SOLO, KOMPAS.com - Sudah lebih dari setahun Trika Mariyana, 28, tidak mengetahui secara pasti berat badan putri keduanya yang masih berusia di bawah 5 tahun (balita). Ini karena kegiatan pos pelayanan terpadu (posyandu) di lingkungan tempat tinggalnya masih diliburkan sejak awal pandemi Maret 2020 hingga April 2021.
Trika selama ini mengandalkan bantuan kader posyandu untuk memantau tumbuh kembang buah hatinya setiap bulan. Tapi, kini tidak bisa demikian. Kegiatan Posyandu diputuskan ditiadakan dulu sementara demi keamanan bersama di tengah pandemi.
Warga RT 004/RW 005 Kelurahan Nusukan, Banjarsari ini pun tak punya alat timbangan sendiri untuk mengukur berat badan putrinya, Salsakila Henka Fristya. Di lain sisi, Trika merasa sungkan jika harus meminjam alat timbangan ke kader Posyandu.
Sebagai ibu, dia sebenarnya khawatir dengan kondisi kesehatan putrinya yang belum juga diketahui berat badannya. Terlebih lagi, saat terakhir kali ditimbang pada Februari 2020, berat badan Salsakila terbilang rendah.
Untuk anak usia 1 tahun 11 bulan pada saat itu, dia baru memiliki berat badan 8,2 kg. Padahal pada usia tersebut, anak perempuan idealnya sudah bisa memiliki berat badan 8,9 - 14,6 kg. Trika juga merasa selama pandemi ini dirinya tak mampu memberikan asupan gizi terbaik untuk anak-anaknya.
"Jelas ada kekhawatiran di kami, jangan-jangan berat badan Salsakila turun dan nanti terjadi apa-apa pada dirinya," kata dia saat berbincang dengan Kompas.com di rumahnya, Kamis (1/4/2021).
Akibat pandemi, pendapatan keluarga Trika mengalami penurunan drastis. Hal itu terjadi setelah sang suami, Muhammad Suhendro, 26, sebagai satu-satunya pencari nafkah, memutuskan untuk tidak lagi bekerja sebagai nelayan di Semarang, Jawa Tengah.
Suhendro memilih pulang kampung karena daya beli ikan di masyarakat terus merosot, begitu juga dengan harga tangkapan selama pandemi.
Baca juga: Jangan Dibuang, Kolostrum Bisa Bantu Cegah Stunting pada Bayi
Suhendro sekarang bekerja serabutan dengan penghasilan rata-rata yang jauh lebih sedikit ketimbang saat masih jadi nelayan.
Sebagai akibat, Trika pun sekarang tidak bisa membeli bahan makanan sehari-hari seperti sediakala. Jika dulu dia punya Rp50.000 untuk mencukupi kebutuhan makan keluarga per hari, kini hanya Rp20.000.
"Sekarang terpaksanya ya makan untuk anak-anak juga sering kali cuma pakai tahu-tempe lauknya. Untuk beli telur apalagi daging, kami sekarang agak kesulitan," tutur dia.
Selain berat badan Salsakila, Trika hingga kini belum tahu juga berapa tinggi badan putrinya itu. Dia dan suami sebenarnya sempat kepikiran untuk menimbang berat badan dan mengukur tinggi badan Salsakila ke puskesmas.
Namun, pada akhirnya, Trika dan Suhendro mengurungkan niatnya tersebut karena takut tertular atau malah terdiagnosis Covid-19 ketika harus menyambangi fasilitas kesehatan. Apalagi, Trika dan Salsakila sempat beberapa kali mengalami demam.
“Sebenarnya kalau periksa ke puskesmas, soal bayar, kami tidak apa-apa karena relatif terjangkau. (Tapi) kami tidak jadi ke puskesmas, lebih karena khawatir virus corona. Ya takut tertular, takut juga sudah terkena,” kata Trika.
Salsakila hingga kini belum terdaftar sebagai peserta BPJS Kesehatan, sehingga harus membayar jika berobat ke puskesmas.
Trika berharap dalam waktu dekat kegiatan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan oleh kader Posyandu dapat dilaksanakan kembali.
Meski sama-sama khawatir dengan penularan virus corona, dia merasa lebih nyaman jika bertemu dengan kader Posyandu daripada harus mendatangi puskesmas.
Menurut dia, sejak November 2020, kader Posyandu RW 005 Nusukan sebenarnya sudah keliling ke rumah-rumah warga yang memiliki balita. Tapi, kader datang hanya untuk memberikan makanan tambahan.
Kader tidak melakukan penimbangan berat badan maupun mengukur tinggi badan anak.
“Saya mau bilang langsung (minta bantuan timbang berat badan dan ukur tinggi badan) tidak enak hati. Sudah mau datang untuk memberikan PMT saja, saya berterima kasih banyak kepada ibu-ibu Posyandu,” ujar Trika.
Ketua Posyandu RW 005 Nusukan, Muliawati, 60, membenarkan jika kegiatan Posyandu di RW 005 belum bisa dilaksanakan seperti sedia kala karena pandemi. Menurut dia, pemantauan ibu hamil dan anak balita sementara dilakukan melalui grup RT.
Muliawati menuturkan, untuk mengurangi risiko penularan virus corona, kader Posyandu memang memutuskan belum mengarahkan perwakilan RT melakukan penimbangan.
Baca juga: 6 Bahaya Obesitas pada Anak yang Perlu Diwaspadai
Sebagai upaya mengantisipasi kejadian gizi buruk dan stunting, pengurus Posyandu pada akhirnya menyarankan seluruh pengurus RT agar dapat menyiapkan makanan bergizi melalui program Pemberian Makanan Tambahan (PMT) untuk dibagikan kepada semua balita di wilayah masing-masing.
Muliawati menyampaikan, pertimbangan pengurus Posyandu belum melakukan penimbangan juga atas dasar dari aspirasi warga.
Ketika dimintai pendapat, menurut dia, ada cukup banyak orang tua yang merasa takut jika harus bertemu dalam durasi yang lama dengan para kader Posyandu untuk penimbangan. Para orang tua lebih khawatir lagi jika kegiatan Posyandu dikumpulkan dalam satu tempat.
“Saat pembagian PMT saja, beberapa orang tua terlihat ada yang masih takut-takut bertemu dengan pengurus Posyandu atau perwakilan RT. Anak-anak tidak dikeluarkan, jadi kami tidak tahu seperti apa di dalam,” kata dia.
Muliawati menambahkan pengurus Posyandu setidaknya sudah mewanti-wanti kepada perwakilan RT agar dapat memberi tahu warga jangan menunda pergi ke puskesmas jika mencurigai anak memiliki masalah kesehatan.
Dia meminta perwakilan RT untuk bisa memberikan jaminan kepada warga bahwa puskesmas telah menerapkan ketat protokol kesehatan sehingga meminimalkan risiko penularan Covid-19.
Semua petugas dipastikan memakai Alat Pelindung Diri (APD) lengkap, tempat duduk pengunjung juga berjarak untuk meminimalkan kontak fisik.
“Harapannya warga tidak lagi terlalu takut untuk pergi ke puskesmas, yang penting kan tetap pakai masker dan rajin cuci tangan. Kalau masih takut, silakan tidak apa-apa bilang ke kader. Nanti kami bantu komunikasikan dengan petugas kesehatan,” ujar dia.
Muliawati sudah memiliki rencana untuk kembali menggelar kegiatan Posyandu di RW 005 Nusukan dengan sistem pertemuan skala kecil pada Juni mendatang. Pada kesempatan itu, kader Posyandu rencanya akan mulai menimbang lagi berat badan balita.
Untuk meminimalisir kerumuman besar, dia berencana mengundang orang tua balita secara bergantian tiap RT. Tapi rencana ini masih mungkin berubah atau batal karena harus melihat situasi dan kondisi di tengah pandemi.
Berbeda dengan di RW 005 Nusukan, kader Posyandu di RW 008 Nusukan kini sudah mulai menimbang berat badan balita di wilayah mereka.
Kader Posyandu RW 008 pertama kali kembali melakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan balita pada Agustus 2020 dengan berkunjung dari rumah ke rumah warga.
Baca juga: 5 Tips Aman Pergi ke Dokter Gigi Saat Pandemi Covid-19
Kader berani menggelar kegiatan Posyandu lagi karena menganggap perlu segera dilakukan pemantauan tumbuh kembang anak. Lagi pula, situasi di lapangan dianggap sudah mendukung.
Para kader memastikan tidak ada lagi penemuan kasus Covid-19 di RW 008 dan banyak masyarakat sudah lebih melek protokol kesehatan (prokes).
Benar saja, ketua Posyandu RW 008 Nusukan, Siti Suwarni, 58, menyebut hasil penimbangan berat badan balita di RW 008 pada saat itu sesuai dengan prediksi yang menjadi kekhawatiran bersama para kader.
Di mana, persentase jumlah anak yang tidak mengalami kenaikan berat badan kala itu lebih banyak daripada saat dilakukan penimbangan berat badan sebelum pandemi.
Kader Posyandu RW 008 Nusukan pada Agustus 2020 menemukan25 persen atau ada 28 dari 110 balita yang tidak mengalami penambahan berat badan atau malah turun saat dilakukan kegiatan Posyandu dengan berkunjung dari rumah ke rumah.
“25 persen itu termasuk banyak ya. Dulu (sebelum pandemi), biasanya paling tidak cuma 10 persen anak yang enggak naik dan turun berat badannya,” kata Siti.
Melihat situasi ini, kader Posyandu RW 008 Nusukan pun langsung bergerak menggalakan program PMT bergizi untuk anak-anak.
Kader Posyandu bekerja sama dengan pengurus RT kemudian secara rutin memberikan PMT sebulan sekali kepada anak-anak, khususnya yang tidak mengalami kenaikan berat badan dan turun. Upaya ini dilakukan untuk mencegah kejadian gizi kurang hingga stunting.
Siti menyampaikan, berdasarkan hasil analisis kader Posyandu RW 008 Nusukan lebih jauh terhadap kondisi balita pada Agustus lalu, ditemukan bahwa ada 5 anak yang mengalami gizi kurang dan 3 anak didiagnosis stunting.
“Dari pemantauan door-to-door ketahuan ada 5 anak yang mengalami gizi kurang dan 3 anak dengan stunting. Temuan ini sudah kami laporkan ke puskemas,” jelas Siti.
Dia menyebut, kader Posyandu mengklasifikan anak mengalami gizi kurang ketika berat badan mereka turun sampai di garis kuning dalam waktu yang relatif singkat.
Sedangkan, indikasi stunting yakni berat badan anak tidak naik selama lebih dari dua bulan dan tinggi badan pendek atau sangat pendek.
Salah seorang anak di RW 008 Nusukan yang didiagnosis mengalami stunting yaitu Nafizah Faisah. Pada April ini, dia genap berusia 4 tahun.
Pada usia 4 tahun, Nafizah seharusnya sudah memiliki berat badan 12,3-21,5 kg dan tinggi badan 94,1-111,3 cm. Tapi, yang terjadi, anak perempuan ini hanya memiliki berat badan 11,6 kg dan tinggi badan lebih kurang 90 cm.
Baik berat badan maupun tinggi badan Nafizah tidak mengalami kenaikan dalam beberapa bulan terakhir. Jika berat badannya naik, itu hanya sedikit dan biasanya turun lagi.
Sang ibu, Nunik Kristiani, 41, mengaku sudah mencoba semaksimal mungkin untuk dapat membuat tinggi badan dan berat badan Nafiza naik. Dia tidak lagi membiarkan anaknya makan hanya ketika lapar. Nunik juga lebih mendisiplinkan lagi jam makan Nafizah.
Tapi memang, selama pandemi ini, dia agak terkendala dalam upaya memberikan lebih banyak makanan sehat kepada putri ketiganya itu, seperti buah-buahan dan daging-dagingan sebagai sumber protein berkualitas.
Hal itu terjadi karena Nunik harus menyesuaikan dengan pendapatan suaminya yang turun terdampak wabah virus corona.
“Sekarang sudah dibantu oleh pengurus Posyandu dan petugas kesehatan dari Puskesmas. Saya diberi jatah PMT untuk bisa dikonsumsi adik (Nafizah) seminggu sekali,” kata dia.
Nunik bercerita belum lama ini petugas kesehatan dari Puskesmas Nusukan juga datang ke rumahnya untuk mengambil sampel air yang dipakai untuk keperluan konsumsi sehari-hari. Hal itu dilakukan untuk memastikan penyebab stunting pada Nafizah.
“Setelah anak saya didiagnosis mengalami stunting, ada perhatian lebih dari kader Posyandu dan juga puskesmas. Hal ini jelas sangat membantu kami,” tutur dia.
Baca juga: 17 Makanan yang Mengandung Protein Tinggi
Kabid Kesehatan Masyarakat (Kesmas) Dinas Kesehatan Kota (DKK) Solo, Ida Angklaita, tidak menutup mata pandemi pasti akan memengaruhi angka kejadian stunting di Solo yang selama ini sudah tergolong rendah.
Karena pandemi ini mau tidak mau telah membuat banyak keluarga kehilangan pekerjaan atau mengganggu pendapat. Artinya, pandemi Covid-19 lebih jauh bisa juga memengaruhi konsumsi anak dan ibu hamil.
Kota Solo dalam beberapa tahun terakhir sebenarnya telah berhasil menekan prevalensi angka kejadian stunting pada bayi di bawah dua tahun (baduta) tidak lebih dari 5 persen.
DKK Solo mencatat angka kejadian stunting baduta pada 2018 hanya mencapai sekitar 3,2 persen atau ditemukan 358 baduta yang mengalami stunting.
Sementara, pada 2019, prevalensi baduta stunting di Solo turun sebanyak 1,81 persen menjadi 1,39 persen. Pada tahun tersebut, terhitung ada sekitar 319 baduta dengan stunting.
Sedangkan pada 2020 , prevalensi angka kejadian stunting baduta naik sedikit menjadi 1,76 persen. Tapi, dari segi jumlah, baduta dengan stunting pada 2020 masih tergolong lebih rendah ketimbang pada 2019, yakni ada 306 baduta yang didiagnosis stunting.
Untuk kategori bayi usia di bawah 5 tahun (balita), DKK mencatat, prevalensi angka kejadian stunting balita pada 2020 masih tidak lebih dari 10 persen, tepatnya 8,45 persen atau ada sekitar 1.015 balita dengan stunting. Menurut Ida, angka ini tidak masih terpaut jauh dari kondisi tahun-tahun sebelumnya.
Dia menyebut, pandemi Covid-19 memang belum begitu memengaruhui angka kejadian stunting di Solo dalam setahun terakhir. Itu karena stunting merupakan kekurangan gizi dalam jangka waktu panjang yang menyebabkan tinggi anak sulit bertambah hingga kerdil.
Angka stunting melainkan mungkin baru akan naik secara signifikan setahun atau dua tahun ke depan jika tidak ditanggulangi dari sekarang.
Baca juga: Kenali 9 Tanda Bahaya pada Bayi Baru Lahir
Terlebih lagi, DKK menemukan angka kasus kurang gizi (wasting) di Solo pada 2020 meningkat dari 2019. Kurang gizi adalah salah satu faktor risiko kejadian stunting pada anak.
DKK mencatat prevalensi angka kejadian wasting balita pada 2019 mencapai 0,89 persen dengan jumlah 291 balita.
Sementara, pada 2020, prevalensi kejadian kurang gizi pada balita naik menjadi 1,2 persen atau sejumlah 343 balita.
Oleh sebab itu, DKK tidak mau tinggal diam untuk mencegah lonjakan angka stunting di kemudian hari.
Menurut Ida, DKK sudah mulai kembali menggelar koordinasi baik di internal maupun dengan sejumlah pihak lain untuk membatas langkah penanganan stunting di tengah pandemi.
DKK salah satunya telah meminta kepada para petugas kesehatan di puskesmas untuk tidak berhenti memantau tumbuh kembang anak dan ibu hamil di wilayah kerja masing-masing dengan berbagai cara.
Dengan adanya pandemi ini, DKK telah mengingatkan kepada puskesmas maupun fasilitas kesehatan (faskes) swasta jangan terus-terusan hanya berkutat dengan Covid-19. Persoalan stunting juga perlu diperhatikan.
Stunting bukan hanya berdampak pada perkembangan fisik anak, tapi juga kognitif.
Maka dari itu, peningkatan prevalensi stunting ini sebisa mungkin harus dapat ditekan karena berpotensi menyia-nyiakan bonus demografi di Indonesia yang mencapai puncaknya pada 2030.
Untuk di puskesmas, DKK juga mendorong agar tidak ada pengurangan anggaran dalam penyelenggaraan program PMT di tengah pandemi.
Anak-anak yang masuk kategori gizi kurang secara otomatis harus diikutkan dalam program PMT untuk meningkatkan angka kecukupan gizi.
Dana PMT per anak gizi kurang dan ibu hamil dari puskesmas telah disiapkan Rp15.000 per hari. Anggaran ini sejak dulu telah di-breakdown DKK ke masing-masing puskesmas karena jumlah balita di tiap wilayah berbeda.
“Kami tetap menjalankan program PMT selama pandemi ini. PMT (makanan) dari puskesmas nanti diberikan seminggu atau 10 hari sekali. Pemeriksaan kehamilan juga tetap berjalan untuk mencegah stunting ini,” jelas Ida.
Lewat puskesmas, DKK hingga saat ini juga tidak berhenti melakukan program suplementasi tablet tambah darah (TTD) dengan sasaran remaja putri sebagai upaya dini mencegah stunting pada generasi selanjutnya.
Pemberian TTD kepada remaja putri dilakukan untuk meminimalisasi perempuan usia muda mengalami anemia.
Baca juga: Anemia Defisiensi Besi pada Anak: Penyebab, Cara Mengetahui, dan Mencegah
Pasalnya, apabila seorang remaja putri menderita anemia dan kemudian hamil, maka akan lebih berpotensi melahirkan bayi stunting atau berat badan lahir rendah (BBLR). Kondisi ini disebabkan karena kurangnya suplai oksigen dan makanan ke janin selama masa kehamilan.
Terkait dengan pelaksanaan Posyandu, DKK tidak bisa memaksa para kader untuk dapat kembali mengadakan kegiatan di wilayah. Ini karena mempertimbangkan keamanan di tengah pandemi. Kegiatan posyandu dapat disesuaikan dengan kondisi daerah sekitar kader.
Menurut Ida, peran posyandu di masyarakat ini sebenarnya sangat penting untuk mendeteksi pertumbuhan anak dalam mencegah kasus gizi buruk yang berdampak pada stunting.
Jika tidak dilakukan penimbangan berat badan dan pengukuran tinggi badan di posyandu setiap bulan lagi, deteksi anak dengan gizi kurang dan stunting bisa terlambat.
Kegiatan posyandu juga mencakup penyuluhan kepada ibu hamil dan orang tua balita terkait pemenuhan gizi seimbang yang penting untuk mencegah kejadian stunting.
Selain itu, Posyandu diperlukan untuk memberikan layanan lain seperti imunisasi, vitamin A, dan suplementasi zinc untuk mencegah penyakit.
Ibu hamil juga bisa memperoleh pelayanan kesehatan di posyandu, termasuk tablet tambah darah untuk mencegah anemia yang berhubungan pula dengan risiko anak lahir dengan stunting.
“Kami sendiri sudah memperbolehkan (posyandu diadakan lagi secara langsung), tapi ini harus menyesuaikan dengan kondisi di lingkungan dan tentu penerapan prokes yang ketat. Untuk sekarang, kami lihat kebanyakan posyandu masih door-to-door,” tutur Ida.
DKK berharap belum optimalnya penyelenggaraan Posyandu maupun pelayanan kesehatan di Puskesmas selama pandemi ini dapat disiasati masing-masing keluarga dengan penerapan hidup bersih dan sehat.
“Jika posyandu belum melakukan pelayanan saat pandemi, para orang tua bisa pantau tumbuh kembang anak secara mandiri dengan panduan buku KIA (Kesehatan Ibu dan Anak),” imbau Ida.
Para orang tua juga disarankan tidak ragu segera menghubungi kader kesehatan atau fasilitas kesehatan apabila anak dirasa membutuhkan pelayanan medis, seperti mengalami penurunan nafsu makan, penurunan berat badan, maupun menderita masalah kesehaan lainnya. Ini penting guna mencegah kondisi lebih parah terjadi pada anak.
Baca juga: 7 Gejala Hipoglikemia pada Bayi Baru Lahir dan Penyebabnya
Ida menjelaskan bahwa ada 4 faktor yang memengaruhi derajat kesehatan seseorang, yakni gaya hidup (perilaku), lingkungan (sosial, ekonomi, politik, budaya), pelayanan kesehatan, dan faktor genetik (keturunan).
Keempat determinan ini saling berinteraksi dan memengarahui status kesehatan seseorang, termasuk terkait dengan stunting.
Artinya, kata dia, DKK tidak mungkin mampu sendirian dalam menyelesaikan berbagai permasalahan kesehatan ini.
Dalam upaya mengatasi masalah gizi, khususnya persoalan stunting pada anak, diperlukan peran lintas sektoral karena hal tersebut disebabkan oleh faktor multidimensi.
Dia menuturkan, dalam menangani kasus stunting dan gizi buruk, ada dua upaya intervesi gizi yang dilakukan oleh Pemerintah kota (Pemkot), yakni intervensi spesifik dan intervensi sensitif.
Intervensi spesifik adalah langkah intervensi ang berkaitan langsung dengan stunting atau bersifat kesehatan. Misalnya, pemantapan program 1.000 Hari Pertama Kehidupan (HPK), yakni mulai pembuahan di dalam rahim ibu sampai anak berusia 2 tahun yang selama ini sudah dikerjakan DKK.
Nah, Ida menyebut, berdasarkan teori, intervensi gizi spesifik atau oleh kesehatan ini pada kenyatannya hanya berkontribusi sebanyak 20 persen dalam keberhasilan mencegah terjadinya stunting dan gizi buruk di Solo.
Di mana, intervensi sensitif yang tidak berkaitan langsung dengan sasaran stunting justru punya kontribusi dominan sampai 80 persen.
Dia mengklaim, hal ini sudah disadari oleh segenap organisasi perangkat daerah di lingkungan Pemkot, sehingga isu stunting telah menjadi perhatian bersama.
Sebagai contoh, beberapa OPD lain dirasa sudah secara optimal juga dalam menyelenggarakan program dengan tujuan peningkatan kemampun pendapatan warga atau orang tua kurang mampu, termasuk di masa pendemi ini.
Ida mengatakan, pelaksanaan program ini penting karena kasus anak stunting di Solo teridentifikasi kebanyakan datang dari keluarga miskin.
DKK mungkin bisa saja memberikan makanan tambahan kepada anak-anak dari keluarga miskin guna mendukung asupan gizi mereka. Tapi, DKK rasanya hanya bisa melakukan hal itu dalam kurun waktu tertentu.
Jadi, butuh intervensi dari OPD terkait untuk membantu penguatan ekonomi keluarga.
“Apakah bisa seumur hidup anak ini akan mengandalkan PMT? Kan enggak. Jadi keluarga diharapkan bisa berdaya,” kata Ida.
Dia mencontohkan beberapa program lain di luar DKK yang sangat berperan dalam keberhasilan penanganan stunting di Solo selama ini, yakni penguatan ketahanan pangan keluarga oleh DispertanKPP, pusat pembelajaran anak dan keluarga (Puspaga) hingga pelatihan keterampilan perempuan dari DP3APM, promosi KB oleh DPPKB, hingga penyediaan air bersih dan sanitasi yang baik oleh DPU, DisperumKPP, maupun Perumda Air Minum (PDAM) Toya Wening.
“Pada 2019, Kota Solo sendiri sudah declare untuk bebas BABS (buang air besar sembarangan), karena kondisi sanitasi lingkugan juga mendukung pencegahan stunting,” jelas Ida.
Baca juga: 16 Cara Mengatasi Sakit Perut Secara Alami dan dengan Bantuan Obat
Kepala Dinas Pengendalian Pendudukan dan Keluarga Berencana (DPPKB) Solo, Purwanti, menyadari penanganan stunting memang tidak bisa dilakukan hanya dari sektor kesehatan.
Semua pihak harus turun tangan dalam upaya menyiapkan generasi emas Indonesia di masa depan.
DPPKB sendiri terlibat dalam upaya penanganan stunting dengan pendekatan keluarga.
Sama dengan DKK, DPPKB juga turut menyasar kalangan remaja untuk mencegah stunting.
DPPKB punya program kampanye Triad KRR.
Triad KRR adalah tiga ancaman dasar yang dihadapi oleh remaja mengenai kesehatan reporoduksi, yaitu seks bebas, pernikahan dini, dan napza (narkoba, psikotropika, dan zat adiktif lainnya).
“Jadi di Solo kami garap dari remaja. Kami mengampanyakan Triad KRR, jangan sampai remaja melakukan seks bebas, pernikahan usia anak, dan mengonsumsi napza,” jelas Purwanti.
Menurut dia, Triad KRR dapat memengaruhi status kesehatan calon orang tua, sehingga menyebabkan kejadian stunting pada anak.
Misalnya, pernikahan dini bisa menempatkan perempuan pada ketidaksiapan akan pengetahuan mengenai kehamilan dan pola asuh anak yang baik dan benar.
Hubungan lain antara stunting dan pernikahan dini adalah para remaja putri cenderung masih membutuhkan gizi maksimal hingga usia 21 tahun.
Apabila mereka sudah menikah pada usia remaja, misalnya 15 atau 16 tahun, maka tubuh ibu bisa berebut gizi dengan bayi yang dikandungnya.
“Jika nutrisi si ibu tidak mencukupi selama kehamilan, bayi pun bisa lahir dengan berat badan lahir rendah dan berisiko terkena stunting,” jelas Purwanti.
Dia memastikan, kampanye Triad KRR ini tetap dijalankan selama pandemi Covid-19 sekarang.
Dalam melakukan kampanye Triad KRR, DPPKB melibatkan Duta Generasi Berencana (Genre) dan anggota Forum Genre Kota Solo.
Duta Genre adalah remaja atau anak muda dari jalur pendidikan dan masyarakat yang terpilih dalam ajang Pemilihan Duta Genre tahunan.
Sedangkan anggota Forum Genre merupakan para remaja atau anak muda mantan Duta Genre.
“Selain mengampanyekan Triad KRR, Duta Genre bisa bicara soal pembangunan keluarga untuk menyiapkan generasi emas,” kata dia
Selain menyasar remaja, BPPKB juga menyasar calon pengantin dalam upaya mencegah maupun meredam stunting di Solo ke depan.
Dalam hal ini, DPPKB memiliki inovasi unggulan berupa program Sultan Nikah Capingan (Konsultasi Pra Nikah Bagi Calon Pinanganten). Program ini mulai diberlakukan pada Agustus 2020.
Purwanti menyebut program Sultan Nikah Capingan diadakan untuk mewujudkan kokohnya ketahanan keluarga. Layanan yang diberikan berupa konsultasi, pemberian buku saku, dan surat keterangan konsultasi.
Baca juga: 11 Jenis Kontrasepsi Beserta Kelebihan dan Kekurangannya
“Saat proses konsultasi, kami akan memulai skrining terhadap calon pengantin. Petugas akan memberikan edukasi, memberikan pertanyaan kepada calon pengantin, atau menjawab setiap pertanyaan dari mereka,” ujar dia.
Kaitannya dengan penanggulangan stunting, Purwanti menyebut, dalam pelaksanaan program Sultan Nikah Capingan, petugas lapangan keluarga berencana (PLKB) salah satunya akan mengedukasi soal penanaman nilai-nilai fungsi keluarga kepada calon pengantin, termasuk fungsi reproduksi.
Dalam hal ini, manakala calon pengantin wanita diketahui belum mencapai usia 21 tahun, PLKB sesuai prosedur akan memberikan saran agar mereka bisa menunda kehamilan.
“Sesuai UU tentang Perkawinan usia minimal kawin perempuan kan sekarang 19 tahun. Padahal dari sisi medis, 19 belum begitu siap untuk hamil. Jadi, harapannya (kehamilan) bisa ditunda dulu untuk menurunkan risiko memiliki anak stunting,” kata dia.
Purwanti memastikan dalam pelaksanaan program Sultan Nikah Capingan, layanan konsultasi tak berhenti dalam sekali pertemuan. Para PLKB telah disiapkan untuk dapat memberikan pendampingan kepada calon pengantin hingga mereka menikah dan bahkan memiliki anak.
Dengan demikian, DPPKB pun akan mengetahui apakah calon pengantin wanita yang ditemui petugas dalam layanan konsultasi benar baru hamil setelah berusia 21 tahun atau tidak setelah menikah.
“Tindak lanjut dari konsultasi memang calon pengantin diharapkan bentul-betul bisa menunda hamil sampai di usia yang disarankan,” ujar dia.
Purwanti menunjukkan data, sejak Agustus 2020 hingga Februari 2021, DPPKB telah melayani 833 calon pengantin dalam program Sultan Nikah Capingan.
Dari jumlah itu, sekitar 50 calon pengantin wanita masih berusia kurang dari 21 tahun.
DPPKB punya data lengkap terkait identitas calon pengantin ini, mulai dari nama, alamat rumah, dan nomor HP. Dengan demikian, petugas KB bisa dengan mudah mendampingi mereka.
“Nanti data ini akan kami bangun sistem. Karena calon pengantin kan akan menjadi ibu, proses edukasi dari petugas nanti akan berlanjut terus saat mereka hamil, pascamelahirkan, sampai punya anak,” kata dia.
Purwanti mengungkapkan, layanan konsultasi dalam program Sultan Nikah Capingan diberikan untuk seluruh agama, tidak dibatasi.
PLKB bisa “menangkap” calon pengantin di Kantor Urusan Agama (KUA), kantor kelurahan, maupun tempat ibadah.
Di Solo, ada 34 PLKB atau penyuluh KB yang siap memberikan layanan. Masing-masing PLKB ini juga ditarget harus mencari ibu hamil dan ibu pascasalin untuk diedukasi. Satu petugas diharapkan bisa memberi 336 pelayanan per tahun.
“Tugas PLKB adalah melakukan KIE (komunikasi, informasi, edukasi) kepada keluraga- keluarga yang rentan terhadap masalah Bangga Kencana (pembangunan keluarga, kependudukan, dan keluarga berencana),” tutur dia.
Baca juga: Keuntungan dan Kerugian Kontrasepsi Vasektomi
Kabid Pemberdayaan Masyarakat Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak dan Pemberdayaan Masyarakarat (DP3APM) Solo, Sabta, merasa beruntung kesadaran warga Solo terbilang luar biasa dalam mendukung upaya pencegahan dan penanganan stunting selama ini.
Ada begitu banyak masyarakat yang telah sudi bergabung dalam kegiatan 618 Posyandu di Solo.
Bidang Pemberdayaan Masyarakat DP3APM memiliki tugas dalam pembinaan kelembagaan Posyandu.
Dia menyebut, tanpa peran serta masyarakat, pemerintah tentu akan kesulitan dalam upaya menekan atau meredam angka kejadian stunting.
“Saya bilang peran serta masyarakat di Solo ini tinggi dalam mendukung berbagai program pemerintah, termasuk soal penanganan stunting lewat Posyandu. Kaderisasi pengurus posyandu dari yang sudah sepuh ke yang muda juga berjalan baik,” kata Sabta.
Di tengah pandemi Covid-19, DP3PAM turut memantau kegiatan Posyandu di sejumlah wilayah di Solo. Menurut dia, sudah ada banyak posyandu yang mulai berjalan kembali. Kebanyakan dengan sistem door-to-door.
Sabta mengapresiasi para kader Posyandu yang bersedia melakukan pemantauan tumbuh kembang anak dengan menerapkan prokes secara ketat di tengan pandemi.
“Banyak Posyandu sudah mulai jalan lagi. Kegiatannya menyesuaikan kondisi daerah sekitar kader. Kebanyakan masih dengan berkunjung ke rumah-rumah,” kata dia.
Untuk mendukung mobilitas dan program kerja kader Posyandu RW, Pemkot selama ini telah menganggarkan dana operasional sebesar Rp4,5 juta per tahun kepada setiap Posyandu lewat Dana Pembangunan Kelurahan (DPK).
Untuk menunjang mobilitas, DP3APM sendiri pada 2019 dan 2020 sempat memberikan hibah 618 sepeda kepada pengurus Posyandu.
“Sekarang para kader bisa menggunakan sepeda ini untuk door-to-door ke rumah warga karena pandemi Covid-19,” tutur Sabta.
Dalam situasi Pandemi, DP3APM sempat pula mengundang para kader Posyandu dari berbagai kelurahan untuk mengikut sosialisasi gizi.
Menurut Sabta, ada banyak kader Posyandu yang berminat mengikuti kegiatan edukasi ini.
DP3APM menyelenggarakan sosialisasi gizi bekerja sama dengan DKK supaya para kader Posyandu bisa menjelaskan pentingnya gizi bagi kesehatan ibu dan balita, terlebih lagi di masa pandemi.
Baca juga: Sampai Kapan Tetap Harus Disiplin Protokol Kesehatan meski Sudah Divaksin?
“Justru di tengah wabah ini, pengetahuan tentang gizi sangat diperlukan warga, agar daya tahan tubuh pun dapat tetap terjaga dengan baik,” jelas dia.
Sabta menuturkan, Pemkot pada dasarnya sangat terbuka terhadap dukungan dari masyarakat maupun pihak swasta dalam upaya penanganan stunting.
Beberapa kali Pemkot pun merasa sangat terbantu dengan swasta yang berinisiatif mendukung program penanganan stunting di Solo, seperti penyelenggaraan sosialisasi kesehatan atau gizi, pemeriksaan kesehatan gratis, termasuk penyediaan PMT untuk masyarakat.
Sabta menilai kolaborasi pemerintah dan swasta sangatlah positif dan perlu terus diperkuat di masa depan untuk mendukung pemenuhan nutrisi dan tumbuh kembang anak-anak.
Posyandu di masa pandemi sendiri dapat menjadi salah satu alternatif pemantauan tumbuh kembang anak. Meski begitu, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan dalam pelaksanaan Posyandu di masa pandemi.