SALAH seorang teman sejawat yang juga pembaca setia tulisan-tulisan saya, pernah menanyakan hubungan glukosa dan gangguan saraf. Lalu saya jelaskan sangat erat.
Hal ini berhubungan produksi dan pelepasan asetil kolin. Asetil kolin merupakan neurotransmitter utama.
Hampir semua aksi saraf berhubungan dengan produksi dan pelepasan asetil kolin. Itulah sebabnya reseptor saraf dinamakan reseptor kolinergik. Artinya reseptor yang bisa menerima asetil kolin.
Begitupun dengan obat-obatan mengikuti kinerja asetil kolin. Sehingga dikenal obat yang menghambat pemecahan asetil kolin (inhibitor kolinesterase) dan ada obat yang menghambat pembentukan asetil kolin (inhibitor kolintransferase).
Ada juga obat yang bekerja pada reseptor kolinergik. Bersifat antikolinergik berefek berlawanan. Ada juga yang bersifat kolinergik, berefek sama dengan asetil kolin.
Sehingga peran glukosa yang berhubungan dengan produksi dan pelepasan asetil kolin menjadi sangat penting.
Hampir semua gangguan saraf berhubungan dengan produksi dan pelepasan asetil kolin. Hingga pengendalian asupan glukosa sangat penting dalam penanggulangan gangguan saraf.
Kalau autisme bisa tidak diterapkan hal itu? tanya sejawat tersebut.
Seharusnya bisa, jawab saya.
Akhirnya sejawat tersebut bercerita jika memiliki seorang anak yang didiagnosa mengalami autisme. Dia meminta saran untuk menangani secara autofagi.
Sebelum menyanggupi, saya menanyakan dari mana sejawat tersebut mendapat diagnosa autisme tersebut. Apa gejala-gejala yang nampak.
Akhirnya yang bersangkutan menjelaskan secara detail tentang anaknya. Dimulai dari awal ditemukan oleh dokter anak dan psikolog anak.
Gejala-gejala yang muncul berupa kesulitan untuk tenang, tidak mau melakukan kontak sosial, mengucapkan kata-kata yang tidak jelas dan gejala lain yang khas.
Akhirnya saya berikan arahan sesuai teori autofagi yang saya pahami.
Setelah kurang lebih satu bulan saya menanyakan perkembangan terapi yang saya berikan. Sejawat tersebut memberikan respons positif.
Anaknya mulai bisa berinteraksi sosial secara positif. Mulai terjadi kontak mata dengan ibunya. Padahal sebelumnya hal itu tidak pernah terjadi.
Sebelumnya, anak tersebut selalu beraktivitas sendirian. Selalu menghindar saat kedua orangtuanya berusaha melakukan interaksi sosial. Apalagi melakukan kontak mata.
Telah banyak upaya dilakukan kedua orangtuanya untuk mengatasi keluhan tersebut. Terutama pada psikolog klinis. Psikofarmaka juga telah diberikan karena anak juga menunjukkan gejala gaduh gelisah.
Syukur, dengan menjalankan pendekatan autofagi keluhan itu mulai berkurang tanpa psikofarmaka.
Sebagai bentuk testimoni saya minta foto yang menunjukkan interaksi anak dan orangtua. Saya juga meminta ijin pada sejawat tersebut mempergunakan foto tersebut pada tulisan saya.
Ini adalah salah satu bentuk aplikasi penerapan autofagi pada gangguan saraf. Aplikasi ini berdasarkan laporan pengobatan yang dilakukan oleh dokter Eusebio Garcia dari Filipina.
Meski saat beliau mempraktikan pengobatan ini tahun 1959 belum dikemukakan terminologi autofagi. Namun apa yang beliau praktikkan merupakan prinsip autofagi pada jaringan saraf.
Hal ini memang berbeda dengan laporan para ilmuwan di Albert Einstein College of Medicine, New York tahun 2017.
Mereka menyebutkan pada gangguan saraf terjadi, akibat gangguan gen autofagi ATG 5, ATG 12 dan ATG 16. Sehingga orang-orang dengan gangguan saraf, tidak dapat melakukan autofagi pada jaringan saraf mereka.
Hingga pada laporan tersebut dikatakan gangguan proses autofagi yang jadi penyebab gangguan saraf tersebut. Artinya, tidak dimungkinkan proses autofagi pada jaringan saraf.
Namun laporan tersebut malah jadi terasa aneh jika dibandingkan dengan temuan mekanisme autofagi pertama kali oleh Profesor de Duve.
Dan para ilmuwan itupun saya yakin akan kaget, jika saya telah membuktikan kebenaran penerapan autofagi, berdasarkan metoda dokter Garcia.
Meski terlihat sederhana, sebaiknya pelaksanaan autofagi tetap harus didampingi oleh tenaga kesehatan yang kompeten.
Jangan asal mendengar informasi yang tidak jelas asal usulnya. Banyak sekali respons individual yang tidak terduga. Tergantung dari pola servo mekanis sebelumnya.
Kondisi ini jelas tidak memungkinkan dengan mengandalkan panduan. Harus disertai pemahaman tentang teori autofagi.
Sebagai penyemangat untuk para penyandang autisme dan atas perkenan Ibu Yola, saya sertakan foto interaksi Ibu Yola bersama puteranya.
Foto diambil setelah menjalankan pendekatan autofagi selama tiga bulan. Terlihat kontak mata dan interaksi positif antara ibu dan anak. Hal yang sebelumnya tidak bisa dilakukannya.
Salam, semoga menjadi inspirasi hidup sehat
Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.