Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Noerolandra Dwi S
Surveior FKTP Kemenkes

Menyelesaikan pascasarjana FKM Unair program studi magister manajemen pelayanan kesehatan. Pernah menjadi ASN di Dinas Kesehatan Kabupaten Tuban bidang pengendalian dan pencegahan penyakit. Sekarang menjadi dosen di Stikes NU di Tuban, dan menjalani peran sebagai surveior FKTP Kemenkes

Hak Kemanusiaan ODHA

Kompas.com - 01/12/2024, 13:43 WIB
Anda bisa menjadi kolumnis !
Kriteria (salah satu): akademisi, pekerja profesional atau praktisi di bidangnya, pengamat atau pemerhati isu-isu strategis, ahli/pakar di bidang tertentu, budayawan/seniman, aktivis organisasi nonpemerintah, tokoh masyarakat, pekerja di institusi pemerintah maupun swasta, mahasiswa S2 dan S3. Cara daftar baca di sini

SEMUA penyakit karena gaya hidup atau perilaku yang salah. Gaya hidup atau perilaku yang membuat manusia rentan terkena penyakit. Baik penyakit menular maupun penyakit tidak menular, faktor gaya hidup/perilaku sangat menentukan.

Penyakit AIDS merupakan epidemi yang mengancam dan mematikan. Mulanya karena perilaku seksual menyimpang.

Risiko penularan tinggi juga pada mereka dengan seksual menyimpang atau seksual tidak aman. Perilaku seksual menjadi populasi kunci. Sayangnya populasi kunci tersebut mendapatkan stigma dan diskriminasi sejak lama.

Setelah beberapa dekade epidemi HIV/AIDS, kita belum dapat mengatasi stigma dan diskriminasi.

Penyebaran dan kasus baru HIV terus meningkat, khususnya di kalangan usia produktif. Akses terhalang hingga pelayanan yang tersedia belum dimanfaatkan dengan maksimal.

Akses untuk pelayanan penyakit AIDS telah dibuka lebar pemerintah (Kemenkes). Mulai dari puskesmas, rumah sakit kota/kabupaten, rumah sakit provinsi, hingga rumah sakit pusat. Juga kebutuhan SDM, alkes, obat oportunistik, dan ARV telah dipenuhi.

Di tiap fasyankes telah dibuka poli VCT (voluntary counselling and testing). Sebuah layanan untuk membantu pencegahan, perawatan, dan pengobatan bagi orang dengan HIV/AIDS (ODHA) serta masyarakat dengan perilaku berisiko.

Ternyata tidak banyak yang memanfaatkan akses layanan VCT. ODHA dan orang dengan perilaku berisiko HIV/AIDS belum memanfaatkan secara efektif dalam penanggulangan AIDS.

Pelayanan VCT berdasarkan sukarela. Hanya mereka yang dapat informasi, teredukasi akan tergerak menuju pelayanan VCT.

Untuk kondisi ini, Kemenkes menyebutkan dua situasi. Pertama, kurangnya kesadaran masyarakat terhadap bahaya HIV/AIDS, sehingga menganggap diri mereka aman dan tak perlu melakukan tes HIV.

Kedua, stigma masyarakat terhadap ODHA begitu kuat, sehingga ODHA enggan, malu, atau takut melakukan tes HIV.

Target Kemenkes mencapai 95-95-95 pada tahun 2030 sesuai dengan target global pengendalian HIV/AIDS. Yaitu 95 persen ODHA mengetahui statusnya, 95 persen ODHA yang mengetahui statusnya mendapatkan pengobatan, dan 95 persen ODHA yang diobati virusnya tersupresi.

Poli VCT dan skrining yang agresif dilaksanakan menuju pencapaian target ambisius tersebut. Hanya saja kita mendapati masih rendahnya akses ke poli VCT dan cakupan skrining tes HIV di tengah masyarakat. Sehingga jalan ke 2030 masih cukup terjal.

Poli VCT merupakan pintu layanan yang dibuka seluasnya bagi masyarakat yang ingin mengetahui status HIV.

Di VCT terdapat konseling pretest dan pascatest serta pemeriksaan test HIV sebagai inti pelayanan VCT. Semua puskesmas dan rumah sakit memiliki poli VCT sebagai strategi pengendalian HIV/AIDS.

Skrining HIV berbasis komunitas, dengan pendekatan skrining HIV mandiri di mana setiap orang dapat melakukan pemeriksaan mandiri dengan cairan oral.

Dengan demikian, skrining ini menjamin kerahasiaan ODHA. Jika hasilnya positif, ODHA haru ke fasyankes untuk memastikan mendapatkan konseling, perawatan, dan pengobatan.

Sayangnya skrining juga masih rendah dan belum menjadi akses pengendalian HIV/AIDS. Meskipun ada peningkatan jumlah skrining, tapi efektivitas menurunkan insiden HIV belum menghasilkan signifikan.

Pelayanan skrining masih pada populasi kunci dan menjadi mandatory pelayanan di puskesmas/rumah sakit karena faktor risiko.

Seperti pada pasangan ODHA, pasien TBC, pasien IMS, ibu hamil, pasien hepatitis dan pelanggan pekerja seks.

Padahal hampir 70 persen ODHA di masyarakat merupakan populasi non-kunci (masyarakat umum) dengan heteroseksual merupakan 68 persen faktor risiko penularan.

Intervensi yang agresif sepertinya harus keluar dari populasi kunci dan mencakup masyarakat luas yang terancam HIV/AIDS.

Dalam hal ini, kita melihat stigma dan diskriminasi menjadi hambatan keberhasilan pengendalian HIV/AIDS secara global maupun di Indonesia.

ODHA secara keseluruhan terkena dampak karena dilihat negatif masyarakat. Hingga masyarakat melakukan pembatasan pembatasan.

Stigma dan diskriminasi menyebabkan hanya sekitar 25 persen ODHA yang terdeteksi menjalani pengobatan ARV. Cakupan yang memprihatinkan dan kita mengkhawatirkan situasi transmisi HIV yang mengancam terus terjadi.

Stigma merupakan sikap negatif masyarakat terhadap ODHA terkait dengan gender, seksualitas dan budaya.

Pandangan negatif tidak saja pada polulasi kunci (LSL, waria, PSK, pengguna narkoba, pelanggan), tapi juga di luar populasi kunci itu seperti ibu rumah tangga, anak, dan keluarga secara umum.

Kita harus terus bertindak melawan stigma dan diskriminasi tanpa lelah. Yaitu dengan penguatan sistem komunitas melalui edukasi, keterlibatan komunitas, dan konseling berkelanjutan.

Penguatan sistem komunitas akan menjadikan masyarakat lebih terbuka mendukung ODHA dan mengurangi stigma.

Tema hari AIDS Sedunia tahun 2024 adalah "Take the rights path: My health, my right!", yang artinya ambil jalan yang tepat: kesehatan saya, hak saya!.

Kita dihadapkan pada HIV/AIDS yang terus meningkat. Diperlukan langkah melindungi dan mewujudkan hak-hak ODHA dalam menjangkau pelayanan kesehatan.

Hari AIDS sedunia mengajak kita bersama mengakhiri HIV/AIDS sebagai ancaman kesehatan masyarakat. Kita mengutamakan kemanusiaan dan terbuka.

Seluruh orang di dunia dapat melibatkan semua orang yang hidup berisiko atau terdampak HIV.

Banyak kebijakan, undang-undang dan pelayanan yang diskriminatif menghukum dan menstigmatisasi kelompok rentan (terutama perempuan, anak perempuan, kelompok minoritas), sehingga tidak memiliki akses kepada pencegahan, tes, pengobatan dan perawatan ODHA.

Dalam momentum HAS 2024, kita diingatkan kembali tentang hak kemanusian ODHA yang masih lemah dalam perlindungan.

Kita harus terus berupaya menghilangkan hambatan yang menghalangi masyarakat mendapatkan layanan penting.

Kemanusiaan tidak sebatas akal budi, tetapi ikut memanusiakan yang lain. Kemanusiaan merupakan kenyataan di mana manusia satu dengan lainnya menjaga saling tentram, damai dan sejahtera.

Kita mendapat tantangan berat dalam penanggulangan AIDS. Kebijakan yang keliru, serta stigma dan diskriminasi menghalangi ODHA dan masyarakat ke akses pelayanan.

HAS tahun ini melihat kembali tentang stigma dan hak kemanusiaan ODHA yang menghalangi akses pelayanan menuju bebas AIDS tahun 2030.

Simak breaking news dan berita pilihan kami langsung di ponselmu. Pilih saluran andalanmu akses berita Kompas.com WhatsApp Channel : https://www.whatsapp.com/channel/0029VaFPbedBPzjZrk13HO3D. Pastikan kamu sudah install aplikasi WhatsApp ya.


Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
Baca berita tanpa iklan. Gabung Kompas.com+
komentar di artikel lainnya
Close Ads
Bagikan artikel ini melalui
Oke
Login untuk memaksimalkan pengalaman mengakses Kompas.com
atau