hal itu dalam kurun waktu tertentu.
Jadi, butuh intervensi dari OPD terkait untuk membantu penguatan ekonomi keluarga.
“Apakah bisa seumur hidup anak ini akan mengandalkan PMT? Kan enggak. Jadi keluarga diharapkan bisa berdaya,” kata Ida.
Dia mencontohkan beberapa program lain di luar DKK yang sangat berperan dalam keberhasilan penanganan stunting di Solo selama ini, yakni penguatan ketahanan pangan keluarga oleh DispertanKPP, pusat pembelajaran anak dan keluarga (Puspaga) hingga pelatihan keterampilan perempuan dari DP3APM, promosi KB oleh DPPKB, hingga penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik oleh DPU, DisperumKPP, maupun Perumda Air Minum (PDAM) Toya Wening.
“Pada 2019, Kota Solo sendiri sudah declare untuk bebas BABS (buang air besar sembarangan), karena kondisi sanitasi lingkugan juga mendukung pencegahan stunting,” jelas Ida.
Baca juga: 16 Cara Mengatasi Sakit Perut Secara Alami dan dengan Bantuan Obat
Kepala Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Solo, Purwanti, menyadari penanganan stunting memang tidak bisa dilakukan hanya dari sektor kesehatan.
Semua pihak harus turun tangan dalam upaya menyiapkan generasi emas Indonesia di masa depan.