KOMPAS.com - Panic buying adalah salah satu fenomena sosial yang berulang kali terjadi sepanjang pandemi Covid-19.
Panic buying adalah aksi memborong sesuatu karena takut atau khawatir tidak kebagian, harganya melambung, dan sebagainya.
Di awal pandemi, kita jamak melihat orang berbondong-bondong memborong masker dan hand sanitizer.
Baca juga: 8 Ciri-ciri Orang Kreatif Menurut Psikologi Positif
Setahun lebih berselang saat kurva kasus Covid-19 terus melonjak, giliran orang memborong beragam vitamin, obat, sampai susu.
Imbas sejumlah aksi borong tersebut membuat stok barang-barang buruan hilang di pasaran. Jika ada, harganya pun melambung tinggi.
Melansir BBC, kasus panic buying saat pandemi Covid-19 berbeda dengan aksi borong saat bencana alam.
Ketika menghadapi bencana alam seperti banjir atau selepas badai, orang masih punya pertimbangan logis ketika ingin membeli atau menyetok sesuatu.
Untuk kasus banjir misalnya, orang tergerak membeli banyak air mineral atau bahan pangan untuk persiapan krisis air bersih.
Lain halnya dengan pandemi Covid-19. Di tengah segala ketidakpastian, orang jadi memborong sesuatu dengan jumlah yang sangat besar, padahal belum tentu dibutuhkan.
Baca juga: 5 Alasan Kenapa Seseorang Susah Minta Maaf Menurut Psikologi
Ternyata, di balik aksi borong tersebut ada alasannya. Melansir Psychology Today, berikut beberapa alasan psikologi di balik panic buying saat pandemi Covid-19:
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanPeriksa kembali dan lengkapi data dirimu.
Data dirimu akan digunakan untuk verifikasi akun ketika kamu membutuhkan bantuan atau ketika ditemukan aktivitas tidak biasa pada akunmu.
Segera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.