Saat mengambil suatu keputusan, ada dua cara berpikir yang biasa digunakan. Yakni keputusan logis dan emosional. Keduanya berbeda sistem berpikirnya.
Otak logis bisa menghitung dan menimbang dengan cermat sebelum mengambil keputusan. Sedangkan otak emosional bersifat intuitif, cepat, dan tanpa didasari pertimbangan matang.
Pikiran logis memberitahu pemiliknya untuk tidak perlu beli terlalu banyak barang. Tapi, otak emosional pertimbangannya lebih baik aman punya dulu daripada menyesal kemudian.
Pikiran emosional sangat sangat selaras dengan citra visual. Ketika bertebaran foto atau video berita orang jamak membeli atau memborong sesuatu, tanpa sadar pikiran emosional mengambil alih suatu keputusan.
Alasan panic buying lainnya yakni kecemasan antisipatif atau ketakutan yang sebenarnya belum tentu kejadian.
Misalkan, takut kehabisan susu atau obat tertentu, padahal produsen masih terus membuatnya.
Ketakutan antisipatif menghadapi pandemi setipe dengan rasa cemas ketika akan menerima hasil laboratorium selepas menjalani tes kesehatan.
Baca juga: 5 Alasan Kenapa Seseorang Susah Minta Maaf Menurut Psikologi
Sama seperti virus, ketakutan atau kecemasan panic buying juga menular. Jika seseorang khawatir kehabisan suatu barang, orang lain yang melihat sekitarnya panik jadi ketularan. Padahal awalnya tidak ada alasan rasional untuk takut.
Dari satu orang yang panik dan menulari sekitarnya, akhirnya muncul sekelompok orang yang spontan panik bersama-sama.
Alasan mereka panik juga tidak rasional. Jika orang lain memborong, kenapa saya tidak ikutan juga.
Tulis komentarmu dengan tagar #JernihBerkomentar dan menangkan e-voucher untuk 90 pemenang!
Syarat & KetentuanSegera lengkapi data dirimu untuk ikutan program #JernihBerkomentar.